Bakat
bercerita di dalam media film layar lebar yang ia punya sebenarnya sudah
terlihat sejak ia menjadi co-writer
untuk Noah Baumbach pada film ‘Frances Ha’ yang kemudian naik ke level
berikutnya di ‘Mistress America’.
Namun ‘Lady Bird’ adalah pembuktian
terbesar dari seorang Greta Gerwig
yang membawa namanya naik semakin tinggi dan kemudian masuk ke dalam kategori “filmmaker to watch”. Gerwig punya style yang unik, ia membuat semua tampak
santai namun terasa tajam, dan itu kembali ia sajikan di film ini. Little Women: compelling and charming, it’s
a film that has to be seen.
Ditinggal
oleh suaminya, Father March (Bob
Odenkirk) yang sedang bertarung di American
Civil War, Marmee March (Laura Dern) berjuang seorang diri di rumah untuk
mengasuh empat anak perempuan mereka: si sulung berpendirian teguh Josephine "Jo" March (Saoirse
Ronan) yang memiliki mimpi untuk menjadi seorang penulis, anak kedua Margaret "Meg" March (Emma Watson)
seorang wanita yang lovely dan
melindungi, si bungsu pendiam Elizabeth
"Beth" March (Eliza Scanlen) dengan bakat musical yang besar, serta si impulsif Amy March (Florence Pugh) yang memiliki jiwa artisitik.
Di bawah
panduan dari Marmee empat wanita muda ini hidup di dalam sebuah “circle” yang sangat positif, membantu
orang lain yang sedang membutuhkan seperti telah menjadi kegemaran mereka. Hal
terakhir tadi terasa unik mengingat mereka bukanlah keluarga yang kaya raya,
hal yang sering menjadi bahan sindiran oleh bibi mereka, Aunt March (Meryl Streep). Namun kondisi keluarga mereka tersebut
justru membuat tetangga menyukai mereka, seperti Mr. Laurence (Chris Cooper) yang mengagumi Beth serta Theodore "Laurie" Laurence
(Timothée Chalamet) yang menaruh hati pada Jo.
Lewat
‘Lady Bird’ yang rilis tahun 2017
yang lalu Greta Gerwig sukses
menghadirkan sebuah coming-of-age film
di mana karakter utama mulai bertumbuh dewasa dan berhadapan dengan emosi yang
“dewasa” pula, ditemani berbagai konflik menggunakan sahabat hingga keluarga.
Ceritanya yang sederhana itu terus memaku atensi berkat penceritaan yang terasa
dinamis, dan hal tersebut kembali terulang di film ini. Setting cerita di tahun 1868 tidak membuat Greta Gerwig kesulitan, kisah yang dipenuhi karakter dengan
berbagai spirit menarik karya Louisa May Alcott itu dibentuk menjadi
sebuah dongeng dengan sentuhan modern
feminist dalam presentasi klasik yang terasa charming sejak awal hingga akhir.
Hal
yang paling mencuri perhatian di sini adalah kemampuan Greta Gerwig menyusun screenplay
yang bergerak non-linear. Cerita yang
episodik itu membawa penonton menyaksikan proses dari empat saudara tersebut
dari remaja beranjak dewasa dengan cara maju dan mundur secara bergantian. Ada
dua titik atau bagian di sini, satu yang mencoba menggambarkan ketika mereka
merasakan bagian akhir dari masa anak-anak mereka sedangkan satu bagian lainya
adalah ketika mereka mulai masuk ke dalam kehidupan dewasa mereka, their adulthood. Present, past, present, past, gerak maju dan mundur
pada cerita terasa sangat cantik, diselingi dengan beberapa flashback cerita punya jahitan dan
penjajaran antar bagian yang terasa halus dan menyenangkan untuk diikuti.
Meskipun
karakter berada di dua “bagian” yang berbeda dari kehidupan mereka namun di
tangan Greta Gerwig tidak ada bagian
yang terasa disjointed atau terasa
kosong. Berbagai perpindahan antara past
dan present itu hadir layaknya dua
jenis tarian yang kombinasinya terasa menyenangkan disaksikan, terasa menghibur
layaknya karakter yang sedari awal memiliki spirit
lovable secara implisit juga terus memperbesar pesona mereka tersebut,
termasuk pula cerita. Dari karakter, dari cerita, Greta Gerwig tampak setia dengan sumber utama cerita namun ia
membentuk kembali materi tersebut secara simple
di beberapa bagian sehingga point-point
menarik justru lebih bersinar terang.
Sutradara
Gillian Armstrong pernah menyajikan
versi dari ‘Little Women’ miliknya 25
tahun yang lalu, kali ini Greta Gerwig
mencoba menghadirkan versi miliknya tentu dengan visi yang menyasar bagi
generasi yang lebih baru. Cerita ia buat simple
namun dibingkai dengan fokus yang kuat tanpa meninggalkan sentuhan period. Karakter ia eksplorasi dengan
tepat sehingga masing-masing terasa kaya sesuai kapasitasnya di dalam cerita,
bagaimana tumbuh menjadi dewasa membawa dampak bagi mereka dan juga orang-orang
di sekitar mereka. Di sini dialog-dialog “tajam” dari Greta Gerwig bekerja sangat baik, percakapan antar karakter tidak
hanya menggerakkan konflik saja namun juga memperkuat ikatan antar karakter.
Tidak
heran penonton selalu bertemu dengan gejolak emosi sederhana namun tajam di
dalam cerita. Ada energi dari jiwa muda di dalamnya namun ada pula problema
dewasa lengkap dengan melancholy
dalam komposisi yang cantik, berpusat pada masalah cinta Greta Gerwig
menyajikan pengalaman menonton yang penuh warna namun tanpa dramatisasi yang
kelewat manja. Koneksi serta hubungan sebab dan akibat antara past dan present ia bentuk dengan sangat baik, berbagai clash muncul namun disertai dengan kegembiraan yang bertumpu pada
ikatan antar karakter yang berlandaskan rasa kasih sayang. Greta Gerwig tahu apa yang hendak ia lakukan dan ia capai, dan itu
ia eksekusi dengan kontrol yang sangat menawan.
Greta Gerwig
menciptakan staging yang sangat
cantik di film ini, ia juga dibantu oleh elemen lain di sekitar cerita dan
karakter. Dari sisi design, production
design dari Jess Gonchor dan Claire Kaufman serta costume design dari Jacqueline Durran sukses menghadirkan nafas klasik bagi cerita. Cinematography yang ditangani Yorick Le Saux's juga oke, tidak hanya
sekedar menjadikan gambar-gambar itu menjadi jembatan penghubung antara
karakter dan penonton, namun juga menciptakan atmosfir untuk past dan present. Film editing
dari Nick Houy juga punya andil
besar, berbagai pergeseran waktu di dalam cerita terasa sangat smooth, sama seperti score menawan dari Alexandre Desplat. Namun di atas itu semua tentu saja kinerja
akting yang sangat menyenangkan itu.
Setiap
karakter di ‘Little Women’ memiliki
peran dalam ikatan cerita berkat kemampuan Greta
Gerwig memberikan komposisi dan kesempatan bagi masing-masing karakter dan
membuat mereka terus terasa dinamis. Ya, interaksi antar karakter terasa
dinamis dan secara individual mereka manis. Eliza
Scanlen sukses membuat Beth mencuri perhatian dibalik sikapnya yang
pendiam, sementara Emma Watson
berhasil menjadikan Meg sebagai penyeimbang yang manis bagi The March sisters, keinginan Meg untuk
menikah dengan pria yang ditentang oleh bibinya menjadi salah satu isu yang
dikemas dengan sangat baik di sini. Sedangkan Laura Dern sukses tampil sebagai seorang ibu yang penyabar,
bijaksana, dan penyayang.
Timothée Chalamet
sendiri merupakan case yang sedikit
unik di sini, karena Laurie merupakan karakter yang “bermain” di antara dua
bersaudara di keluarga March, kegigihan yang ia tunjukkan kepada Jo juga
ditampilkan dengan baik oleh Timothée. Sementara Tracy Letts, Bob Odenkirk, Meryl Streep, dan Chris Cooper menggunakan kesempatan yang mereka punya untuk
bersinar, bintang utamanya di sini ada dua. Pertama, Saorise Ronan, membuat Jo menjadi wanita muda yang gigih dan charming, cara ia mengekplorasi gejolak
emosi dari Jo terasa cantik. Dan satu lagi, Florence
Pugh. Amy karakter yang tidak mudah, wanita muda yang impulsif namun di
sisi lain seorang tender-hearted women.
Florence Pugh tampilkan dua sisi itu
dengan sangat baik.
Overall, ‘Little Women’ adalah
film yang sangat memuaskan. Ini pengalaman menonton yang penuh warna. Greta Gerwig sekali lagi berhasil
membuktikan bahwa ia merupakan filmmaker
to watch melalui film ini, sebuah coming-of-age
period drama film dengan selipan drama,
humor, dan emosi yang cantik. Greta Gerwig dengan terampil dan
bijaksana berhasil menerjemahkan materi karya Louisa May Alcott itu menjadi sebuah adaptasi yang terasa kaya,
kisah tentang sisterhood yang
bergerak santai namun mampu mempermainkan emosi penonton dengan cara yang sopan
dan tajam, terasa enlightening dan stunning dalam kisah sederhana yang
terasa bittersweet itu. I love it. It’s romantic. It’s very moving.
Pretty things should be enjoyed. :)
ReplyDelete