“I don't have the same problem you have.”
Sebagai
seorang anak sudah menjadi tanggung jawab kita untuk membuat Orangtua bahagia,
tapi apakah itu harus dengan membatasi kesempatan kita untuk bahagia dengan
pilihan kita sendiri? Di sisi lain, Orangtua tentu ingin agar sang anak tumbuh
dengan baik di bawah bimbingan mereka, tapi apakah itu dapat menjadi alasan untuk
bersikap egois dan membatasi anak untuk menentukan pilihannya sendiri? Simple case tadi menjadi selimut manis
dari berbagai isu lain dalam kisah tentang “rediscover”
ini. Leave No Trace: a subtle dan soulful
drama about human, humanity, and humanism.
Seorang
veteran pada Perang Irak dan kini menderita gangguan stres pascatrauma (PTSD), pria bernama Will (Ben Foster) memilih untuk tinggal di dalam public park di kota Portland, Oregon. Segala sesuatu yang ia butuhkan sehari-hari ada
di sebuah area kecil yang menjadi tempat tinggalnya bersama anak perempuannya, Tom (Thomasin McKenzie). Berusia 13
tahun sejak kecil Tom menjadikan sang ayah sebagai “ensiklopedia” utamanya,
dari cara memasak hingga melarikan diri dari polisi.
Celakanya
suatu ketika muncul masalah yang kemudian membawa Will dan Tom masuk ke dalam society yang selama ini mereka coba
hindari. Hadir pria bernama Mr. Walters
(Jeff Kober) yang mencoba membantu Will dan juga Tom, namun sayangnya upaya
tersebut dianggap “berlebihan” oleh Will. Seolah alam terus memanggil Will
untuk kembali pulang, tapi ternyata tidak sepenuhnya berhasil pada Tom yang
mulai menemukan banyak hal menarik di sekitarnya. Ikatan kasih sayang antara
Will dan Tom diuji.
‘Leave No Trace’
berhasil menarik perhatian sejak momen pertama, membawa penonton menyaksikan
relationship di antara dua karakter utama yang tampak sangat kompak dalam
menjalani aktifitas sehari-hari mereka bersama. Dengan sangat cepat penonton
dapat melihat dan juga merasakan bahwa terdapat ikatan yang kuat dan juga intim
di antara Tom dan juga ayahnya, hidup bersama di dalam sebuah hutan terpencil
mereka tidak hanya tampak bahagia namun juga puas dalam menjalani rutinitas
mereka. Sutradara Debra Granik (Winter's
Bone) memberikan kesempatan yang cukup untuk penonton mengamati kehidupan
yang sehari-hari yang terisolasi itu.
Dan
itu adalah sebuah pondasi yang sangat kuat untuk menopang apa yang kemudian
selanjutnya hadir. Sama seperti dua karakter utama, cerita yang ditulis Debra
Granik bersama Anne Rosellini berdasarkan
novel My Abandonment karya Peter Rock ini tidak mencoba bercerita
secara eksplisit, aktifitas Will dan Tom seolah dibiarkan mengalir dengan
tenang. Perlahan mulai muncul pertanyaan, apa yang film ini hendak sampaikan?
Kehidupan menyendiri untuk menjauhi segala macam stress di dunia masa kini? Atau mereka adalah buronan yang sedang
kabur dan menjadi target polisi? Penonton dibawa semakin merasa asyik mengamati
subjek cerita sembari bertanya-tanya, dan kemudian muncul masalah.
Sama
seperti di Winter's Bone, di sini
Debra Granik kembali menunjukkan sensitifitasnya dalam bercerita. Timing pada transisi antar bagian terasa
sangat halus namun sangat efektif pula, ia sukses menampilkan sebuah cerita
yang tampak seolah tidak memiliki “masalah” namun justru mengandung berbagai
banyak “masalah” yang menarik. Dan celakanya mereka semua tidak terasa complicated, hanya kumpulan pertanyaan
sederhana tentang kehidupan yang ditampilkan secara implisit namun punya power kuat untuk menusuk tajam ke dalam
emosi penontonnya. Put it simple, ini
adalah kisah tentang proses penemuan kembali, sebuah proses rediscover.
Rediscover dapat
dikatakan sebagai selimut utama dari cerita, karena dibalik itu tersimpan
berbagai “masalah” atau bahkan tragedi lain yang menarik. Tapi Debra Granik tidak gegabah, dia tidak
mengeksploitasi secara berlebihan, yang ia hadirkan justru sebuah eksplorasi
yang tampil tenang. Berbagai isu yang menarik tersebut tampil layaknya sebuah
potongan puzzle, masing-masing
mengandung detail yang terasa sederhana namun cantik, hadir dalam sebuah
perputaran yang episodic dan
menciptakan sebuah “echo” yang
kumulatif. Hasilnya, sebuah kisah tentang human,
humanity, dan humanisme dengan
gaung yang sangat besar dan kencang.
Karakter
Will yang dipenuhi rasa ragu merupakan salah satu kunci penting ‘Leave No Trace’, dari society dan komunitas yang dipenuhi
orang asing muncul kesempatan, namun rasa takut dan tidak siap untuk berubah
justru menghasilkan tragedi. Simple memang namun itu salah satu values menarik yang Granik hadirkan di
sini, dari rasa takut hingga rasa bersalah dan juga malu, ini adalah kisah
tentang karakter yang terluka dan mencoba untuk “mengatasi” dunia. Sebuah
presentasi yang subtle and soulful,
berbagai isu seperti tadi terus membuat narasi terasa aktif menghadirkan emosi
yang manis, terus terasa intim bersama atmosfir cerita yang terasa sejuk dan
juga renyah.
Pencapaian
Debra Granik pada ‘Leave No Trace’
juga tidak lepas dari kinerja acting dari dua pemeran utamanya, Ben Foster dan Thomasin McKenzie. Will dan Tom ibarat sebuah tim, masing-masing
memiliki isu yang menarik namun mereka sangat bersinar ketika bersama, karena
terdapat simbiosis mutualisme di antara mereka. Ben Foster sukses membuat Will
sebagai subjek dengan psikologis yang menarik, pria yang merasa uncomfortable namun malu untuk
melepaskan pride and his selfishness.
McKenzie membuat Tom menjadi wanita muda yang jatuh cinta dengan adulthood dan “new world”, sosok baik hati yang dipenuhi rasa ingin tahu. Chemistry di antara keduanya sangat
manis dengan berbagai “gesekan” yang terasa sangat oke.
Overall, ‘Leave No Trace’
adalah film yang sangat memuaskan. Seorang anak yang self-determined dan mencoba mendobrak “pagar” yang selama ini
membatasinya, orang tua yang prideful dan dipenuhi rasa takut, sederhananya ‘Leave No Trace’ seperti itu. Namun jika
digali lebih dalam terdapat sebuah extraordinary
story dengan detail dan echo yang
sangat manis di setiap kepingan puzzle.
The mood, the story, the characters,
ini merupakan sebuah moving drama tentang rediscover
yang well-acted, well-written, and well-presented, membawa penonton
menyaksikan sebuah petualangan sederhana yang subtle dan soulful tentang
human, humanity, dan humanism. Masterful. Segmented.
0 komentar :
Post a Comment