“My name is Bumblebee.”
Ketika
pertama kali mengetahui bahwa akan hadir film ‘Bumblebee’ tidak ada ekspektasi yang begitu tinggi padanya.
Setelah ‘Transformers’ empat sekuel
yang hadir kemudian menunjukkan grafik yang menurun dari segi kualitas, Bayhem di film 'Transformers' semakin terasa monoton dan tidak berhasil memberikan
sesuatu yang segar dan exciting. Too busy to be showy, menariknya hal
tersebut tidak hadir di film ini. ‘Bumblebee’:
when E.T. the Extra-Terrestrial meet The Iron Giant, a Transformers movie with
heart.
Di
rumah para Transformers, Cybertron,
sedang terjadi civil war di mana para
Autobots takluk di tangan Decepticons. Pemimpin Autobots, Optimus Prime (Peter Cullen) kemudian memilih mundur dan mencoba
membangun strategi lain. Ia mengirim prajurit muda, B-127 (Dylan O'Brien), untuk pergi ke Bumi dan mempersiapkan
pangkalan baru bagi Autobots. Namun celakanya B-127 diikuti oleh dua Deceptions, Shatter (Angela Bassett) dan
Dropkick (Justin Theroux) yang
berhasil mempengaruhi pemerintah Jack
Burns (John Cena) dan juga Dr. Powell
(John Ortiz), dengan mengatakan bahwa B-127 merupakan sosok yang berbahaya.
Kehilangan
suara dan juga ingatannya, B-127 berubah menjadi sebuah Volkswagen Beetle tua berwarna kuning. Keputusan tersebut
membawanya bertemu dengan Charlie Watson
(Hailee Steinfeld), wanita muda yang baru merayakan ulang tahunnya yang
ke-18. Masih berduka mendiang ayahnya, Charlie mencoba memperbaiki VW tua
tersebut. Ia berhasil, VW tua tersebut kembali berfuungsi, termasuk pula B-127
yang kembali mampu berubah bentuk menjadi robot. Menjalin koneksi via lagu di
radio, Charlie menamainya Bumblebee,
sahabat barunya yang kini berada menjadi target Deceptions.
Empat
buah sekuel dari film Transformers
berada di kelas yang medioker, dipenuhi dengan gaya bermain khas Michael Bay dan berbagai “pertumpahan”
besi metal serta diiringi dengan noise
yang tidak kalah hebatnya. Mereka memang masih memiliki beberapa fight scene yang menawan, namun akibat too busy to be showy tidak ada cerita
yang menarik untuk “dinikmati” dari mereka. Hal tersebut pula yang menjadi daya
tarik utama film ini, menyandang status prekuel ‘Bumblebee’ mencoba membawa penonton menyaksikan origin story dari asal mula para Autobots dapat tiba di Bumi.
Apa
yang ‘Bumblebee’ punya dan tidak ada
di empat buah film sekuel dari Transformers
sebelumnya? Nyawa di dalam cerita. Posisi dari visual effect di sini sama sekali tidak dikesampingkan atau menjadi
anak tiri, namun di sini ia hadir bersama dengan karakter yang terasa solid
serta cerita yang memiliki nyawa. Itu salah satu kesuksesan dari sutradara Travis Knight (Kubo and the Two Strings),
alhasil ini tidak sekedar menjadi cerita tentang “destruction” semata, petualangan Bumblebee di bumi mampu menarik penonton untuk seolah merasa ikut
terlibat dengan karakter dalam menghadapi masalah, tentu saja dalam kuantitas
yang wajar.
Pada
debut perdananya di film live-action
sutradara Travis Knight berhasil
mengolah script yang ditulis oleh Christina Hodson menjadi sebuah
petualangan yang menyenangkan. Ketimbang memborbardir penonton dengan Bayhem ia
mampu membentuk agar coming-of-age
stories dari seorang Charlie terasa simple namun sensitif dan menjadi salah
satu fokus menarik di dalam cerita. Ada waktu yang digunakan untuk membangun relationship antara Charlie dan juga Bumblebee, dari manusia yang sedang
“hancur” bersama dengan robot yang sedang dipenuhi rasa takut kemudian hadir
sebuah friendship yang terasa padat,
dipenuhi dengan humor namun juga tidak kehilangan rasa “hangat” meskipun
kemudian bersanding manis dengan action
mode.
Ya,
the film has a heart, hal yang selama
ini terasa sangat sulit untuk mendapat tempat yang layak di empat film
pendahulunya itu. Ada sesuatu yang penting di sini, ‘Bumblebee’ ingin agar penonton “become
invested” dan itu berhasil, ada rasa peduli pada Charlie dan permasalahan
yang ia hadapi, wanita muda yang baru saja menemukan “alien” yang justru memahami dirinya. Begitupula dengan karakter Bumblebee, ongoing battles tetap mampu menebar bahaya di dalam cerita namun di
sisi lain proses “memanusiakan” Bumblebee
juga terasa asyik, terlebih dengan penggunaan cita rasa retro yang terasa kental dan punchy.
‘Bumblebee’
tidak dibentuk agar menjadi lebih besar dari pendahulunya, dengan bertumpu retro style justru tampil dengan
semangat lebih simple dengan berbagai
aksi shooting dan juga transforming yang terasa lebih impactful. Seperti ada “goals” sedari awal, ada limit, dan Travis Knight tidak mau
serakah. Semua yang ia terapkan di sini terasa efektif dan ditangani dengan
terampil, dari cara berkomunikasi dengan menggunakan popular movies and pop songs tahun 1980s, dari The Smiths yang "ditolak" hingga Breakfast Club, terjalin koneksi yang manis antar bagian, bahkan department sound juga mampu menambahkan depth yang terasa oke.
Koneksi
yang manis sehingga menghasilkan depth yang
mumpuni juga berasal dari kinerja akting. Hailee
Steinfeld (True Grit, The Edge of Seventeen) berhasil membangun dan
mempertahankan charm dari karakter
Charlie, mampu menampilkan emosi yang oke namun dapat berpindah dengan smooth ketika berurusan dengan elemen
komedi, berhasil menjadi heroine yang
menjalin hubungan special menarik dengan hasil kerja tim CGI, yaitu Bumblebee yang
tampil ekspresif. Pemeran pendukung juga tampil oke, dari Pamela Aldon dan Jason Drucker
sebagai keluarga yang cute, Jorge
Lendeborg Jr. sebagai sidekick Charlie bernama Memo, dan juga John Cena.
Overall, ‘Bumblebee’
adalah film yang memuaskan. Surprisingly
poignant and very charming, ‘Bumblebee’ merupakan kejutan yang segar dari Transformers series, dengan 80s vibe
berhasil menggabungkan semangat family-friendly
drama ala Steven Spielberg yang
disandingkan bersama elemen blockbuster dengan Bayhem dalam kapasitas yang efektif. Menggunakan banyak elemen familiar, tidak mencoba break new ground and too busy to be showy,
‘Bumblebee’ berhasil menyajikan
sebuah hiburan yang menyenangkan, sebuah origin
story yang sukses menyandang status a
Transformers movie with heart.
0 komentar :
Post a Comment