19 April 2020

Movie Review: Come to Daddy (2019)


“But I'm glad we've established, that you're full of shit.”

Menciptakan sebuah cerita yang mampu menampilkan premis serta bagian pembuka menarik lalu kemudian membuat penontonnya merasa tertarik dengan apa yang akan terjadi selanjutnya merupakan sebuah pekerjaan yang mudah. Yang sulit adalah bagaimana kemudian premis atau bagian pembuka tersebut tadi berkembang menjadi sesuatu yang lebih besar dengan daya tarik yang juga semakin besar, atau at least tidak berubah ke arah sebaliknya. Perpaduan comedy, horror, dan thriller ini punya premis yang menarik, tapi bagaimana dengan hasilnya? ‘Come to Daddy”: can't handle being a cross-genre.

Turun dari bus dengan membawa sebuah koper, pria bernama Norval (Elijah Wood) kemudian berjalan memasuki sebuah hutan dengan menggunakan panduan pada selembar kertas. Norval akhirnya tiba di tepi pantai dan di sana ia melihat sebuah rumah berukuran cukup besar yang berdiri kokoh. Ia mengetuk pintu rumah tersebut dan kemudian bertemu dengan Brian (Martin Donovan), pria yang merupakan Ayahnya. Namun sambutan yang diberikan Brian jauh dari apa yang diharapkan oleh Norval, dari pintu masuk dan terus berlanjut.

Hal tersebut perlahan membuat Norval merasa tidak nyaman, mendapat perlakuan seolah sedang diuji dan diamati oleh sang Ayah setelah menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi permintaannya. Ya, kedatangan Norval ke rumah sang Ayah tersebut karena ia mendapat surat dari Brian yang meminta dirinya untuk datang. Norval berasumsi undangan tersebut merupakan upaya dari Brian untuk menebuh kesalahan yang telah ia lakukan selama ini, menjadi Ayah yang tidak bertanggung jawab dengan meninggalkan Norval dan istrinya. Celakanya itu adalah asumsi yang salah besar.
Di debut layar lebarnya sebagai Sutradara ini Ant Timpson berhasil menciptakan bagian pembuka yang sukses mengundang tanda tanya pada penonton. Dibantu dengan score yang unik dari Karl Steven di bagian tersebut Ant Timpson berhasil mengundang penonton untuk ingin masuk ke dalam “kunjungan” yang sedang dilakukan Norval ke rumah ayahnya. Semua semakin tampak menjanjikan setelah karakter utama kita kemudian bertemu dengan orang yang ia cari, namun di sisi lain justru mendapatkan respon yang secara bertahap membuat kesan ganjil tercipta semakin besar di antara mereka berdua. Itu adalah bagian terbaik dari film ini, ada thrill sederhana namun mencekam di sana dengan tanda tanya besar pada karakter Brian.

Mencoba mencampur comedy dengan thriller Ant Timpson mengemas cerita yang ditulis oleh Toby Harvard itu dengan sesekali menarik fokus ke arah black humor. Penonton seperti di bawah masuk ke dalam satu ruangan lalu kemudian berpindah ke ruangan lain, di setiap ruangan kita bertemu dengan pertanyaan yang semakin membesar. Pertanyaan utamanya adalah apa yang Brian inginkan dari Norval? Dan mengapa Brian seolah “menggantung” Norval sedangkan ia sendiri yang mengundang anaknya tersebut? Dari sana dapat kita rasakan ada sesuatu yang tidak beres di antara mereka, sesuatu yang perlahan menciptakan kesan berbahaya dan misterius.
Itu adalah premis dan bagian pembuka yang menarik namun sayangnya apa yang kemudian hadir dari titik tersebut tidak datang dengan membawa grafik ke arah positif. Cerita sendiri memiliki kualitas yang tidak jatuh jauh dari kualitas yang ia tampilkan di bagian pembuka, namun sayangnya ketika pondasi yang menarik itu telah terbentuk yang kemudian dibangun justru memiliki pesona dan daya tarik yang stagnan. Durasinya sendiri sebenarnya tidak panjang tapi sayang thrill tidak pernah berkembang menjadi lebih baik. Terasa unik ketika penonton tidak dapat merasakan punch yang oke di bagian adegan action, begitupula dengan aksi bersembunyi misalnya yang justru tidak mampu membuat penonton seolah ingin menahan nafas bersama karakter.

Setelah munculnya kejutan besar itu daya tarik ‘Come to Daddy’ terasa bergerak menurun. Arah dari cerita juga terasa goyah dan tidak meyakinkan seperti bagian pembuka tadi, hal yang seharusnya tidak boleh terjadi ketika sebuah film mencoba beermain-main dengan tone cerita. ‘Come to Daddy’ seperti mencoba menggabungkan humor dan brutal bersama, perpindahan di antara kedua tidak buruk namun juga tidak kuat. Setidaknya Ant Timpson berhasil membuat penonton masih mau mencoba menerka apa yang akan terjadi selanjutnya meskipun perlahan pesona cerita terdegradasi, narasi yang juga perlahan seperti kehilangan momentum yang ia punya.
Seandainya elemen komedi, thriller, dan juga horror hadir dalam komposisi yang lebih seimbang dengan tik-tok yang terasa lebih kompak mungkin saja setelah bagian pembuka dan satu kejadian penting itu pesona cerita masih dapat bergerak naik. Di sini hal tersebut terasa lemah, bahkan kita juga punya drama yang porsinya sedikit namun mengemban tugas untuk menghadirkan kehangatan yang tersimpan di antara Norval dan Ayahnya itu. Komposisi dengan perpaduan yang lebih kompak sebenarnya merupakan kunci di sini, karena ceritanya sendiri sudah punya dasar yang menarik sedangkan eksekusi di tiap bagian juga tidak buruk, namun ketika mereka digabungkan justru terasa disjointed.

Bermain-main dengan menggunakan kombinasi beberapa genre dapat dikatakan Ant Timpson bergantung pada interaksi yang terjalin di antara karakter, dan untung saja kinerja akting di sini terasa oke. Norval adalah seorang pria metropolis yang bertemu dengan kejutan setelah bertemu sang Ayah, dan dua point penting tersebut ditampilkan dengan baik oleh Elijah Wood, seorang anak yang tidak memiliki percaya diri tinggi namun justru berusaha terlalu keras untuk mengimpresi. Di sisi lain kita juga punya Stephen McHattie, ia menjalankan tugasnya di bagian pembuka dengan sangat baik untuk menciptakan arena bermain yang mencekam bagi Norval.
Overall, ‘Come to Daddy’ adalah film yang kurang memuaskan. Kisah tentang seorang anak yang mendapatkan surat dari orangtua yang sudah lama hilang dari hidupnya merupakan dasar yang baik untuk menciptakan sebuah film misteri atau mungkin drama yang masuk ke dalam kategori feel-good. Premis menarik, bagian pembuka kuat dengan kesan sinister yang memikat, namun kombinasi yang hadir selanjutnya bekerja secara kurang padat. Alhasil meskipun memiliki banyak adegan yang tidak terasa buruk secara potongan namun sebagai sebuah kesatuan ‘Come to Daddy’ justru penuh dengan berbagai punchless hits. Not bad, terhitung cukup efisien malah, namun ini seharusnya dapat terasa lebih kuat sehingga penonton tidak merasa ada something missing ketika film berakhir. Segmented. 









1 comment :