"It's not about deserve, it's about what you believe. And I believe in love."
Sejak kemunculan ‘Man of Steel’ empat tahun lalu sebagai film pertamanya
terdapat berbagai pertanyaan yang sepertinya telah terasa umum terhadap DC
Extended Universe. Tidak hanya dari segi style maupun “taste” yang kerap
disederhanakan oleh para penggemar film superhero sebagai upaya DC untuk tampak
& terasa “beda” dari kompetitor utamanya saja namun salah satu pertanyaan
lain adalah kapan film kelas “very good” yang terasa kickass akan muncul di
dalam DC Extended Universe? Sejak penampilan singkat namun berkesan yang ia
lakukan tahun lalu Diana Prince diyakini akan mampu menjawab pertanyaan
tersebut. Was it worth the wait? Wonder Woman: a lovely combination between
power, courage, and of course wonder.
Memiliki ketertarikan yang sangat tinggi untuk dapat
berlatih menjadi warrior sejak usia dini, Diana (Gal Gadot) meminta bantuan
kepada bibinya, General Antiope (Robin Wright), untuk dapat
melatihnya. Meskipun awalnya ditentang oleh sang Ibu, Queen Hippolyta (Connie Nielsen), perlahan Diana
berkembang menjadi prajurit terkuat di Themyscira, sebuah pulau tersembunyi
yang dihuni oleh para wanita Amazon. Suatu ketika sebuah pesawat memasuki area Themyscira,
dikemudikan oleh pilot bernama Steve Trevor (Chris Pine), Diana percaya
bahwa kemunculan Steve Trevor merupakan pertanda bahwa Ares, the god of war,
telah kembali.
Merasa bahwa kini kesempatannya untuk beraksi
menjalankan tanggung jawab melindungi menusi telah tiba Diana memutuskan untuk
ikut bersama Steve Trevor. Steve Trevor sendiri merupakan seorang spy asal
Britania Raya yang terdampar ke Themyscira akibat dikejar oleh pasukan Jerman. Steve
memegang sebuah kunci penting berupa informasi yang memiliki kaitan dengan
sebuah rencana jahat Erich Ludendorff (Danny Huston), seorang Jenderal bertangan besi yang
berambisi untuk menguasai dunia lewat Perang Dunia I dengan menggunakan
kemampuan seorang ilmuwan bernama Elena Anaya alias Doctor Poison (Isabel
Maru).
Penantian dengan hype yang dapat dikatakan cukup tinggi itu akhirnya
terbayar lunas lewat film ini, karakter female superheroes yang paling terkenal
itu berhasil di bentuk kembali ke dalam media layar lebar lewat sebuah kisah
standalone yang untuk sementara dapat dikatakan sebagai sebuah “penyegar” yang
sangat baik bagi DC Extended Universe, or even di dunia film-film superhero. Tanpa
butuh bantuan superhero lain ‘Wonder Woman’ tidak hanya sekedar berhasil memperkenalkan
dirinya dalam tampilan baru saja namun juga sukses membawa sebuah “feel” baru
bagi super hero movie genre. Tentu saja seperti pada umumnya terdapat misi
menyelamatkan dunia yang terkandung di dalam cerita namun itu hanya menjadi
sebuah jalan serta arena bagi Diana untuk menghantarkan kombinasi power,
courage, dan wonder kehadapan penontonnya,
Memulai cerita di present-day sutradara Patty Jenkins membawa kita
mundur jauh kebelakang, menaruh kesan old fashioned di posisi terdepan sembari dengan
cermat pula menggabungkannya ke dalam alur cerita yang tetap terasa modern. Bersama
dengan screenwriter Allan Heinberg perkenalan kita secara lebih detail dengan
sosok Diana hadir dalam bentuk sebuah war movie, tanpa disesaki begitu banyak
konflik mereka mendorong agar keinginan besar Diana untuk menghentikan Ares
sebagai fokus utama cerita. Hasilnya secara mengejutkan bekerja dengan sangat
baik serta efektif, tidak ada kompleksitas yang berlebihan serta hanya
mengandalkan sebuah chemical weapon berbahaya serta kondisi naif Diana terhadap
Ares, Patty Jenkins justru berhasil menciptakan sebuah petualangan yang kurang
berhasil dilakukan oleh tiga buah film di DC Extended Universe sebelumnya:
kickass namun juga very engaging.
Hal tersebut merupakan hasil dari ramuan yang tepat pada sisi pengarahan
serta materi cerita. Sebagai sebuah origin story penonton dibawa ke dalam
sebuah “proses” yang berhasil diolah dengan baik untuk membentuk charms dari
seorang Diana Prince, pondasi masalah yang ia punya terasa kuat namun setelah
itu ia ditempatkan ke dalam posisi naif dengan pion utama yaitu Ares. In the
end feel dari keinginan Diana untuk menyelamatkan manusia itu dengan kokoh terus
menjadi bintang utama cerita meskipun kerap Patty Jenkins dan Allan Heinberg bersama
dengan pemanis lainnya seperti humorous scene misalnya yang dikemas dengan
tepat. Hal tersebut juga menarik, bagaimana berbagai moment “nakal” berhasil
menciptakan punch yang mantap namun di sisi lain tidak mengganggu dinamika dari
jalannya cerita.
Ya, ketika cerita berada di mode yang mengandalkan gritty mereka berhasil
Patty Jenkins kemas dengan feel yang akan mengingatkan penonton pada tiga film
DCEU sebelumnya, terdapat kesan dark yang kickass dan menunjukkan penonton
kesan tangguh yang dimiliki oleh pahlawan super. Namun yang membuat ‘Wonder
Woman’ berbeda jika dibandingkan dengan pendahulunya di DCEU adalah komposisi
bagian “light” dari cerita yang berhasil menjadi paduan manis bagi sisi dark
tadi. Bersama dengan gelang, shield, pedang, serta Lasso of Truth, ‘Wonder
Woman’ berhasil berpindah dari satu ke sisi lainnya secara halus, terus berlari
bersama dengan clarity yang mumpuni and never loses its good pace. Hasilnya,
ini terasa sangat engaging, penonton care about the outcome meskipun telah tahu
di sisi mana cerita akan berakhir,
Kesan “unstoppable” juga punya peran penting dari pencapaian tadi, berada
dalam kadar yang pas dan meninggalkan punch memikat tanpa menggunakan tone yang
terlalu serius. Action sequences yang ‘Wonder Woman’ punya juga terasa memikat terutama
bagaimana momen-momen bombastic itu dikemas dengan staging dan style yang oke,
memadukan dengan baik tiga point penting di awal tadi bersama dengan sisi
feminisme heroine utama. Memang sama seperti CGI dan score gubahan Rupert
Gregson-Williams mereka tidak berada di kategori luar biasa namun kualitasnya
sukses menjadi pendukung dan penyeimbang yang baik terhadap cerita, seperti CGI
misalnya yang menciptakan kesan vintage yang oke, begitupula dengan production design
yang mampu membuat pesona dari masing-masing karakter bersinar.
And last but not
least, peran penting dati kinerja akting para cast. Tidak hanya driven by story
namun juga driven by characters ‘Wonder Woman’ berhasil bersinar terang berkat
keberhasilan para cast menampilkan karakter mereka. Bintang utamanya tentu saja
Gal Gadot, mengemas situasi naif Diana semanis wajahnya namun juga berhasil
menampilkan kesan tangguh yang tidak hanya terasa kickass namun juga sexy. Chris Pine juga tampil baik sebagai Steve Trevor
terutama sebagai pendamping Diana, banter dan chemistry memang predicatable
namun terasa sweet, Chris Pine juga mampu memanfaatkan posisi “naif” Diana
untuk mengeksekusi momen-momen comical dengan baik. Para pemeran pendukung
lainnya berhasil menjadi pelengkap yang menjalankan tugas mereka dengan tepat, dari
Saïd Taghmaoui, Ewen Bremner, Eugene Brave Rock, David Thewlis, Danny Huston,
hingga Lucy Davis yang
berperan sebagai Etta Candy, sekretaris Steve yang lucu.
Overall, Wonder Woman
adalah film yang memuaskan. Menggabungkan war movie bersama dengan coming of
age drama, melengkapi dua elemen tadi dengan clash baik itu terkait culture
hingga pada sisi comedy, kemudian
menggunakan action extravaganza sebagai selimut terluarnya, Patty Jenkins
berhasil menggabungkam berbagai elemen dan membuat ‘Wonder Woman’ raise the bar
yang dimiliki oleh DCEU dengan cara yang menawan. Sebuah perkenalan yang lebih
detail, sebuah kombinasi antara feministic touches and big heart, ‘Wonder
Woman’ berhasil menjadi an old fashioned super hero movie yang terasa strong
and sweet, fun and entertaining, a lovely combination between power, courage,
and of course wonder.
Satu kekukarangan mungkin terletak pada bagian akhir. Tidak menjadikannya antiklimaks memang, yaitu karakter Sir Patrick yang mungkin adalah orang terakhir yang kita kira Ares, ditambah lagi pertarungan akhirnya yang makin memperlihatkan kekurangannya di ranah CGI. But of course not ruined the movie at all, karena sedari awal film ini sudah mempesona menjadikan kekurangan tadi termaafkan.
ReplyDeleteNice review,btw