Dengan ‘Zootopia’ dan ‘Captain America: Civil War’ plus ‘Finding Dory’ tahun ini Disney telah memiliki tiga buah top grossing movies yang berhasil meraih pencapaian menembus angka satu milyar US Dollar. And you know what mereka belum berhenti. Now we have another animation yang di sini mencoba membawa kembali musical (yang absen pasca ‘Frozen’) ke dalam dunia penuh fantasi yang charming serta sangat mumpuni dan memiliki peluang besar untuk bergabung dengan Disney’s Big Club tadi, still with the company playbook plus hook and of course their lovely magic membawa penonton menuju south pacific untuk masuk ke dalam sebuah petualangan sederhana dengan rasa meta. Moana: a spunky, groovy, and jolly animation from Disney.
Gramma Tala (Rachel House) merupakan wanita lanjut usia yang ingin membagikan sejarah yang pernah menjadi bagian dari tempat tinggalnya kini, Motunui, kepada generasi penerus suku mereka. Salah satu dari anak-anak kecil yang lucu dan imut itu adalah Moana Waialiki (Auli'i Cravalho), anak perempuan dari Chief Tui Waialiki (Temuera Morrison) dan Sina Waialiki (Nicole Scherzinger) yang kemudian tumbuh menjadi wanita muda yang pemberani dan dipenuhi rasa ingin tahu yang besar. Moana telah diproyeksikan akan menggantikan ayahnya untuk memimpin suku mereka namun suatu ketika masalah terjadi ketika para nelayan pulang tanpa membawa hasil. Moana yang sejak kecil yakin pada “dongeng” yang diceritakan sang nenek yakin bahwa terdapat masalah besar yang harus ia selesaikan.
Caranya adalah dengan meninggalkan babi kesayangannya Pua, penduduk Motunui, serta tentu saja keluarga tercintanya Moana memutuskan untuk berlayar seorang diri menuju lautan lepas yang penuh misteri. Ah, with lovely Heihei (Alan Tudyk). Sejak kecil Moana memiliki koneksi yang kuat dengan lautan, mereka seperti ada di sana untuk membantu Moana, tidak heran ia merasa percaya diri dapat menyelesaikan masalah tadi. Tujuan utama Moana adalah untuk menemukan Maui (Dwayne Johnson), seorang demigod yang dapat berubah bentuk dan mengembalikan “heart” of Te Fiti. Dahulu kala Maui menciptakan sebuah kekacauan dari aksi nakal yang ia lakukan, mencuri sebuah batu dengan kekuatan magic yang kemudian membawa dunia masuk ke dalam situasi dan kondisi yang semakin memburuk.
Terlalu berlebihan memang jika disebut sebagai bagian yang terasa "mengganggu" namun bagian awal ‘Moana’ merupakan tempat di mana impresi yang ia hadirkan tidak terasa begitu kuat meskipun ketika ia berakhir itu terasa wajar memang karena menilik “berat” dari materi serta hal-hal yang coba ia hadirkan setelah itu. Mencoba membentuk pondasi yang kokoh pada siapa itu Moana, siapa itu Maui, apa yang terjadi di Motunui, serta bagaiamana cara untuk meraih solusi di dalam cerita, bagian awal berisikan berbagai eksposisi yang efektif namun di antara mereka ada yang terasa jumpy. Namun itu tidak lama karena setelah setting pada konflik dan juga karakter itu berhasil dieksekusi dengan baik Ron Clements serta John Musker kemudian menghadirkan sebuah petualangan yang tidak hanya dipenuhi dengan lagu-lagu jenaka yang terasa menyenangkan serta visual yang sangat impresif, mereka hadirkan engaging adventure dengan magic a la Disney.
Secara luas mungkin a la Disney namun secara khusus magic di sini akan mengingatkan penonton pada film-film yang pernah disutradarai oleh Ron Clements serta John Musker, dari The Little Mermaid, Aladdin, Hercules, Treasure Planet, dan The Princess and the Frog. Menyaksikan Moana terasa seperti merasakan kembali experience ketika menyaksikan film-film animasi dari Disney di tahun 90an, menggunakan template dan juga elemen yang serupa namun berhasil di “modernisasi” oleh Ron Clements dan John Musker. Seperti yang disebutkan oleh Maui bahwa ‘if you wear a dress and have an animal sidekick, you're a princess” di sini Ron Clements dan John Musker berhasil membentuk dengan manis script karya Jared Bush (Zootopia) untuk mengingatkan penonton bahwa pada dasarnya ini merupakan another princess story from Disney. Yang membuat Moana terasa segar bukan pada animal sidekick yang di sini masih konyol dan gila dalam bentuk "ayam berkacamata kuda" namun pada pendekatan terhadap karakter utama dan tentu saja pesan dan tujuan utama.
Jika mendengar ‘Disney Princess’ salah satu hal yang terlintas di dalam pikiran adalah tentu saja akan ada pangeran di sana, namun di sini tidak. Moana mencoba “breaks” konsep tersebut tanpa membuat pesonanya sebagai heroine tergerus, tidak ada romance di sini namun together with "the dumbest character in the history of Disney animation" Moana tetap punya something more important to do. Seperti para tuan putri Disney pada umumnya Moana punya karakteristik yang tidak jauh berbeda, ia wanita muda dengan rasa ingin tahu yang besar serta memiliki mimpi besar yang juga tidak kalah besarnya, an independent dreamer. Di sini Moana dihadapkan pada polemik antara keluarga, tradisi, serta perubahan, sebuah sentilan yang menggelitik bagi para pemimpin yang tidak berani mengambil keputusan penuh resiko. Memiliki tanggung jawab sebagai calon pemimpin tidak seperti sang ayah Moana kemudian mencoba bergerak cepat untuk menemukan solusi dari masalah yang sedang terjadi.
There you go, another one, girl power, dan hal tersebut tadi berhasil disajikan secara implisit tanpa terkesan menggurui oleh Ron Clements dan John Musker. Terasa menarik karena meskipun merupakan sebuah film animasi ‘Moana’ justru berhasil “berbicara” tentang berbagai hal yang merupakan bagian penting di kehidupan nyata, semakin menarik karena hal tersebut hadir lewat presentasi yang spunky namun terasa groovy and jolly. Ah, itu belum menghitung bagaimana “relationship” yang dimiliki oleh Moana dengan ocean juga berhasil menjadi penggambaran yang manis terkait mother nature, ditampilkan dengan manis seperti penggambaran bagaimana wanita muda itu menunjukkan will power yang ia punya ketika berhadapan dengan Maui serta belajar darinya.
Maui sendiri merupakan karakter dengan pesona yang memikat, dengan cepat masuk ke dalam petualangan Moana tidak hanya sebagai partner dan mentor saja namun juga menjadi a "madden but lovely supporter" yang mendorong Moana menuju posisi terdepan sebagai leader. Namun demikian bukan berarti 'Moana' tidak memiliki minus lainnya selain bagian pembuka tadi. Ini merupakan sebuah engaging adventure tapi ketika tiba di garis finish terasa a bit short ketimbang ekspektasi yang diharapkan. Storyline terasa empowering, predictable bukan masalah, tapi karena script dari Bush lebih condong menampilkan berbagai isu secara implisit punch yang mereka hasilkan tidak terasa sangat kuat, there’s not much depth meskipun di dalam cerita terdapat berbagai emosi yang mumpuni. Tapi hal tersebut tidak terasa mengganggu karena di sisi lain Ron Clements dan John Musker tetap mampu mempertahankan pesona petualangan yang quirky dan riang itu untuk terasa menyenangkan bersama lagu-lagu catchy apalagi penonton mendapat sebuah action sequence bersama para kelapa buas yang tampil a la kombinasi ‘Pirates of the Caribbean’ dan ‘Mad Max: Fury Road’.
Elemen cerita yang terasa spunky dikombinasikan oleh Ron Clements dan John Musker bersama musik yang terasa groovy. Sama seperti yang tiga tahun lalu dilakukan oleh ‘Frozen’ di sini lagu tidak hanya digunakan sebagai pemanis, layaknya sebuah panggung musikal mereka mengandung lirik yang juga berperan dalam “membumbui” isi serta “advance” alur dari cerita, seperti contohnya “How Far I’ll Go” mereka menyentuh berbagai topik yang coba ‘Moana’ tampilkan. Musik menjadi satu dari sekian banyak highlights yang ‘Moana’ punya, meskipun Alan Menken tidak kembali menjadi composer namun elemen musik ditangani dengan sangat baik oleh kombinasi Mark Mancina di scoring dan Opetaia Foa'I serta Lin-Manuel Miranda (Hamilton) di sektor lagu. Menggunakan dasar oceanic music ‘Moana’ dipenuhi lantunan irama yang catchy and groovy, spirit yang mereka hasilkan sangat kental dengan feel-good tunes dari film animasi klasik dari Disney seperti The Little Mermaid, Aladdin, dan Beauty and the Beast.
Highlight lainnya dari ‘Moana’ tentu saja adalah kualitas dari visual yang ia punya. Character designs terasa manis tidak hanya dari segi bentuk fisik namun juga dari spirit yang mereka pancarkan. Maui yang paling mencuri perhatian, ia “monster” yang nakal tapi tidak memiliki kesan berbahaya yang berlebihan, punya potensi besar untuk terasa creepy ia justru tampil lovely dengan dancing tattoo, yang sama seperti Heihei serta ombak itu selalu mampu mencuri atensi. Kualitas dunia laut ‘Moana’ juga membuat ‘Finding Dory’ looks like a dory, fokus pada bagian major and minor juga sama baiknya, kepiting raksasa bernama Tamatoa (Jemaine Clement) itu terasa impresif sama seperti battle sequence dengan para pembajak laut yang ditampilkan seperti pertarungan paintball. ‘Moana’ juga dibuka dengan short film berjudul ‘Inner Workings’ yang benar-benar works dalam menyentil berbagai isu menggunakan sistem kerja anatomi tubuh manusia. Oh, kualitas editing juga punya peran penting di ‘Moana’ terutama pada cara ia membangun momentum dan beat dari cerita.
Berbagai kelebihan yang ‘Moana’ miliki tadi dibungkus dengan manis oleh kinerja voice cast. Dua karakter utama memiliki karisma yang memikat (we love you Heihei) dan hal tersebut berhasil hadir karena para aktor dan aktris yang berhasil menyuntikkan nyawa ke dalam karakter yang mereka perankan. Auli'i Cravalho yang mengisi suara Moana tentu saja merupakan yang paling impresif, ia sangat berhasil menghadirkan karakteristik kuat dan pemberani yang Moana miliki, baik itu ketika ia berbicara maupun ketika bernyanyi. Hal yang sama juga dilakukan oleh Dwayne Johnson, dari menyajikan "You're Welcome" yang merupakan salah satu lagu paling catchy di ‘Moana’ hingga pesona quirky yang Maui miliki. Chemistry di antara Auli'i Cravalho dan Dwayne Johnson juga sangat mumpuni, hubungan layaknya kakak dan adik yang terjadi antara Moana dan Maui itu dipenuhi dengan banter yang menarik, merupakan salah satu hal yang mampu mempertahankan daya tarik cerita.
Overall, ‘Moana’ adalah film yang memuaskan. Dengan playbook dan hook yang telah identik dengannya Disney kembali berhasil mengeksplorasi berbagai isu klasik dan tradisional dengan pendekatan yang terasa segar, like effortlessly merangkul ide dan tema retro dalam bentuk sebuah petualangan fantasi rasa meta, berbicara tentang isu klasik seperti keberanian dan kasih sayang misalnya dalam bentuk sebuah rich flavor screwball comedies. Sangat mudah untuk merasa ‘lost in Moana” karena meskipun membawa berbagai inspiring messages ini bermain layaknya sebuah hangout yang terasa spunky, jolly, and groovy. Visualnya impresif, karakter yang charming, musik yang memorable, Ron Clements and John Musker sekali lagi berhasil menghadirkan sebuah film animasi lucu dan menghibur. One of the biggest delights of 2016, it’s another creative success from Disney.
Sama kayak filmnya now we have another great review from you kak.
ReplyDeleteStlh nonton Moana aku bingung milih jagoan animasi thn ini, antara Zootopia, Kubo, atau Moana. Bagus semua!!!
Thanks. Same here, tiga film itu ada di level yang sama. :)
DeleteThanks rorypnm! Review dari kalian selalu saya tunggu kalau sudah menonton film dibioskop. Bahasa yang simple, penyusunan alur reviewnya yang selalu konsisten. Bahkan review disini bukan hanya film yang box office! Pokoknya setelah nonton atau pun mau nonton film ga lengkap tanpa baca review dari sini. Tetap begini yah admin atau penulisnya. Senang sekali 3 tahun selalu nyari referensi film disini. Salam hangat untuk semua keluarga rorypnm :)
ReplyDeleteThanks ya. :)
DeleteZootopia, kubo, and now Moana. Persaingan tahun ini cukup ketat. Tapi sepertinya Kubo masih jagoan di hati saya. Pembuatannya layak diapresiasi sekali... 😊
ReplyDeleteJika berdasarkan proses produksi Kubo memang leading. Gila itu Laika. :)
DeleteSaya belum nnton Moana tapi kalau antara Kubo dan zotopia saya lebih suka zotopia dengan dengan segala isu yg diangkat didalamnya serta penggambaran karakternya.
ReplyDeleteIsu di cerita Zootopia memang kuat banget, hampir sepuluh bulan berlalu masih kuat pesonanya. :)
Delete