Pada
tahun 1994 sebuah peristiwa bersejarah terjadi di negara Afrika Selatan, mereka
melaksanakan pemilihan umum pertama di mana semua masyarakat dari semua
golongan ras dapat memberikan suara. Juga menjadi penanda berakhirnya sistem apartheid dengan supremasi kulit putih
yang telah menjadi sumber penghinaan dan diskriminasi rasial, kala itu terpilih Nelson Mandela sebagai Presiden pertama.
Namun perjuangan anti-apartheid
sebenarnya bukan hanya seorang Mandela saja. ‘Escape From Pretoria’ : a prison film with a nice thrill.
Tim Jenkin (Daniel Radcliffe)
dan Stephen Lee (Daniel Webber)
merupakan dua pria berkulit putih yang sedang berada di dalam perjuangan untuk
melawan rezim apartheid yang terus
meningkat di Afrika Selatan. Mereka menyusun rencana untuk membuat sebuah aksi
provokasi dengan menyebarkan selebaran yang bertujuan untuk memberitahu dan
mengajak masyarakat ikut ambil bagian di dalam perjuangan tersebut. Celakanya
aksi mereka tersebut justru berhasil diciduk oleh pemerintahan. Hasilnya, Tim
dan Stephen kemudian dijatuhi hukuman penjara dan harus mendekam di Pretoria Central Prison.
Delapan
tahun penjara untuk Stephen dan dua belas tahun untuk Tim, mereka harus
menjalani hidup di dalam sel yang telah terkenal dikelilingi penjagaan super
ketat. Tapi ternyata mereka telah menyusun rencana untuk segera keluar dari
penjara tersebut, ide yang juga dimiliki oleh tahanan bernama Leonard Fontaine (Mark Leonard Winter).
Dengan dibantu oleh tahanan bernama Denis
Goldberg (Ian Hart) mereka kemudian secara bertahap mempersiapkan sistem
dan juga peralatan untuk keluar dari Pretoria
Central Prison.
Mengambil
dasar cerita dari buku berjudul ‘Inside
Out: Escape from Pretoria Prison’ karya Tim
Jenkin yang kemudian dibentuk menjadi script
oleh L.H. Adams dan juga sutradara Francis Annan, ‘Escape from Pretoria’
dapat dikategorikan sebuah paket yang lengkap untuk sebuah film yang mengusung
rencana melarikan diri sebagai fokus utama cerita. Sebagai sebuah prison film
dari segi karakter ‘Escape from Pretoria’
punya karakter utama yang berada dalam kondisi tersiksa, kita juga bertemu
dengan penjaga penjara yang sadis dan gemar melecehkan para penghuni penjara.
Ada siksaan yang terasa kuat di sana dan semakin menarik karena setup dari kesan “menakutkan” yang
dimiliki Pretoria Central Prison juga
terasa oke.
Yang
menarik dari setting tersebut adalah di mana Francis Annan tidak mencoba menunjukkan Pretoria Central Prison dalam gambaran besar, kita bahkan hanya
melihat sisi luarnya lewat berbagai momen sederhana contohnya ketika para
tahanan sedang beristirahat. Namun image sulit untuk “ditembus” diciptakan
dengan baik pada Pretoria Central Prison.
Hal tersebut memberikan dampak cukup besar pada perjuangan yang sedang
dilakukan oleh para karakter, aksi menyusun dan lalu kemudian secara bertahap
mencoba mengeksekusi berbagai rencana itu menghasilkan thrill yang terasa oke karena situasi do or die yang diciptakan oleh penjara tersebut.
Namun
hal terbaik dari film ini bukan terletak pada setting yang sukses menjadi template
yang oke tadi. Hal spesial dari ‘Escape
from Pretoria’ adalah bagaimana cara Francis Annan membentuk proses
melarikan diri itu sehingga memiliki detail dan atmosfir yang terasa otentik
serta mencengkeram. Penonton seolah ditempatkan menjadi sosok lain di samping
karakter, khususnya Tim, menyaksikan mereka dengan sabar mencari solusi
disertai berbagai trial and error
dengan thrill yang terasa
menyenangkan. Metode yang digunakan oleh Tim dan para penghuni lain dapat
dikatakan termasuk gila, tidak heran aksi mereka itu terasa nekad dan terasa kurang
meyakinkan. Pada awalnya.
Ya,
pada awalnya, karena secara perlahan metode yang unik dan aneh itu justru
seolah menjadi jendela yang membawa udara yang lebih segar bagi karakter utama.
Tensi cerita ditata dengan baik oleh Francis
Annan, dari memanfaatkan sound seperti
bunyi langkah kaki, cameraworks dari Geoffrey Hall yang sukses menangkap
berbagai kepanikan secara intens, hingga editing
yang oke dari Nick Fenton. Excitement cerita yang dibangun perlahan
itu terasa jelas atau gamblang dan itu yang berhasil mengunci penonton untuk
merasa terikat bersama karakter. Hal tersebut juga berhasil menutup kekurangan
yang dimiliki film ini, salah satunya adalah ketidakmampuannya dalam
meninggalkan punch yang memikat pada alasan utama dibalik upaya melarikan diri
tersebut.
Francis Annan
seolah tidak mau bermain terlalu jauh dalam mengekplorasi isu politik dan human rights yang tersimpan di dalam
cerita. ‘Escape from Pretoria’
dibentuk agar kehadirannya semata-mata ingin menunjukkan salah satu perjuangan
yang dulu pernah terjadi di dalam upaya perlawanan terhadap sistem apartheid.
Hasilnya motif dari dua isu tadi terasa samar, cukup disayangkan karena dengan
sedikit bumbu pada isu tersebut mungkin dapat menciptakan punch yang lebih menarik pada sejarah di dalam cerita. Keterbatasan
ruang untuk mengeksplorasi juga membuat di beberapa bagian dialog terasa lemah,
minus yang dapat dirasakan dengan mudah oleh penonton walaupun mereka terus
dihadapkan dengan berbagai sequences
yang menegangkan.
Thrill oke
yang dimiliki ‘Escape from Pretoria’
selain hasil dari arahan Francis Annan juga merupakan buah hasil dari kemampuan
para pemeran dalam membuat masing-masing karakter mereka seolah sedang berada
di dalam neraka. Sebagai bintang utama Daniel
Radcliffe tampil baik, berhasil membuat Tim menjadi otak perencana yang
menarik untuk diikuti. Daniel Webber
ternyata punya porsi yang lebih sedikit ketimbang Daniel sehingga tidak heran
peran dari karakter Stephen Lee terasa
biasa saja, ia bahkan kalah dari Leonard
Fontaine yang diperankan dengan baik oleh Mark Leonard Winter. Leonard merupakan karakter dengan banyak
warna, punya ikatan emosi yang menarik dengan sang anak namun juga tampil
eksentrik yang kerap menjadi sumber humor.
Overall, ‘Escape from Pretoria’
adalah film yang cukup memuaskan. Bertumpu pada narasi di tangan Francis Annan cerita yang diangkat dari
kisah nyata ini berhasil menggunakan formula
prison film untuk menyajikan sebuah thriller
yang dipenuhi dengan berbagai upaya melarikan diri yang simple dan intens. Punya beberapa minus
kecil namun berkat tensi yang konsisten terasa intens ‘Escape from Pretoria’ berhasil membawa penonton untuk terus
merasakan kegelisahan yang terasa menegangkan bersama karakter, seolah ikut
merasa terjebak di dalam penjara bersama karakter. Well, itu pencapaian yang
tidak mudah untuk dilakukan. Well done.
"Freedom is a very simple idea."
ReplyDelete