Menciptakan sebuah cerita yang mampu
menampilkan premis serta bagian pembuka menarik lalu kemudian membuat
penontonnya merasa tertarik dengan apa yang akan terjadi selanjutnya merupakan
sebuah pekerjaan yang mudah. Yang sulit adalah bagaimana kemudian premis atau
bagian pembuka tersebut tadi berkembang menjadi sesuatu yang lebih besar dengan
daya tarik yang juga semakin besar, atau at least tidak berubah ke arah
sebaliknya. Perpaduan comedy, horror,
dan thriller ini punya premis yang
menarik, tapi bagaimana dengan hasilnya? ‘Come
to Daddy”: can't handle being a cross-genre.
Turun dari bus dengan membawa sebuah koper,
pria bernama Norval (Elijah Wood) kemudian
berjalan memasuki sebuah hutan dengan menggunakan panduan pada selembar kertas.
Norval akhirnya tiba di tepi pantai dan di sana ia melihat sebuah rumah
berukuran cukup besar yang berdiri kokoh. Ia mengetuk pintu rumah tersebut dan
kemudian bertemu dengan Brian (Martin
Donovan), pria yang merupakan Ayahnya. Namun sambutan yang diberikan Brian
jauh dari apa yang diharapkan oleh Norval, dari pintu masuk dan terus
berlanjut.
Hal tersebut perlahan membuat Norval merasa
tidak nyaman, mendapat perlakuan seolah sedang diuji dan diamati oleh sang Ayah
setelah menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi permintaannya. Ya, kedatangan
Norval ke rumah sang Ayah tersebut karena ia mendapat surat dari Brian yang
meminta dirinya untuk datang. Norval berasumsi undangan tersebut merupakan upaya
dari Brian untuk menebuh kesalahan yang telah ia lakukan selama ini, menjadi
Ayah yang tidak bertanggung jawab dengan meninggalkan Norval dan istrinya.
Celakanya itu adalah asumsi yang salah besar.
Di
debut layar lebarnya sebagai Sutradara ini Ant
Timpson berhasil menciptakan bagian pembuka yang sukses mengundang tanda
tanya pada penonton. Dibantu dengan score
yang unik dari Karl Steven di
bagian tersebut Ant Timpson berhasil mengundang penonton untuk ingin masuk ke
dalam “kunjungan” yang sedang dilakukan Norval ke rumah ayahnya. Semua semakin
tampak menjanjikan setelah karakter utama kita kemudian bertemu dengan orang
yang ia cari, namun di sisi lain justru mendapatkan respon yang secara bertahap
membuat kesan ganjil tercipta semakin besar di antara mereka berdua. Itu adalah
bagian terbaik dari film ini, ada thrill sederhana namun mencekam di sana
dengan tanda tanya besar pada karakter Brian.
Mencoba
mencampur comedy dengan thriller Ant Timpson mengemas cerita
yang ditulis oleh Toby Harvard itu
dengan sesekali menarik fokus ke arah black
humor. Penonton seperti di bawah masuk ke dalam satu ruangan lalu kemudian
berpindah ke ruangan lain, di setiap ruangan kita bertemu dengan pertanyaan
yang semakin membesar. Pertanyaan utamanya adalah apa yang Brian inginkan dari
Norval? Dan mengapa Brian seolah “menggantung” Norval sedangkan ia sendiri yang
mengundang anaknya tersebut? Dari sana dapat kita rasakan ada sesuatu yang
tidak beres di antara mereka, sesuatu yang perlahan menciptakan kesan berbahaya
dan misterius.
Itu adalah premis dan bagian pembuka yang
menarik namun sayangnya apa yang kemudian hadir dari titik tersebut tidak
datang dengan membawa grafik ke arah positif. Cerita sendiri memiliki kualitas
yang tidak jatuh jauh dari kualitas yang ia tampilkan di bagian pembuka, namun
sayangnya ketika pondasi yang menarik itu telah terbentuk yang kemudian
dibangun justru memiliki pesona dan daya tarik yang stagnan. Durasinya sendiri
sebenarnya tidak panjang tapi sayang thrill
tidak pernah berkembang menjadi lebih baik. Terasa unik ketika penonton
tidak dapat merasakan punch yang oke
di bagian adegan action, begitupula
dengan aksi bersembunyi misalnya yang justru tidak mampu membuat penonton
seolah ingin menahan nafas bersama karakter.
Setelah munculnya kejutan besar itu daya
tarik ‘Come to Daddy’ terasa bergerak
menurun. Arah dari cerita juga terasa goyah dan tidak meyakinkan seperti bagian
pembuka tadi, hal yang seharusnya tidak boleh terjadi ketika sebuah film
mencoba beermain-main dengan tone cerita.
‘Come to Daddy’ seperti mencoba
menggabungkan humor dan brutal bersama, perpindahan di antara
kedua tidak buruk namun juga tidak kuat. Setidaknya Ant Timpson berhasil membuat penonton masih mau mencoba menerka apa
yang akan terjadi selanjutnya meskipun perlahan pesona cerita terdegradasi,
narasi yang juga perlahan seperti kehilangan momentum yang ia punya.
Seandainya elemen komedi, thriller, dan juga horror hadir dalam komposisi yang lebih seimbang dengan tik-tok
yang terasa lebih kompak mungkin saja setelah bagian pembuka dan satu kejadian
penting itu pesona cerita masih dapat bergerak naik. Di sini hal tersebut
terasa lemah, bahkan kita juga punya drama yang porsinya sedikit namun
mengemban tugas untuk menghadirkan kehangatan yang tersimpan di antara Norval dan
Ayahnya itu. Komposisi dengan perpaduan yang lebih kompak sebenarnya merupakan
kunci di sini, karena ceritanya sendiri sudah punya dasar yang menarik
sedangkan eksekusi di tiap bagian juga tidak buruk, namun ketika mereka digabungkan
justru terasa disjointed.
Bermain-main dengan menggunakan kombinasi
beberapa genre dapat dikatakan Ant
Timpson bergantung pada interaksi yang terjalin di antara karakter, dan untung
saja kinerja akting di sini terasa oke. Norval adalah seorang pria metropolis
yang bertemu dengan kejutan setelah bertemu sang Ayah, dan dua point penting
tersebut ditampilkan dengan baik oleh Elijah
Wood, seorang anak yang tidak memiliki percaya diri tinggi namun justru
berusaha terlalu keras untuk mengimpresi. Di sisi lain kita juga punya Stephen McHattie, ia menjalankan
tugasnya di bagian pembuka dengan sangat baik untuk menciptakan arena bermain
yang mencekam bagi Norval.
Overall,
‘Come to Daddy’ adalah
film yang kurang memuaskan. Kisah tentang seorang anak yang mendapatkan surat
dari orangtua yang sudah lama hilang dari hidupnya merupakan dasar yang baik
untuk menciptakan sebuah film misteri atau mungkin drama yang masuk ke dalam
kategori feel-good. Premis menarik,
bagian pembuka kuat dengan kesan sinister
yang memikat, namun kombinasi yang hadir selanjutnya bekerja secara kurang
padat. Alhasil meskipun memiliki banyak adegan yang tidak terasa buruk secara
potongan namun sebagai sebuah kesatuan ‘Come
to Daddy’ justru penuh dengan berbagai punchless
hits. Not bad, terhitung cukup efisien malah, namun ini seharusnya dapat
terasa lebih kuat sehingga penonton tidak merasa ada something missing ketika film berakhir. Segmented.
"Bad guys have eyes that look like raisins." :)
ReplyDelete