Apa
yang kamu harapkan diberikan oleh sebuah film yang mengangkat tema peperangan?
Kekacauan dan teror adalah contoh
dua aspek penting dari war film, seberapa
mampu ia membawa penonton masuk ke dalam medan peperangan tersebut untuk
kemudian mengelilingi mereka dengan berbagai kekacauan dan meninggalkan kesan
menakutkan dan teror setelahnya. Experience, itu salah satu elemen
penting dari sebuah war film, elemen
yang di tahun 2017 lalu sukses diberikan oleh ‘Dunkirk’. Bagaimana dengan film ini? ‘1917’ : a lovely battlefield experience.
April
1917, divisi pengintaian udara milik tentara Inggris menyampaikan laporan bahwa
tentara Jerman yang menduduki the Western
Front di bagian utara Perancis
kini telah menarik diri, mereka mundur dari panggung utama Perang Dunia I
tersebut. Hal tersebut membuat Jenderal
Erinmore (Colin Firth (Kingsman: The Secret Service, Mary Poppins Returns)) memutuskan untuk mengambil tindakan cepat, yaitu
mengirimkan pesan kepada Kolonel
Mackenzie (Benedict Cumberbatch (The Imitation Game, Star Trek Into Darkness, August: Osage County)), pemimpin the Second Battalion of the Devonshire Regiment, untuk membatalkan
serangan yang telah dijadwalkan.
Karena
saluran telepon terputus maka dipilih dua prajurit untuk menyampaikan pesan
tersebut, yaitu Lance Corporal Thomas
Blake (Dean-Charles Chapman) dan sahabatnya Lance Corporal William Schofield (George MacKay). Tom dan Will
mengemban misi yang sangat penting, karena jika sampai pesan tersebut tidak
berhasil sampai tepat waktu maka akibatnya serangan tersebut akan terjadi dan
dapat mengakibatkan Inggris kehilangan sekitar 1.600 prajurit, salah satunya adalah
Lieutenant Joseph Blake (Richard Madden),
saudara Tom yang bertugas di Second Battalion.
Di
atas tadi adalah sinopsis yang sangat
sederhana, sebuah misi dengan start dan
finish yang dapat “terasa” sangat
dekat, konflik utama yang jelas serta berbagai tekanan dan konsekuensi yang
sudah clear sedari awal. Mungkin
pertanyaan yang tersisa adalah apakah benar Pasukan Jerman telah menarik diri
dari the Western Front? Pertanyaan
tadi digunakan dengan sangat baik oleh Sam
Mendes (American Beauty, Revolutionary Road, Skyfall, Spectre), script yang ia tulis bersama Krysty Wilson-Cairns memuat banyak momen
yang jelas-jelas mengandalkan pertanyaan tadi, menciptakan rasa cemas dan
waspada yang terasa oke terkait kondisi sesungguhnya di the Western Front.
Atensi
penonton akhirnya terpaku pada setiap gerak-gerik Tom dan Will ketika membawa
misi tersebut, rasa cemas dan sikap waspada mereka juga berhasil ditransfer
kepada penonton. Dari sana kemudian Sam
Mendes dengan cerdik memasukkan berbagai macam ancaman dan bahaya ke dalam
medan peperangan, dari skala kecil dengan menggunakan tikus tersebut hingga
ketika Tom dan Will bertemu dengan pesawat dan masuk ke dalam sebuah kota di
malam hari. Tidak ada observasi yang terlalu mendalam di sini terkait konflik
pada peperangan yang sedang berlangsung, fokus utama adalah membawa karakter
terus bergerak dengan dipenuhi rasa cemas bercampur urgensi tingkat tinggi.
‘1917’
punya momen yang mencoba sedikit mengekplorasi sisi “human” yaitu dengan menggunakan wanita Perancis dan bayinya,
insiden pesawat juga salah satunya, namun "posisi" dan porsi mereka
tidak besar. Sangat jelas bahwa Sam Mendes ingin agar perjuangan Tom dan Will
tidak “diganggu” dengan hal-hal yang membuat jalur utama cerita menjadi tidak
lurus frontal, semua harus tampil simple dan efisien. Tidak ada intrik
politik, tidak ada dramatisasi psikologis yang kompleks, dua prajurit tersebut
adalah pembawa pesan dan tugas mereka adalah untuk terus berjalan, berlari, dan
bersembunyi agar selamat di tempat tujuan mereka. Karakter berpacu dengan waktu
dan itu menjadi media yang diisi dengan berbagai sekuens action penuh
ketegangan yang berlimpah.
Apakah
berhasil? Ya, berhasil. ‘1917’ terasa
seperti video game di mana penonton
menjadi orang ketiga di samping Tom dan Will, merasa seolah
"terperangkap" bersama mereka. Hal tersebut terasa semakin kuat
berkat feel di mana seolah titik start dan titik finish dipertemukan dengan satu garis yang tidak pernah terputus.
Ya, nilai jual utama dari ‘1917’ sedari adalah technical gimmick tersebut, cinematography
yang membawa kamera bergerak ke sana ke mari seolah tidak terputus sejak awal
hingga akhir, one take a la 'Birdman'. Di bawah kendali Roger
Deakins kamera bergerak halus dan terampil, sukses membawa penonton untuk
semakin tenggelam bersama bahaya yang siap menghampiri karakter kapan saja.
Tentu
saja, pencapaian tersebut tidak lepas dari kualitas film editing yang ditangani oleh Lee Smith (The Dark Knight, Inception, Dunkirk), berbagai long-take sequences berhasil ia jahit
dengan rapi dengan produk akhir yang terasa halus. Sam Mendes juga terus mencoba memborbardir penonton dengan berbagai
kepanikan namun ia juga harus berterima kasih pada score dari Thomas Newman (14
Oscar Losses) yang menambah kualitas kesan mengigit yang dimiliki setiap scene. Production design juga manis, dari kuda, peralatan perang, hingga
mayat, mereka diciptakan dengan sangat meyakinkan dan berperan penting pada
tensi dan kesan horror yang tersimpan
di dalam cerita.
Namun
saya mungkin adalah satu dari beberapa penonton yang pada akhirnya merasakan
dampak atau efek dari kurangnya human and
personality depth dari karakter dan cerita. Sangat mudah mengagumi kualitas
dari aspek teknis ‘1917’ dan jika menilik kinerja cast juga tidak berada kelas yang jelek, mereka sangat impresif
dari pemeran pendukung hingga dua karakter utama, Dean-Charles Chapman (Before I Go To Sleep) dan George
MacKay (Pride, Captain Fantastic) sukses menampilkan berbagai emosi lewat ekspresi wajah dan gerak
tubuh mereka, sesuai dengan tugas mereka. Tapi ketika film ini berakhir tidak
ada punch yang super kuat dan begitu
menohok, garis finish itu terasa sedikit superficial
for me. A bit.
Overall, ‘1917’
adalah film yang memuaskan. Berlari di reruntuhan kota dengan nyala api yang
perlahan berganti cahaya matahari pagi, ‘1917’ punya banyak momen mengasyikkan,
sukses memberikan penonton pengalaman untuk ikut merasakan penggambaran intens
perjuangan di panggung utama Perang Dunia I. Sam Mendes berhasil mengeksekusi ambisi besar itu terlebih pada
pencapaian pada aspek teknis yang hingga sampai saat ini masih sangat mudah
untuk dikagumi, dan yeah, at least mampu untuk menutupi sedikit kekurangan yang
‘1917’ punya. Segmented.
Dunkirk!! :)
ReplyDelete