Salah satu kegagalan yang paling menakutkan
dan bahkan memiliki kemampuan menghancurkan yang sangat besar adalah kondisi
ketika kamu merasa bahwa tidak ada satupun manusia di dunia ini yang peduli
padamu dan juga menyayangi kamu. Itu berbahaya karena dapat membuat seseorang
merasa bahwa eksistensi dirinya merupakan sesuatu yang tidak berguna, terus
merasa murung dan salah ketika menjalani hidup dan semakin dekat kepada
kehancuran ketika ia mulai membenci dirinya sendiri. Hal tersebut menjadi dasar
bagi presentasi di film ini. ‘House of
Hummingbird (Beol-sae)’ : a beautifully crafted coming-of-age story.
Ketika tiba di depan pintu, remaja puteri
bernama Eun-hee (Park Ji-hoo) menekan
bel rumah yang sayangnya tidak mendapat respon dari penghuni di dalam rumah. Ia
kemudian kembali menekan tombol bel tersebut sembari mencoba memutar paksa
gagang pintu dan memanggil Ibunya (Lee
Seung-yeon). Respon yang ia dapat masih sama dan hal tersebut kemudian
dengan cepat membuat Eun-hee merasa panik dan merasa takut. Namun setelah
sejenak terdiam Eun-hee akhirnya sadar bahwa ia masih berada satu lantai di
bawah rumahnya.
Tidak hanya mudah panik, Eun-hee juga hidup
dalam kemuraman setiap harinya. Ayahnya (Jung
In-gi) yang kasar itu menaruh fokus untuk kesuksesan pendidikan saudara
laki-laki Eun-hee, membuat ia bersama saudara perempuannya seperti terkucilkan.
Satu-satunya sosok yang dapat membuat Eun-hee merasa gembira adalah sahabatnya Soo-hee (Park Soo-yeon), meskipun tetap
saja Eun-hee masih tidak berani untuk menceritakan kepadanya tentang perasaan
takut menjalani hidup yang ia terus hadapi. Hal tersebut berubah ketika Eun-hee
bertemu dengan Young-ji (Kim Sae-byuk).
Di
debutnya sebagai Sutradara ini Kim Bora
membawa cukup banyak isu yang ingin ia ceritakan, mereka ia sebar dengan baik
di mana pusat utamanya bertumpu pada gejolak batin yang sedang dialami oleh
karakter utama, Eun-hee. Secara garis
besar berbagai isu tersebut sebenarnya klasik dan cara mereka ditampilkan juga
dengan menggunakan konflik-konflik yang klasik, namun yang membuat materi
klasik tadi berhasil terasa menarik dan segar adalah cara dan ritme penyampaian
yang digunakan oleh Kim Bora.
Karakter Eun-hee adalah hummingbird
di sini, dari cara ia menjalani kesehariannya untuk kemudian kembali ke rumah
yang tampak kurang bersahabat baginya, spotlight
benar-benar disorot ke arahnya.
Sepintas
Eun-hee memang tampak seperti remaja puteri pada umumnya namun di balik itu
setiap hari ia harus berurusan dengan kehidupan yang keras. Klasik memang,
karakter yang tertekan lalu harus berhadapan dengan kerasnya kehidupan, namun
di sini Kim Bora benar-benar memoles dengan baik “image” dari hummingbird
itu. Hummingbird sendiri pada
dasarnya merupakan jenis burung yang memiliki tampilan luar yang indah, ia
punya bentuk mungil serta berbagai warna yang cantik. Namun dibalik itu
Hummingbird merupakan jenis burung yang cemerlang, dari cara ia bertahan hidup
dengan memperoleh energi melalui terbang dari satu bunga ke bunga yang lain, hummingbird juga merupakan tipe burung
yang tampak kompleks.
Kim Bora
menggunakan karakter Eun-hee sebagai
perwujudan dari hummingbird, menyajikannya dengan menggunakan sikap realisme.
Di sini Kim Bora mencoba menempatkan penonton untuk selalu berada di sisi
Eun-hee, seolah menjadi bayangan Eun-hee. Dengan menggunakan long shot ia mencoba menekankan kesepian
yang dirasakan oleh Eun-hee, sebuah kehidupan yang terasa muram dan membuatnya
membenci dirinya sendiri. Berbagai masalah yang eksis di sekitarnya secara
perlahan dan bertahap berkembang menjadi sesuatu yang semakin rumit dan
menimbulkan gejolak emosi yang semakin besar bagi Eun-hee, dirinya perlahan
tampak seperti hummingbird yang hidup
sendiri di dalam dunia yang tidak mengerti dirinya dan juga sulit ia mengerti.
Dan penonton dapat ikut merasakan itu.
Salah
satu fokus yang menarik adalah isu yang berputar di dalam keluarga Eun-hee.
Ambisi yang dimiliki orangtua Eun-hee justru menjadi penggambaran dari
bagaimana penerapan sistem parenting yang
kurang tepat, sistem di mana orangtua tidak bisa membaca hati dan pikiran
anak-anaknya. Kim Bora menggunakan beberapa adegan yang cukup frontal untuk isu
tersebut, tapi cara ia mengemas isu tersebut dalam tampilan yang lebih implisit
juga tidak kalah cantiknya, seperti scene
percakapan di meja makan misal. Contoh lainnya seperti sebuah adegan
bermain trampoline, ada “kebebasan”
di sana. Kim Bora konsisten menyentil sistem patriarki di jaman itu, supremasi gender yang menimbulkan berbagai gesekan
menarik di dalam cerita.
Hasilnya
membuat ‘House of Hummingbird’
berhasil konsisten memberikan berbagai punch
yang menarik. Menyaksikan karakter utama seolah terus menerus bertemu dengan
kesedihan di dalam hidupnya membuat pemberontakan seperti tinggal menunggu
waktu untuk meledak, hal yang menariknya digunakan Kim Bora sebagai sebuah
penyimpangan kecil dari hasrat anak-anak yang mendambakan agar mereka memiliki
“suara” di dalam kehidupan mereka. Hati serta pikirannya selalu memiliki
kombinasi rasa takut dan juga kematian, kesedihan Eun-hee bahkan merupakan
sebuah kesedihan yang lebih universal di
sini, bagaimana kelamnya dunia saat itu dan semakin kelam saat ini. Eun-hee
tidak hidup untuk dirinya sendiri, ia justru hidup untuk kebahagiaan orang
lain.
Itu
sebuah isu yang cukup berat memang, namun meskipun terus menekankan sisi gelap
di dalam kehidupan Eun-hee namun di sisi lain Kim Bora juga tidak lupa menyelipkan harapan di dalam cerita.
Harapan itu tidak mati, dan itu dapat dilihat pada Eun-hee yang mencoba untuk
menjalani kehidupan yang ia inginkan. Ideologi tentang bagaimana semuanya
tampak “dijahit” untuk memperoleh hasil akhir yang baik dibentuk dengan halus
namun begitupula dengan proses dari seorang remaja yang mencoba untuk belajar
terbang karena ia melihat sebuah harapan di dalam rasa putus asa juga tidak
kalah menawannya, upaya untuk keluar dari false
life yang selama ini “mengganggu” kesehariannya.
‘House of Hummingbird’
terasa penuh warna karena meskipun di panggung utama kita berjalan bersama
kisah seorang remaja yang merasa tertekan dengan kehidupannya, namun di sisi
lain Kim Bora juga menghadirkan
berbagai metafora yang ia kemas dengan cerdik. Ambil contoh kematian pemimpin
Korea Utara, Kim Il-sung, yang seolah
menunjukkan matinya ideologi dari sebuah era,
hal yang hadir pula lewat konflik runtuhnya Seongsu
Bridge. Sangat implisit namun berbagai metafora seperti tadi kehadirannya
menciptakan impact yang terasa kuat
dan tajam, pencapaian yang tidak terlepas dari kinerja akting para pemerannya.
Sebagai Eun-hee emosi yang ditampilkan Park
Ji-hoo terasa menawan, dan Kim
Sae-byuk berhasil menjalankan tugas karakternya sebagai sebuah cahaya
terang yang “menyelamatkan” karakter utama. Last
but least, kualitas cinematography di
sini sangat baik. Manis.
Overall, ‘House of Hummingbird’
adalah film yang sangat memuaskan. Kim Bora jelas mendaur ulang berbagai isu
dan juga konflik klasik di sini, namun eksekusi yang ia lakukan terhadap
materi-materi tersebut terasa segar dan menawan. Lewat karakter remaja yang
mengalami gejolak batin dan emosi di dalam hidupnya ia sukses membawa penonton
ke dalam sebuah coming-of-age drama
yang mengamati berbagai “sisi gelap” dari kehidupan manusia, ada yang frontal,
banyak pula yang hadir secara implisit, namun tanpa sedikitpun kesan menggurui.
Yang ada hanya sebuah upaya untuk mencari cinta dan jalan keluar serta meraih hidup penuh
harapan. Segmented.
"What's the right way to live?" :)
ReplyDelete" Salah satu kegagalan yang paling menakutkan dan bahkan memiliki kemampuan menghancurkan yang sangat besar adalah kondisi ketika kamu merasa bahwa tidak ada satupun manusia di dunia ini yang peduli padamu dan juga menyayangi kamu. Itu berbahaya karena dapat membuat seseorang merasa bahwa eksistensi dirinya merupakan sesuatu yang tidak berguna, terus merasa murung dan salah ketika menjalani hidup dan semakin dekat kepada kehancuran ketika ia mulai membenci dirinya sendiri."*suka kalimat pembuka ini
ReplyDeleteMeskipun belum menonton film ini tapi ikut merasakan apa yang dialami tokoh utama perasaan bahwa tak ada satupun orang didunia ini yg "benar- benar" mencintai kita,mereka mencintai "hanya sekedar " atau mencintai "karena kewajiban dan keadaan".
Hwaiting! :)
Delete