“Three people can keep a secret only when two of them are dead.”
Aksi menggali kuburan sendiri di dalam sebuah gangster movie? Ya, itu yang coba dihadirkan oleh film ini, karya terbaru dari Master dari jenis film tersebut. Martin Scorsese, hal yang terlintas di pikiran ketika mendengar atau membaca nama tersebut adalah epic drama dan gangster movie, dari Taxi Driver, Goodfellas, Gangs of New York, hingga The Departed adalah contoh epic drama dan gangster movie menawan dari Martin Scorsese. Kini ia kembali, masuk ke tanah yang sama dengan menggunakan formula klasik miliknya. ‘The Irishman’ : perfect bride for Goodfellas.
Pada tahun 1950-an di Philadelphia, Frank Sheeran (Robert De Niro) bekerja sebagai supir truk pengantar daging, namun suatu ketika Frank menyadari bahwa pekerjaannya tersebut dapat ia manfaatkan untuk menghasilkan uang dalam jumlah yang lebih banyak. Extra money, Frank mulai menjual beberapa isi dari kiriman yang ia angkut kepada gangster bernama Felix "Skinny Razor" Ditullio (Bobby Cannavale). Aksinya tersebut membuat Frank dituntut oleh perusahaannya, meskipun berkat bantuan Bill Bufalino (Ray Romano) Frank berhasil lepas dari jeratan hukum.
Melalui Bill kemudian Frank diperkenalkan dengan Russell Bufalino (Joe Pesci), mafia Amerika yang merupakan boss the Northeastern Pennsylvania crime family. Setelah meminta Frank untuk menjadi hitman, Russell kemudian memperkenal Frank kepada Jimmy Hoffa (Al Pacino), pemimpin the International Brotherhood of Teamsters yang sedang berjuang menghadapi pemerintah. Berawal dari posisi chief bodyguard bagi Hoffa peran Frank di dalam “dark business” yang dijalankan oleh Hoffa dan juga Russell perlahan bergerak semakin besar dan semakin dalam.
Kisah yang diangkat dari ‘I Heard You Paint Houses’ karya Charles Brandt dengan script ditulis oleh Steven Zaillian (Schindler's List, Awakenings, Gangs of New York, Moneyball) ini terasa seperti sebuah nostalgia akan karya-karya epic crime dari Martin Scorsese sebelumnya. Jika dipersempit lagi, ‘The Irishman’ seolah seperti ‘pengantin’ bagi ‘Goodfellas’ yang muncul setelah tiga dekade. Mengingat durasinya yang gemuk itu, 209 menit, menonton film ini seperti sedang berjalan di dalam sebuah nostalgia ketika menyaksikan Goodfellas, kental dengan atmosfir melankolis menyaksikan karakter bergerak tenang membawa penonton menyaksikan serangkaian kejahatan yang perlahan terasa semakin mengerikan.
Martin Scorsese menggunakan formula epic crime tradisional di sini, dari cara plot bergerak hingga cara klimaks dan konklusi hadir, tapi yang paling menarik adalah bagaimana proses “bercerita” yang Frank Sheeran dihadirkan dalam bentuk tiga benang narasi yang berputar dan saling bersanding satu sama lain: Frank sebagai hitman, older Frank, dan yang terakhir adalah Frank di panti jompo. Dari bertemu berbagai macam penjahat hingga manuver politik, kisah yang faktanya terasa pahit dan manis itu merupakan sebuah proses mengamati yang menarik, mengamati Frank perlahan menggali “kuburannya” sendiri.
Tragic adalah point utama yang coba Scorsese tampilkan di sini melalui karakter Frank. Storytelling tidak terasa berapi-api, kita bahkan memiliki karakter utama yang cenderung pasif, karakter loyal dan menaati semua perintah yang kemudian membentuk sebuah pertentangan tentang moral ke dalam cerita. Detail yang Scorsese bentuk di sini terasa cantik, tidak hanya pada cara ia menggoda penonton dengan berbagai deskripsi singkat dan sederhana tapi juga pada mood yang terbentuk di dalam cerita, proses pengungkapan gambaran kriminal yang semakin besar secara bertahap itu terasa halus dan menarik ketika berpindah dari satu momen ke momen yang lain.
Mood cerita terasa kuat dan kering, kita mengamati karakter tanpa adanya rasa terikat yang terlalu dalam tapi di sisi lain merasa terjebak di dalam kekacauan hidup Frank Sheeran. Ada atmosfir yang manis dan kuat, ditemani cerita yang terus berpindah dengan momentum yang apik. Cinematography dari Rodrigo Prieto berperan penting di situ termasuk pula film editing dari Thelma Schoonmaker, berbagai momen penting tampil dengan punch yang cantik. Berbagai elemen pendukung juga menjalankan tugasnya dengan baik, seperti dark humor contohnya hingga beberapa touching moment yang diselipkan dengan baik ke dalam kisah tentang misteri kehidupan ini.
Namun ada satu elemen yang cukup mengejutkan dari film ini. Bukan kualitas akting, elemen yang sedari awal sudah sukses mencuri perhatian, dari Robert De Niro yang sukses berperan sebagai pusat yang menarik, Joe Pesci yang menampikan kinerja akting bersahaja dan terasa kaya, hingga the main star yaitu Al Pacino, tampil liar dan penuh energi menjadikan Hoffa sebagai sucker-punch character dan juga penyeimbang kadar ancaman dan kegembiraan di dalam cerita. Satu elemen lain tersebut adalah visual effects, sukses menghadirkan visual meyakinkan ketika mengubah wajah dari karakter menjadi versi yang mereka di berbagai rentang usia.
Overall, ‘The Irishman’ adalah film yang sangat memuaskan. Kisah tragis dari seorang pria yang “menggali kuburannya sendiri” ini sukses menjadi another epic crime drama yang menawan dari seorang Martin Scorsese. Seperti yang ia coba lakukan di beberapa karyanya belakangan ini, seperti Hugo, The Wolf of Wall Street, dan juga Silence, ‘The Irishman’ merupakan sebuah percobaan yang penuh ambisi dari Scorsese walaupun tampil dengan formula tradisional layaknya epic crime atau gangster movie karya Scorsese sebelumnya. Dan ambisi itu tercapai, sebuah sajian kisah dunia kriminal yang kering, dingin, kasar, kejam, dan menawan, sebuah Yin bagi Yang telah hadir tiga dekade sebelumnya, Goodfellas. Segmented.
Scorsese!!
ReplyDelete