23 January 2018

Movie Review: Wonder Woman (2017)


"It's not about deserve, it's about what you believe. And I believe in love."

Sejak kemunculan ‘Man of Steel’ empat tahun lalu sebagai film pertamanya terdapat berbagai pertanyaan yang sepertinya telah terasa umum terhadap DC Extended Universe. Tidak hanya dari segi style maupun “taste” yang kerap disederhanakan oleh para penggemar film superhero sebagai upaya DC untuk tampak & terasa “beda” dari kompetitor utamanya saja namun salah satu pertanyaan lain adalah kapan film kelas “very good” yang terasa kickass akan muncul di dalam DC Extended Universe? Sejak penampilan singkat namun berkesan yang ia lakukan tahun lalu Diana Prince diyakini akan mampu menjawab pertanyaan tersebut. Was it worth the wait? Wonder Woman: a lovely combination between power, courage, and of course wonder.

Memiliki ketertarikan yang sangat tinggi untuk dapat berlatih menjadi warrior sejak usia dini, Diana (Gal Gadot) meminta bantuan kepada bibinya, General Antiope (Robin Wright), untuk dapat melatihnya. Meskipun awalnya ditentang oleh sang Ibu, Queen Hippolyta (Connie Nielsen), perlahan Diana berkembang menjadi prajurit terkuat di Themyscira, sebuah pulau tersembunyi yang dihuni oleh para wanita Amazon. Suatu ketika sebuah pesawat memasuki area Themyscira, dikemudikan oleh pilot bernama Steve Trevor (Chris Pine), Diana percaya bahwa kemunculan Steve Trevor merupakan pertanda bahwa Ares, the god of war, telah kembali.

Merasa bahwa kini kesempatannya untuk beraksi menjalankan tanggung jawab melindungi menusi telah tiba Diana memutuskan untuk ikut bersama Steve Trevor. Steve Trevor sendiri merupakan seorang spy asal Britania Raya yang terdampar ke Themyscira akibat dikejar oleh pasukan Jerman. Steve memegang sebuah kunci penting berupa informasi yang memiliki kaitan dengan sebuah rencana jahat Erich Ludendorff (Danny Huston), seorang Jenderal bertangan besi yang berambisi untuk menguasai dunia lewat Perang Dunia I dengan menggunakan kemampuan seorang ilmuwan bernama Elena Anaya alias Doctor Poison (Isabel Maru). 


Penantian dengan hype yang dapat dikatakan cukup tinggi itu akhirnya terbayar lunas lewat film ini, karakter female superheroes yang paling terkenal itu berhasil di bentuk kembali ke dalam media layar lebar lewat sebuah kisah standalone yang untuk sementara dapat dikatakan sebagai sebuah “penyegar” yang sangat baik bagi DC Extended Universe, or even di dunia film-film superhero. Tanpa butuh bantuan superhero lain ‘Wonder Woman’ tidak hanya sekedar berhasil memperkenalkan dirinya dalam tampilan baru saja namun juga sukses membawa sebuah “feel” baru bagi super hero movie genre. Tentu saja seperti pada umumnya terdapat misi menyelamatkan dunia yang terkandung di dalam cerita namun itu hanya menjadi sebuah jalan serta arena bagi Diana untuk menghantarkan kombinasi power, courage, dan wonder kehadapan penontonnya,

Memulai cerita di present-day sutradara Patty Jenkins membawa kita mundur jauh kebelakang, menaruh kesan old fashioned di posisi terdepan sembari dengan cermat pula menggabungkannya ke dalam alur cerita yang tetap terasa modern. Bersama dengan screenwriter Allan Heinberg perkenalan kita secara lebih detail dengan sosok Diana hadir dalam bentuk sebuah war movie, tanpa disesaki begitu banyak konflik mereka mendorong agar keinginan besar Diana untuk menghentikan Ares sebagai fokus utama cerita. Hasilnya secara mengejutkan bekerja dengan sangat baik serta efektif, tidak ada kompleksitas yang berlebihan serta hanya mengandalkan sebuah chemical weapon berbahaya serta kondisi naif Diana terhadap Ares, Patty Jenkins justru berhasil menciptakan sebuah petualangan yang kurang berhasil dilakukan oleh tiga buah film di DC Extended Universe sebelumnya: kickass namun juga very engaging.


Hal tersebut merupakan hasil dari ramuan yang tepat pada sisi pengarahan serta materi cerita. Sebagai sebuah origin story penonton dibawa ke dalam sebuah “proses” yang berhasil diolah dengan baik untuk membentuk charms dari seorang Diana Prince, pondasi masalah yang ia punya terasa kuat namun setelah itu ia ditempatkan ke dalam posisi naif dengan pion utama yaitu Ares. In the end feel dari keinginan Diana untuk menyelamatkan manusia itu dengan kokoh terus menjadi bintang utama cerita meskipun kerap Patty Jenkins dan Allan Heinberg bersama dengan pemanis lainnya seperti humorous scene misalnya yang dikemas dengan tepat. Hal tersebut juga menarik, bagaimana berbagai moment “nakal” berhasil menciptakan punch yang mantap namun di sisi lain tidak mengganggu dinamika dari jalannya cerita.

Ya, ketika cerita berada di mode yang mengandalkan gritty mereka berhasil Patty Jenkins kemas dengan feel yang akan mengingatkan penonton pada tiga film DCEU sebelumnya, terdapat kesan dark yang kickass dan menunjukkan penonton kesan tangguh yang dimiliki oleh pahlawan super. Namun yang membuat ‘Wonder Woman’ berbeda jika dibandingkan dengan pendahulunya di DCEU adalah komposisi bagian “light” dari cerita yang berhasil menjadi paduan manis bagi sisi dark tadi. Bersama dengan gelang, shield, pedang, serta Lasso of Truth, ‘Wonder Woman’ berhasil berpindah dari satu ke sisi lainnya secara halus, terus berlari bersama dengan clarity yang mumpuni and never loses its good pace. Hasilnya, ini terasa sangat engaging, penonton care about the outcome meskipun telah tahu di sisi mana cerita akan berakhir,


Kesan “unstoppable” juga punya peran penting dari pencapaian tadi, berada dalam kadar yang pas dan meninggalkan punch memikat tanpa menggunakan tone yang terlalu serius. Action sequences yang ‘Wonder Woman’ punya juga terasa memikat terutama bagaimana momen-momen bombastic itu dikemas dengan staging dan style yang oke, memadukan dengan baik tiga point penting di awal tadi bersama dengan sisi feminisme heroine utama. Memang sama seperti CGI dan score gubahan Rupert Gregson-Williams mereka tidak berada di kategori luar biasa namun kualitasnya sukses menjadi pendukung dan penyeimbang yang baik terhadap cerita, seperti CGI misalnya yang menciptakan kesan vintage yang oke, begitupula dengan production design yang mampu membuat pesona dari masing-masing karakter bersinar.

And last but not least, peran penting dati kinerja akting para cast. Tidak hanya driven by story namun juga driven by characters ‘Wonder Woman’ berhasil bersinar terang berkat keberhasilan para cast menampilkan karakter mereka. Bintang utamanya tentu saja Gal Gadot, mengemas situasi naif Diana semanis wajahnya namun juga berhasil menampilkan kesan tangguh yang tidak hanya terasa kickass namun juga sexy. Chris Pine juga tampil baik sebagai Steve Trevor terutama sebagai pendamping Diana, banter dan chemistry memang predicatable namun terasa sweet, Chris Pine juga mampu memanfaatkan posisi “naif” Diana untuk mengeksekusi momen-momen comical dengan baik. Para pemeran pendukung lainnya berhasil menjadi pelengkap yang menjalankan tugas mereka dengan tepat, dari Saïd Taghmaoui, Ewen Bremner, Eugene Brave Rock, David Thewlis, Danny Huston, hingga Lucy Davis yang berperan sebagai Etta Candy, sekretaris Steve yang lucu.


Overall, Wonder Woman adalah film yang memuaskan. Menggabungkan war movie bersama dengan coming of age drama, melengkapi dua elemen tadi dengan clash baik itu terkait culture hingga pada sisi comedy, kemudian menggunakan action extravaganza sebagai selimut terluarnya, Patty Jenkins berhasil menggabungkam berbagai elemen dan membuat ‘Wonder Woman’ raise the bar yang dimiliki oleh DCEU dengan cara yang menawan. Sebuah perkenalan yang lebih detail, sebuah kombinasi antara feministic touches and big heart, ‘Wonder Woman’ berhasil menjadi an old fashioned super hero movie yang terasa strong and sweet, fun and entertaining, a lovely combination between power, courage, and of course wonder. 











1 comment :

  1. Satu kekukarangan mungkin terletak pada bagian akhir. Tidak menjadikannya antiklimaks memang, yaitu karakter Sir Patrick yang mungkin adalah orang terakhir yang kita kira Ares, ditambah lagi pertarungan akhirnya yang makin memperlihatkan kekurangannya di ranah CGI. But of course not ruined the movie at all, karena sedari awal film ini sudah mempesona menjadikan kekurangan tadi termaafkan.

    Nice review,btw

    ReplyDelete