Salah
satu trend yang sedang marak di
industri perfilman belakangan ini adalah kembalinya film atau sequels yang telah lama tertidur pulas. Bad Boys menambah panjang daftar
tersebut, terakhir kali menyapa penonton tahun 2003 yang lalu lewat Bad Boys II, kini salah satu action komedi hits tersebut mencoba kembali menyapa
penggemarnya. Apakah berhasil? 'Bad Boys
for Life' : a worth seeing nostalgia.
Detektif Marcus Burnett (Martin
Lawrence), yang baru saja memiliki cucu laki-laki, menyampaikan
sebuah berita kepada partnernya Mike
Lowrey (Will Smith). Setelah menjadi rekan kerja selama 25 tahun Marcus
akhirnya memutuskan untuk pensiun. Namun pada sebuah acara Mike ditembak oleh
seorang assassin bernama Armando Aretas (Jacob Scipio). Armando
mendapat perintah dari ibunya, Isabel
Aretas (Kate del Castillo) untuk membunuh semua pihak yang mengakibatkan
jatuhnya kartel Aretas yang ia kelola bersama suaminya.
Setelah
sembuh Mike meminta Marcus untuk membantunya menangkap sang pelaku. Namun
celakanya Marcus telah berjanji kepada Tuhan bahwa ia tidak melakukan aksi
kekerasan lagi. Atas instruksi Captain
Conrad Howard (Joe Pantoliano) tim spesialis komputer bernama Advanced Miami Metro Operations (AMMO)
ditugaskan membantu Mike, beranggotakan Kelly
(Vanessa Hudgens), Dorn (Alexander Ludwig), Rafe (Charles Melton), dan Rita (Paola Núñez).
Lebih
dari satu setengah dekade tertidur, apa sebenarnya niat dari comeback yang dilakukan Bad Boys ini?
Apakah kembali menghadirkan sekuel merupakan sebuah ide yang bagus? Pro dan
kontra tentu saja ada namun hasil yang ditampilkan oleh duet sutradara Adil El
Arbi dan Bilall Fallah di film berhasil membuat pertanyaan tadi seolah tidak
begitu berarti. Ini semacam petualangan yang mencoba membawa penonton
bernostalgia, menyaksikan dua karakter utama yang tidak bisa dipungkiri
merupakan charm utama dan di
kesempatan kali ini sukses menjalankan tugasnya dengan sangat baik, serta di sisi
lain mampu menutupi kekurangan yang ada.
Apa
kekurangan film ini? Ya, tipikal, yaitu ceritanya yang nothing special. Bukan merupakan sesuatu yang terasa sangat
mengganggu sebenarnya namun materi yang terkandung di dalam screenplay yang ditulis oleh Chris Bremner, Peter Craig, dan Joe Carnahan itu masih “terkurung” di
dalam sangkar yang sudah dibuat dua film terdahulu walaupun memang di beberapa
bagian terdapat semacam self-reflection
dan momen touching bagi karakter yang
terasa cukup oke. Minus bukan berarti sepenuhnya berdampak jelek, buktinya
keputusan untuk tetap menggunakan formula
yang sama juga menghasilkan banyak dampak positif, salah satunya itu tadi,
kekuatan dan peson pada nostalgia yang coba dijual.
Jualan
utama dari ‘Bad Boys for Life’ ada
pada dua karakter utamanya, dan itu yang terus coba digali serta dieksploitasi
oleh Adil El Arbi dan Bilall Fallah di sini. Beberapa karakter baru dihadirkan
untuk membuat cerita menjadi lebih segar dan tentu saja untuk menciptakan
beberapa “jalan” baru bagi cerita, itu berhasil, tapi ‘Bad Boys for Life’ tetaplah milik Mike dan Marcus. Menariknya dua
sutradara juga bukan hanya tidak mencoba mengubah yang sudah ada saja namun
juga seolah tidak mencoba untuk “memperluas” dunia Bad Boys. Lagi dan lagi, itu keputusan yang tepat, area bermain
menjadi sempit dan itu membawa dampak positif, comedic chemistry antara Mike dan Marcus berhasil tampil mempesona.
The dynamic comic
berhasil, tipikal 90’s cop dua
karakter utama kembali menunjukkan pesona yang membuat banyak orang mengagumi
mereka, ikatan yang terjalin kini terasa lebih ringan dan ada semacam sincerity di dalam hubungan kerja dan
persahabatan mereka. Hal yang sama juga hadir di elemen action, Adil El Arbi dan Bilall
Fallah melakukan copy dan paste dari dua film terdahulu, yaitu
gaya Michael Bay yang chaotic and noisy. Dari sudut
pengambilan gambar, gerakan slow motion
yang digunakan, hingga bagaimana upaya menampilkan karakter agar tampak “cool” di hadapan penonton, semua seolah
dibuat agar tampak besar dan keren. Dan ya, itu salah satu faktor yang membuat
film ini worth seeing.
Banyak aksi konyol namun action
comedy yang bergerak cepat ini sukses menghadirkan semacam “ride” yang terasa cukup menyenangkan, thrill yang disajikan cukup oke,
pemilihan lagu juga oke, hingga emosi yang dihadirkan juga tidak terasa tumpul.
Mood yang diberikan cerita sukses
membawa penonton yang telah menyaksikan dua film pendahulunya itu serasa sedang
bernostalgia, filled with toughness and
coolness dalam gerak yang groovy,
dibantu dengan kinerja akting dan chemistry
dari Will Smith dan Martin Lawrence yang terasa oke. Tidak
semua dari mereka hadir dengan kualitas yang sangat baik memang, terlebih
dengan fakta ceritanya sendiri yang well,
nothing special.
Overall, ‘Bad Boys for Life’
adalah film yang cukup memuaskan. Tampil dengan formula yang tidak jauh berbeda
dengan dua pendahulunya, sutradara Adil El Arbi dan Bilall Fallah berhasil
“menghidupkan kembali” duet pria tangguh dan "badut" itu, layaknya
sebuah reuni dengan penuh rasa nostalgia. Tentu ada materi baru namun secara
garis besar ini adalah copy dan paste dari dua film sebelumnya yang
kemudian dibentuk dengan sentuhan yang lebih modern. Berhasilkah? Ya, berhasil,
cepat, bising, bloody, and cool, semua tampil dengan berbagai
ledakan yang cukup oke serta tentu saja, fokus pada dua karakter utama, Mike and Marcus. It’s a good nostalgia. A
good guilty pleasure.
Bad Boys, one last time?
ReplyDelete