“First
one in. Last one out.”
Sangat
mudah menemukan para pekerja yang menggunakan waktu istirahat makan siang
mereka untuk berdiskusi masalah pekerjaan, dari Boss yang sebenarnya salah
namun tidak terima bahwa ia salah, data rumit baru diberikan pagi namun dokumen
harus siap dua jam kemudian, hingga bekerja lembur tanpa memperoleh bayaran.
Ya, jauh lebih mudah menemukan di antara mereka yang membahas bagaimana “kerasnya”
tempat kerja mereka. Memang semua akan bergantung pada kualitas pekerja itu
sendiri, namun sistem yang diterapkan juga punya andil besar dalam terciptanya
kondisi tersebut, sistem yang mungkin menjurus ke arah abusive dan memaksa para
pekerja tersebut untuk belajar menjadi seorang “penyihir”. ‘The Assistant’ : quiet but speak louder, it’s popping with calm.
Kehidupan
wanita bernama Jane (Julia Garner)
tampak monoton, dari harus bangun sangat pagi untuk mempersiapkan kantor serta
kemudian pulang larut malam untuk kembali membenahi kantor. Namun apa yang
terjadi di antara dua momen tersebut ternyata tidak kalah menguras emosi Jane,
selain harus mempersiapkan segala macam dokumen serta jadwal yang sudah menjadi
pekerjaannya, Jane juga harus berurusan dengan hal-hal personal dari sang Boss
yang merupakan produser, seorang media dan film mogul yang sangat powerful.
Jane
terhitung masih baru di tempat kerjanya tersebut, wanita yang memiliki ambisi
dan motivasi besar untuk dapat menjadi produser yang terkenal itu perlahan
mulai menyadari bahwa tempat kerjanya itu menerapkan sebuah sistem yang sangat
“kasar” di dalam industri yang sangat kompetitif. Melayani pertanyaan dari
istri sang boss yang penuh curiga tampak mudah bagi Jane, namun tidak dengan
perasaan ganjil yang ia rasakan dan perlahan semakin besar. Jane menaruh curiga
pada sang Boss, ia merasa terjebak di dalam sebuah abusive system yang ia nilai sangat beracun.
Apa
yang coba dilakukan oleh Sutradara Kitty
Green di ‘The Assistant’ adalah
sedikit “merenovasi” percikan yang dihasilkan dari gerakan #metoo. Sedikit mild-spoiler,
sedari awal hingga akhir sosok Boss dari Jane dikemas secara misterius, kita
melihat fisiknya namun tidak pernah ada sorotan frontal yang menunjukkan
bagaimana cara ia menjalankan sistem di perusahaannya itu. Namun tanpa perlu
melakukan itu rasa kesal penonton terhadap sang Boss menariknya secara perlahan
terus bertumbuh semakin besar. Pencapaian tersebut lahir berkat kemampuan Kitty Green mengarahkan semua emosi ke
dalam tubuh seorang Jane, sedari awal menaruh fokus pada Jane hingga akhir kita
sebagai penonton dibawa “hanyut” bersama gejolak yang sedang terjadi di dalam
pikiran wanita muda tersebut.
Fokus
utama cerita adalah menyaksikan keseharian dari Jane sebagai “pelayan” bagi
sang Boss, dari menghidupkan dan mematikan lampu, membuatkan minuman, hingga
mengorder makanan, semua ditampilkan Kitty Green tanpa menggunakan dramatisasi
yang berlebihan. Tapi menariknya tensi cerita bergerak semakin besar secara
perlahan dan halus, gesekan di dalam pikiran Jane menghasilkan berbagai
tumpukan emosi yang semakin rumit. Berbagai tekanan yang menghampiri Jane
dihadirkan oleh Kitty Green lewat berbagai hal sederhana, misalnya permintaan tolong
untuk menjawab telepon, namun hal-hal sederhana semacam itu justru pada
akhirnya terasa sebagai sebuah assaults
bagi karakter Jane.
‘The Assistant’
tampaknya sengaja dibentuk untuk tidak tampak frontal dari luar, namun
pembatasan tersebut tidak menghalangi Kitty Green untuk menghadirkan sebuah
penggambaran yang terasa tajam terhadap abusive
system yang dapat eksis di tempat kerja. Staging terasa manis, penonton diajak mengamati secara dekat
seorang Jane dan melihat berbagai detail kecil yang bermakna besar, assaults
ditampilkan tidak secara fisik namun justru secara psikis. Ada sedikit isu
seksual yang coba disuntikkan oleh Kitty
Green di sini, namun ia memilih untuk mengemas itu secara
"tertutup" yang justru menghasilkan dampak positif bagi gejolak yang
sedang dialami oleh Jane, sosok yang dibalik semua perlakuan padanya itu pada
dasarnya merupakan seorang korban.
‘The Assistant’
pada dasarnya merupakan sebuah “suara” yang mewakili para pekerja yang menjadi
korbak dari “eksploitasi” di tempat kerja mereka. Dan bagaimana itu bekerja
terasa sangat efektif dalam mencapai targetnya. Penonton dibuat bersimpati
dengan kondisi Jane karena sedari awal atmosfir cerita yang Kitty Green
ciptakan juga sudah berhasil mengikat atensi, ada kesan creepy yang kuat namun dengan penggunaan eksposisi yang terasa
halus. Tidak mudah menciptakan presentasi semacam itu yang kemudian tampil
konsisten sejak awal hingga akhir, dibutuhkan konsentrasi yang tinggi dalam
merangkai berbagai gesekan kecil sehingga di balik kesan minimalis tersaji
sebuah penggambaran yang tajam.
Kitty Green
hadirkan itu dalam kualitas yang memikat, secara tidak mencolok penonton dibawa
ikut merasakan bahwa tempat kerja Jane merupakan sebuah tempat yang beracun,
dari panggilan telepon hingga email
yang selalu mengandung amarah hingga berbagai lelucon yang justru membuat
situasi Jane semakin tertekan. Tapi di sisi lain Jane sendiri memiliki semacam
kontradiksi di dalam pikirannya yang mungkin mewakili banyak pekerja lainnya,
bahwa ia harus menahan segala macam kesulitan tersebut demi “kelancaran”
karirnya sendiri. Bukankah hal tersebut terasa umum? Bagaimana para pekerja
pada akhrinya harus belajar menerima kondisi yang tidak menyenangkan di tempat
kerjanya, keep silent karena pada akhirnya
semua akan tampak normal setelah mereka mulai terbiasa dengan sistem yang
diterapkan.
Script ‘The Assistant’
terasa manis dalam membantu berbagai isu tersampaikan dengan baik, namun
bagaimana peran dari gambar ikut bermain di dalamnya juga tidak kalah penting.
Di tangan Michael Latham visual ikut
berbicara di sini, lewat detail-detail kecil serta bird's eye view ia juga sukses membuat penonton merasakan situasi
yang dialami Jane. Hal tersebut semakin kuat karena kinerja akting Julia Garner sebagai Jane juga tidak
kalah kuat, ia sukses menampilkan seorang pemula yang tampak terkejut dengan
hal baru yang ia temukan di tempat kerja, seorang wanita muda yang merasa
terjebak di antara dua hal, yaitu ambisinya yang besar untuk meniti karir yang
tinggi dengan “penindasan” yang harus ia hadapi setiap hari demi mencapai
mimpinya tersebut tadi. Jane merasa sakit, dan itu dapat dirasakan penonton.
Overall, ‘The Assistant’
adalah film yang memuaskan. Kitty Green
berhasil mengembangkan topik yang umum itu menjadi sebuah penggambaran serta
kritik tajam terhadap sistem yang kini tampak semakin mudah ditemukan di banyak
industri, lewat situasi rumit yang terjadi di dalam diri karakter utamanya.
Jane harus menjalani kesehariannya di tempat kerja berhadapan dengan
penyalahgunaan kekuasaan, hal yang perlahan dapat membuat manusia berubah
menjadi penyihir. Simple and quiet, ‘The
Assistant’ has a louder voice afterwards, it’s popping with calm. Understated. Segmented.
“I’m tough on you because I’m gonna make you great.”
ReplyDelete