Kurang lebih empat
tahun lalu Peter Jackson mencoba
menciptakan gebrakan baru dengan The Hobbit: An Unexpected Journey yang menggunakan frame rate shooting dan
proyeksi 48 fps, teknologi “High Frame
Rate” yang juga ingin digunakan oleh James
Cameron pada sekuel Avatar. Belum
semua bioskop “mampu” mengakomodasi teknologi tersebut sehingga film dikonversi
ke 24 fps, namun kemudian muncul Ang Lee
yang mencoba melipatkan gandakan pencapaian Peter Jackson tadi dengan Billy Lynn’s Long Halftime Walk yang
menggunakan HFR 120 fps in 3D at 4K HD resolution. One day teknologi itu akan menjadi hal yang umum di industri film, but for now? It’s a composed and flashy but flimsy and fake-ish drama.
Billy
Lynn (Joe Alwyn) mendadak menjadi populer lewat aksi
heroik yang ia lakukan di Irak ketika mencoba menyelamatkan rekan sesama
tentara USA, ketika kembali ia bersama anggota pasukan Bravo lainnya dipuji sebagai pahlawan dan melakukan tour keliling negeri. Garis finish tour
tersebut berada di half-time Thanksgiving
football game di mana mereka akan perform bersama Destiny’s Child. Tapi exposure layaknya celebrity itu tersebut membuat Billy merasa terganggu, ia masih
terus berjuang untuk dapat lepas dari kilas balik pada kejadian di Irak
terutama terkait tentara bernama Shroom
(Vin Diesel).
Sinopsis
di atas sederhana dan jika secara sederhana pula cerita yang berdasarkan novel
karya Ben Fountain itu juga sama
sederhananya. Script yang ditulis
oleh Jean-Christophe Castelli itu
digunakan oleh Ang Lee untuk
menghadirkan another studi karakter dan kali ini menggunakan Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD)
yang dialami oleh karakter utama. Alur ceritanya sederhana, kamu akan dibawa
menyaksikan Billy dan rekan-rekannya berkeliling negeri untuk menjalani tour,
dari menghadiri acara NFL hingga
proses adaptasi aksi heroic mereka ke
dalam bentuk film. Tapi sebenarnya there’s
a lot going on in Billy Lynn’s Long Halftime Walk, fokus penonton Ang Lee coba arahkan pada bagaimana
Billy bertarung dengan emosi yang ia miliki. Billy sendiri harus diakui
merupakan karakter yang menarik, diperankan dengan cukup baik oleh Joe Alwyn di debut layar lebarnya.
Itu alasan mengapa Ang
Lee mencoba menggunakan HFR dengan 120 fps pada film ini, mungkin ia ingin agar
pertarungan emosi yang Billy hadapi akan semakin terasa immersive ketika hadir di layar. Saya menonton film ini di AMC Lincoln Square dan satu hal yang
dapat saya katakan terhadap penggunaan teknologi tersebut adalah, yes it’s true, in highest resolution and
maximum frame rate the picture look astonishingly real. Memang sedikit
dipengaruhi rasa kaget saya karena 120 fps merupakan something new for me as a moviegoer namun harus diakui visual
terasa impresif, ekspresi wajah terasa sangat detail and sangat clear. Ini seperti
menyaksikan film di layar HDTV ukuran jumbo,
sebuah cinematic experience dipenuhi
gambar yang crisp and depth bahkan
tatapan mata yang terasa lebih “menyeramkan” ketimbang presentasi dengan normal fps.
Ang
Lee
benar-benar menggunakan dengan baik 120 fps itu untuk memberikan pengalaman
menonton yang menawan bagi penonton, di sektor visual. Sharp and vivid mereka terasa sangat flashy contohnya pada halftime
show yang terasa sangat memikat. Tapi di sisi lain sama seperti sektor
cerita presentasi visual yang Billy
Lynn’s Long Halftime Walk berikan lebih dominan terasa tipis terlebih jika
dilihat pada hubungan yang ia jalin dengan cerita. Di tangan Ang Lee mereka tersusun dengan baik,
terasa composed, tapi tidak konsisten
terasa appealing, mereka terasa cukup
immersive tapi di sisi lain juga
terasa fake-ish. Tidak heran ini
terasa seperti panggung sandiwara, bukan sebuah studi karakter dengan emosi
yang konsisten appealing dan terasa genuine. Being too real justru membuat kisah Billy tidak konsisten memiliki hubungan
yang intim dengan penontonnya, ia tampak seperti boneka ketimbang
manusia yang sedang bertarung dengan stress dan gejolak emosi.
Tidak heran jika
kemudian muncul rasa “fantasi” di dalam Billy
Lynn’s Long Halftime Walk karena meskipun visual tampak sangat real tapi
jiwa di dalam karakter dan
juga cerita tidak stabil tampil demikian. Fokus Ang Lee tampak lebih besar pada membuat cinematic feel di sektor visual yang too damn perfect tapi tidak seperti yang
ia lakukan di ‘Life of Pi’ magic dari visual itu tidak selalu bersatu dengan baik bersama cerita yang terasa erratic ketika menampilkan present and
past begitupula dengan kombinasi humor dan
drama. Dramatisasi terasa cukup lemah di
sini, emosi terasa kurang tajam ketika melodrama
muncul, terasa lacking dan terlalu
minim. Sangat disayangkan karena ini bisa menjadi sebuah social drama dengan menunjukkan bagaimana karakter berhadapan
dengan masalah psikologis, tapi sama seperti score Mychael Danna yang minimalis hal tersebut kalah telak
bersaing dengan visual ketika memperebutkan atensi penonton.
Bukan sebuah kejutan
ketika Ang Lee menghadirkan karya
yang overall tidak sangat impresif, ‘Taking Woodstock’ hadir setelah ‘Brokeback Mountain’ dan ‘Lust, Caution’, ‘Hulk’ hadir setelah ‘Crouching Tiger, Hidden Dragon’, tapi yang membuat Billy Lynn’s Long Halftime Walk memorable adalah ini merupakan an okay and composed drama dengan blunder pada usaha menciptakan experiment yang terlalu fokus pada
teknologi. And funny to say for me
ini terasa seperti sebuah film documenter dengan durasi 110 menit. Satu hal yang pasti ini menjadi awal dari sebuah
teknologi that could change film history,
meskipun tidak langsung catch on
namun sangat mengapresiasi Ang Lee yang takes
chances. Sama seperti gadget
generasi pertama tentu akan bertemu banyak kendala, dari internal maupun dari
konsumen yang masih belum “siap”, tapi inovasi akan terus berkembang and one day it’ll be perfected. For now? Admirable effort btw, but nope. Take a note Cameron! Segmented.
0 komentar :
Post a Comment