Mereka
adalah dua sejoli yang dengan sangat cepat tidak hanya sukses mencuri perhatian
namun juga menciptakan Dilan-effect
dalam gelombang yang sangat besar, kisah cinta dua remaja sekolah menengah atas
yang dipenuhi pertengkaran hingga adu rayu di jalanan. Sukses menempati posisi
kedua (Dilan 1990) dan ketiga (Dilan 1991) dalam daftar film Indonesia
terlaris sepanjang masa, kisah dua sejoli tersebut kembali hadir namun kali ini
dengan memutar sudut pandang: bagaimana jika cerita disampaikan oleh Dilan? Milea: Suara dari Dilan : a punchless continuation
for love story of Dilan and Milea.
Abdul Dilan (Iqbaal Ramadhan)
merupakan seorang remaja siswa sekolah menengah atas di Kota Bandung, wajahnya yang tampak lembut
ternyata berbanding terbalik dengan karakter yang ia punya. Dilan merupakan
pemimpin sebuah geng motor di Bandung, ia bersama dengan anggota geng motornya
tersebut tidak segan untuk melancarkan serangan jika sesuatu hal yang tidak
menyenangkan menimpa mereka. Dilan punya watak keras, kerap kesulitan
mengontrol emosi yang mengakibatkan dirinya berubah menjadi buas, hal yang
kerap menjadi batu kerikil bagi Dilan.
Salah
satunya adalah pada hubungan asmara yang Dilan jalin bersama dengan Milea. Milea Adnan Hussain (Vanesha Prescilla),
seorang siswi yang baru pindah ke Bandung dari Kota Jakarta, remaja wanita yang dengan sangat mudah jatuh hati pada
Dilan yang selalu menghujaninya dengan berbagai rayuan gombal. Tapi ada satu
hal yang Milea tidak suka dari Dilan, yaitu fakta bahwa Dilan adalah anggota
geng motor. Milea ingin Dilan keluar dari geng motor, hal yang menimbulkan dilema
bagi Dilan.
Merupakan
sesuatu yang sangat menarik jika sesuatu dilihat dari berbagai sudut pandang,
dan itu juga berlaku pada film. Dua tahun lalu kita bertemu dengan Abdul Dilan dan Milea Adnan Hussain lewat film ‘Dilan
1990’, dan setahun kemudian kedua sejoli yang gemar adu rayu di atas motor
tanpa menggunakan helm itu kembali menyapa lewat ‘Dilan 1991’. Dua film tersebut mencoba membawa penonton menyaksikan
kisah asmara Dilan dan Milea, dari pertemuan yang dipenuhi rasa percaya diri
oleh seorang Dilan, berbagai hal terkait geng motor, hingga akhirnya tahun lalu
memberikan sebuah jawaban untuk akhir kisah mereka. Semua itu dari sudut
pandang Milea.
Di
film ini ide yang ditawarkan adalah memutar sudut pandang tersebut. Sinopsis seperti rangkuman, pusat cerita
masih sama, kisah asmara Dilan dan Milea namun kali ini kisah tersebut
“diceritakan” oleh Dilan. Diangkat dari novel dengan judul yang sama sebenarnya
itu merupakan ide yang sangat menarik terlebih jika mengingat impresi yang Dilan
ciptakan di dua film sebelumnya, yaitu sebagai karakter dengan pesona yang
unik, seorang remaja beranjak dewasa dengan watak keras yang kemudian
"luluh" oleh satu wanita bernama Milea, dipenuhi ego serta rasa
sayang dan juga cinta Dilan sedang bertarung dengan dirinya sendiri di dalam
sebuah proses menemukan jati diri.
Lantas
bagaimana cerita dari sudut pandang Si Panglima Tempur yang doyan merangkai
kata-kata penuh rayuan gombal ini? Sayangnya tidak terlalu menarik. Skenario
yang ditulis oleh Pidi Baiq bersama Titien Wattimena sebenarnya punya awalan
yang terasa oke, pendekatan cerita yang coba diterapkan terasa halus di bagian
awal terutama pada fase di mana penonton secara singkat coba dibawa kembali
untuk “mengingat” alasan kenapa kisah cinta Dilan dan Milea adalah sesuatu yang
menarik. Di bawah kendali Fajar Bustomi dan Pidi Baiq film ini start seperti film pertama, terasa
santai dengan sedikit upaya memberikan detail lebih pada karakter Dilan.
Yang
menjadi masalah adalah bagaimana cara cerita kemudian berkembang dari fase awal
tersebut. Berbagai potongan dari dua film sebelumnya yang dihadirkan di film
ini sebenarnya bukan sesuatu yang terasa mengganggu, mereka ibarat berbagai
daratan yang telah terbentuk dan eksis. Kini Fajar Bustomi dan Pidi Baiq
mencoba menghadirkan “jembatan” yang berfungsi untuk menghubungkan berbagai
daratan tersebut, namun sayangnya mereka terasa kurang kokoh. Secara konteks
sebenarnya oke terutama pada situasi emosi Dilan yang dilanda berbagai konflik,
penuh dilema yang memaksanya untuk membuat keputusan. Tapi secara fungsi
mayoritas dari mereka tidak dapat berdiri sejajar dengan materi dari dua film
pertama yang dihadirkan kembali.
Pada
akhirnya ‘Milea: Suara dari Dilan’
seperti sebuah speedboat di dalam danau yang memilih untuk mengapung dengan tenang, tetap berlayar tapi miskin “sensasi”. Banyak bagian dari cerita yang sebenarnya
dapat menjadi arena menampilkan berbagai “gelombang” emosi, kasih sayang, dan
juga cinta yang jauh lebih besar dan lebih menarik, dari rasa kehilangan Dilan
pada Milea hingga keputusan Dilan untuk berdamai dengan emosi dan perasaannya.
Tapi sayangnya mereka hadir tanpa disertai eksplorasi yang lebih kuat, cukup proporsional
memang, contohnya seperti sebab dan akibat dari berbagai momen di dua film
pertama yang terasa cukup oke dan sebagai satu kemasan juga terasa cukup compact, tapi terasa mengecewakan jika
mengingat potensi yang ia miliki di awal.
Ide
utama juga menjadi dasar dari salah satu kelemahan di film ini, yaitu memberi
kendali pada Dilan untuk bercerita menjadikan karakter Milea terasa seperti
terpinggirkan. Milea adalah “kunci” di dua film sebelumnya, ia berhasil menjadi
karakter yang terasa “menarik” karena ia yang menggerakkan kisah cinta itu
sehingga di sisi lain Dilan juga bebas menjadi “pion” yang bergerak liar dengan
pesona miliknya. Menjadi pencerita Dilan tidak dilengkapi dengan materi yang
dapat ia gunakan untuk “membumbui” perspektifnya di sini, fokus yang terbagi
antara menjadi dewasa dan juga cinta membuat kisah cintanya dengan Milea terasa
kurang mempesona, beberapa bagian bahkan terasa hambar.
Overall,
‘Milea: Suara dari Dilan’ adalah film
yang kurang memuaskan. Fajar Bustomi
dan Pidi Baiq sebenarnya punya
“kanvas” yang lebih menarik di film ini, cerita sudah terbentuk untuk kemudian
diisi dengan memutar sudut pandang karakter ditemani dengan dramatisasi pada
cerita. Sayangnya hal terakhir tadi terasa kurang, ini bermain aman dengan
sepenuhnya mengandalkan pesona seorang Dilan.
Cukup proporsional memang dan jika dinilai sebagai upaya “menjelaskan” belaka
ini mencapai sasaran, tapi di luar itu sudut pandang dari Si Panglima Tempur
ini terasa tidak terlalu menarik, such a
tasteless and punchless continuation. Segmented.
Perpisahan adalah upacara menyambut hari-hari penuh rindu. :)
ReplyDelete