Dia
adalah sosok yang sangat "membekas" ketika ‘Suicide Squad’ hadir empat tahun lalu, sosok lembut dengan
kegilaan yang psychotic meninggalkan
kenangan pesona yang impresif terlebih dengan sex appeal yang ia punya. Kini ia kembali, berawal dari kandasnya
kisah cinta antara dirinya dengan Joker kali
ini Harley Quinn mencoba mengajak
penonton untuk mengenal dirinya secara lebih mendalam, dan tentu saja tetap
dengan “kegilaan” yang ia punya. ‘Harley
Quinn: Birds of Prey’ : a colorful lunacy with Harley.
Joker kembali membuat
ulah di kota Gotham, kali ini melalui kisah cinta. Kisah asmaranya dengan Harley Quinn (Margot Robbie) kali ini
berhasil membuat psikiater cantik yang punya nama asli Harleen Quinzel tersebut merasakan galau dan sedih luar biasa.
Merasa telah memberikan hidupnya seperti dengan bersedia menceburkan diri dan
membantu segala aksi kejahatan dan kegilaan kekasihnya tersebut, Harley
dirundung rasa galau akibat hubungannya dengan Joker berakhir. Namu satu hal
yang Harley pada akhirnya sadari pula, situasi tersebut justru membawa ia masuk
ke dalam sebuah bahaya besar.
Selama
ini penduduk Gotham City takut untuk
terlibat masalah dengan Harley, karena ia pacar Joker. Ketika status single-nya
terkuak Harley kemudian dengan cepat menjadi incaran banyak orang yang ingin
balas dendam. Sialnya, Harley juga terjebak di dalam rencana penguasa kriminal
bernama Roman Sionis (Ewan McGregor).
Berawal dari sebuah berlian yang melibatkan Dinah
Lance (Jurnee Smollett-Bell) dan Victor
Zsasz (Chris Messina), seorang pencopet muda bernama Cassandra Cain (Ella Jay Basco) membuat Harley harus bertarung
dengan waktu, dan tentu saja orang-orang korban aksi gilanya selama ini.
Titik
awal dari Harley Quinn: Birds of Prey
adalah sesuatu yang menarik, karakter utama merasa sedih dan galau lalu
kemudian memutuskan untuk “keluar” dari bayang-bayang kekasihnya. Itu mengapa
judul film ini menjadi panjang, Birds of
Prey (and the Fantabulous Emancipation of One Harley Quinn), karena ada
upaya untuk menggambarkan terkait isu emansipasi di dalam cerita. Berhasilkah?
Ya, cukup berhasil. Upaya Harley untuk melupakan Joker membuat dirinya kemudian masuk ke dalam “kekacauan” yang
mungkin dahulu dapat selesai dengan mudah berkat Joker, namun kali ini tidak.
Dibuang, putus asa, Harley “dipaksa mandiri” di sini.
Namun
ketimbang sekedar memberikan berbagai konflik yang harus diselesaikan script yang ditulis oleh Christina Hodson (Bumblebee) juga
mencoba menyajikan cerita dengan menempatkan Harley sendiri sebagai narator.
Dan jujur saja itu adalah salah satu keputusan terbaik di film ini. Dengan gaya
sassy yang ia miliki Harley sukses
membawa penonton bermain-main dengan kisah hidupnya, meta-narrative dengan alur cerita maju dan mundur dipenuhi dengan
lompatan waktu. Sinopsis di atas
menjadi gambaran cerita keseluruhan, ini bukan kisah dengan plot yang rumit
sebenarnya sehingga keputusan untuk bercerita dengan cara yang “chaotic” merupakan sebuah keputusan
yang tepat.
Ya,
keputusan itu sukses membantu screenplay
yang terasa tidak terlalu kuat itu terlebih dengan kemampuan sutradara Cathy Yan yang dengan mahir merajut
cerita ke dalam bentuk presentasi yang, well,
menyenangkan. Harley Quinn: Birds of Prey
juga sukses melanjutkan apa yang sudah dilakukan oleh 'Wonder Woman', 'Aquaman', dan juga 'Shazam!' di DC Extended
Universe, tone dari cerita tidak
lagi menjadi masalah di sini. Ketimbang mencoba tampil “too dark” Cathy Yan
justru lebih memilih mengeksploitasi charm
terbesar dari Harley, yaitu ketidaksopanan yang terasa quirky but catchy, berbagai humor
disuntikkan dalam setiap momen atau situasi dengan pattern yang akan membuat penonton teringat pada 'Deadpool'.
Lucu
dan penuh energi, banyak scene yang
sukses membuat penonton tertawa dan mayoritas sumbernya berasal dari aksi gila
impulsif. Penonton terus mengikuti pikiran energik dan manic dari Harley yang membawa cerita maju dan mundur, bertemu
komedi yang oke lalu sedikit drama yang tidak mellow untuk kemudian menyaksikan elemen action beraksi, sebuah kisah tentang refleksi diri yang secara
bersamaan mampu untuk terasa funny and
deadly. Elemen action adalah salah satu bagian terbaik film ini, dibentuk
oleh camera work yang manis penonton
bertemu dengan berbagai adegan aksi yang over-the-top
tapi tidak terasa berlebihan dan justru sukses menciptakan “ledakan” dan
berbagai punch yang mantap.
Namun
bukan berarti Harley Quinn: Birds of Prey
hadir tanpa cela. Act terakhir,
itu terasa longgar, karakter lain seperti Helena
Bertinelli / Huntress (Mary Elizabeth Winstead), Renee Montoya (Rosie Perez), Black
Canary dan Cassandra Cain juga
perlahan terasa seperti “pembantu” Harley meskipun porsi yang mereka punya
digunakan dengan baik. Hodson menyediakan ruang namun tidak dengan waktu bagi
karakter-karakter tersebut, terasa sedikit aneh mengingat meskipun di satu sisi
ini adalah kisah tentang Harley Quinn namun di sisi lain juga merupakan cerita
tentang terbentuknya sebuah tim, Birds of
Prey. Cathy Yan dan Hodson seolah sepakat untuk memilih satu saja dan itu
memberi ruang yang luas untuk Harley melakukan hal-hal gila yang ia inginkan ditemani soundtrack yang asyik itu.
Cathy
Yan ingin fokus pada karakter Harley serta fokus untuk membuat kisah tentang
Harley tersebut terasa colorful and
impactful. Birds of Prey sedikit porsinya, sisanya arena “menari” bagi
Harley, memanfaatkan R rating untuk
menampilkan berbagai stylish violence seperti
ledakan penuh warna dan confetti.
Cathy Yan juga sukses mengarahkan cast, dari supporting role eksekusi fungsi dari karakter masing-masing terasa
baik dengan dua yang sukses mencuri perhatiian adalah Mary Elizabeth Winstead (The Spectacular Now, 10 Cloverfield Lane) dan Ewan
McGregor (Salmon Fishing in the Yemen, The Impossible). Bintang utamanya, Margot
Robbie (The Wolf of Wall Street, Z for Zachariah, The Big Short, The Legend Of Tarzan, Once Upon a Time in Hollywood, Bombshell) tampil sangat baik, membawa pesona Harley Quinn naik ke level
berikutnya dan sukses menjadi pusat yang mempesona with her lunacy and energy.
Overall, ‘Harley Quinn: Birds of Prey’
adalah film yang memuaskan. DCEU tampaknya perlahan semakin menemukan “alur”
mereka, pembuktian terbarunya adalah film ini, sebuah aksi mengenal lebih dalam
dari anti-heroine yang terlepas dari
beberapa kekurangannya sukses menyuguhkan sebuah sajian penuh warna yang terasa
menyenangkan, mengekploitasi secara tepat guna “emas” yang ia punya untuk
membawa penonton “bouncing”
menyaksikan aksi bersenang-senang yang gila dan menggembirakan dari para
karakter, especially Harley Quinn. A lot
of fun, it’s a colorful lunacy with Harley, and I am looking forward to the
next adventure of Harley Quinn. Fyi, Margot Robbie is phenomenal as Harley
Quinn. Segmented.
I told you she had a killer voice. :)
ReplyDelete