“Mary
Poppins, it is wonderful to see you!”
Mary Poppins, practically perfect in
every way. Ya, itu memang, because it's Supercalifragilisticexpialidocious! Menjadi salah satu
karakter paling ikonik yang pernah hadir di industri perfilman dunia, butuh
waktu selama lima dekade dan empat tahun untuk Mary Poppins mendapat kesempatan berikutnya untuk menyapa para
penonton, kesempatan untuk menyuntikkan energi gembira sesuai dengan
prinsipnya, yaitu in every job that must
be done, there is an element of fun. Hasil akhirnya? ‘Mary Poppins Returns’: a spoonful of sugar.
Pada
tahun 1935, Michael Banks (Ben Whishaw)
kini telah tumbuh dewasa hidup bersama tiga orang anaknya, John (Nathanel Saleh), Anabel (Pixie Davies), dan Georgie (Joel Dawson). Dibantu housekeeper, Ellen (Julie Walters), dan
tentu saja saudara perempuannya Jane
Banks (Emily Mortimer), Michael mencoba untuk keluar dari duka kehilangan
sang istri yang masih menyelimuti dirinya. Seolah tahu bahwa Michael juga
sedang berjuang untuk melunasi pinjamannya di Fidelity Fiduciary Bank, Mary Poppins (Emily Blunt) kembali ke Cherry Tree Lane.
Mary Poppins
menawarkan diri untuk membantu mengurus dan mengajari anak-anak Michael, as a nanny. Dibantu oleh lamplighter bernama Jack (Lin-Manuel Miranda), Mary Poppins membawa John, Anabel, dan
Georgie ke dalam berbagai petualangan gila penuh pelajaran berharga yang pernah
sang ayah dan saudara perempuannya rasakan dahulu. Siapa sangka, petualangan
tersebut memiliki benang merah dengan perjuangan Michael yang berpacu dengan
waktu dan berada di bawah tekanan management
Bank yang dipimpin oleh William
Weatherall Wilkins (Colin Firth).
Datang
setelah 54 tahun dari the original ‘Mary
Poppins’, di sini Rob Marshall
mencoba menciptakan dunia magical “Mary
Poppins” yang baru namun dengan cita rasa yang tetap membuat penonton masih
merasa akrab dan familiar dengan pendahulunya itu. Berbeda namun terasa sama, Rob Marshall (Chicago, Nine, Into the Woods)
kembali menunjukkan kepiawaiannya dalam mengendalikan sebuah film musical. Di sini ia berhasil
menghadirkan sebuah big-budget musical
yang membuka lebar pintu masuk bagi penonton muda maupun dewasa untuk ikut
“tenggelam” dan “terbang” bersama Mary
Poppins, bertumpu pada beragam sequences
yang terasa playful namun tetap
berupaya menaruh Disney “magic” di
posisi terdepan.
Sama
seperti ketika Mary Poppins
diperankan oleh Julie Andrews dahulu,
di sini konflik utama bertumpu pada “petualangan” yang dijalani oleh pemeran
anak-anak. Kali ini tiga orang, goals
utama juga sederhana yakni menemukan surat saham, penonton dibawa berpindah
dari petualangan yang terasa episodic,
terasa imajinatif dengan tetap mengemban fungsi penggerak dari plot utama
cerita. Hal tersebut pula yang kerap membantu cerita yang ditulis oleh Rob
Marshall bersama David Magee dan John DeLuca dari buku karya P. L. Travers ini dapat terus “berayun”
dengan baik antar tiap sequence,
mengingat pada dasarnya tone yang
terdapat pada plot utama adalah dark.
Di
tangan Rob Marshall ‘Mary Poppins
Returns’ seperti ingin menyentuh berbagai macam heavy subject, seperti kematian misalnya, lalu kebohongan hingga
penipuan. Tidak straightforward
memang, itu hadir dalam storyline yang
berputar ke banyak arah tentu untuk menciptakan banyak ruang “bermain” bagi musical numbers hingga upaya mempertebal
resonansi emosi di dalam cerita. Tapi sayangnya plot sendiri terasa tipis, dan
itu eksplisit. Pada akhirnya grafik dan kualitas excitement tidak terasa stabil, ada yang terasa “too far” hingga terasa predictable. Alhasil ada bagian di mana
cerita terasa draggy, ada pula sequence yang terasa terlalu lama
sehingga punch akhir yang dihasilkan terasa
tidak terlalu istimewa.
Andai
beberapa bagian storyline tidak
“diperas” terlalu jauh sehingga alur cerita jadi terasa padat, excitement di bagian cerita mungkin
dapat duduk sejajar dengan excitement
di elemen lain, seperti musical misalnya hingga elemen teknis. Dengan memadukan
visual effect dan juga animasi Rob Marshall berhasil menutup beberapa
kekurangan di ‘Mary Poppins Returns’
seperti di atas tadi. Seperti sebuah children's
storybook ‘Mary Poppins Returns’ punya beberapa sequence berisikan animasi yang terasa playful dan imajinatif, layar seperti dipenuhi dengan gula yang
sukses membawa perasaan happy menghampiri
penontonnya.
Departement
teknis dari film ini melakukan pekerjaan mereka dengan baik. Art direction terasa menawan, dari
design produksi hingga kostum yang digunakan para karakter, masih terasa sangat
kental “darah” dari film pertama pada mereka. Score dan Visual Effect
yang ditampilkan juga terasa catchy,
sama seperti lagu-lagu di dalam musical
numbers itu. Dipenuhi dengan beragam lagu ceria musical numbers terasa menghibur, ada memang yang terasa “too far” namun selebihnya lagu-lagu
seperti "The Place Where Lost Things
Go", "Nowhere to Go But
Up”, hingga “Trip a Little Light Fantastic”,
menciptakan kombinasi musical yang mengandung tunes sangat oke dan sukses menyuntikkan energi menyenangkan kepada
penonton.
Pencapaian
tersebut di atas tidak lepas dari kinerja para pemeran dalam menjalankan tugas
mereka. Interpretasi Emily Blunt pada
karakter Mary Poppins sangat baik,
kesan “mistis” dan mischievous terus hidup namun berpadu manis dengan citra
hangat yang terasa halus. Tapi karena performa charismatic dari Lin-Manuel
Miranda terkadang Mary Poppins terasa seperti pemeran pendukung. Pemeran
pendukung lain juga tampil oke, dari tiga pemeran anak, kemudian Ben Whishaw, Emily Mortimer, Colin Firth, dan juga Julie Walters. Namun yang mencuri
perhatian justru penampilan singkat Dick
Van Dyke sebagai Mr. Dawes Jr.
serta Meryl Streep sebagai sepupu
Poppins yang eksentrik, Tatiana Antanasia
Cositori Topotrepolovsky aka Topsy.
Overall, ‘Mary Poppins Returns’
adalah film yang cukup memuaskan. Tugas yang diemban tidak mudah namun seolah
ingin menaruh fokus lebih besar feel-free-flow
sutradara Rob Marshall kembali
berhasil menyajikan sebuah musical film yang menarik. Plot cerita memang tipis
sehingga excitement kerap tidak
stabil dan punch akhir tidak
istimewa, namun hal tersebut dapat ditambal oleh aura dan juga sense of magic dari pendahulunya yang
berhasil Rob Marshall hidupkan kembali ke dalam sebuah petualangan yang
imajinatif, dipenuhi dengan berbagai song
dan juga dance numbers yang oke
bersama charm Disney sebagai cherry on top.
0 komentar :
Post a Comment