"Bless my soul. It's Harry Potter!"
Satu setengah dekade
yang lalu tepatnya tanggal 16 November 2001 titik awal dari salah satu film
series terbesar yang pernah diciptakan oleh industri perfilman, Harry Potter, lahir. Untuk mencoba
merayakan hal tersebut sembari menjadi semacam intro bagi ‘Fantastic Beasts and Where to Find Them’ rorypnm mencoba untuk
mereview delapan buah film yang menjadi bagian dari Harry Potter film series. Berikut adalah film pertama, Harry Potter and the Philosopher's Stone
(Harry Potter and the Sorcerer's Stone), sebuah pembuka yang faithful and fluffy.
Hogwarts'
Headmaster Albus Dumbledore (Richard Harris) bersama wakil
kepala sekolah Minerva McGonagall (Maggie
Smith) dan juga Hogwarts'
Groundskeeper Rubeus Hagrid (Robbie Coltrane) pada suatu malam tiba di
sebuah kompleks perumahan di jalan Privet
Drive untuk mengantarkan seorang bayi mungil kepada Vernon Dursley (Richard Griffiths) dan juga Petunia Dursley (Fiona Shaw). Bayi mungil tersebut bernama Harry Potter (Daniel Radcliffe), anak
yatim piatu yang menjadi sosok yang selamat dari serangan Lord Voldemort. Memiliki bekas luka di keningnya insiden tadi
membuat Harry kemudian dikenal sebagai the
special one di kalangan para penyihir.
Kini berusia 11 tahun
Harry mendapat kesempatan tidak hanya untuk lepas dari perlakuan kasar dari
paman dan bibinya tadi namun juga kesempatan untuk menjadi bagian dari sekolah
sihir Hogwarts. Di sana ia bertemu dengan banyak sahabat baru di antaranya Ron Weasley (Rupert Grint) dan juga Hermione Granger (Emma Watson) serta di
sisi lain juga bertemu dengan kompetitor bernama Draco Malfoy (Tom Felton). Harry merasakan excitement yang besar di tempat barunya tersebut terlebih ketika ia
dipercayakan untuk menjadi seeker bagi tim Quidditch
Gryffindor. Celakanya excitement tersebut juga membawa Harry bersama dengan
Ron dan juga Hermione ke dalam masalah besar. Berawal dari rasa curiga dan
ingin tahu yang besar terhadap Severus
Snape (Alan Rickman) Harry bertemu dengan sosok yang selama ini telah
menantinya, You-Know-Who.
Seperti salah satu kata
yang digunakan pada bagian pembuka tadi sebagai penonton yang juga membaca
novel karya J. K. Rowling impresi
utama yang tertinggal setelah selesai menyaksikan ‘Harry Potter and the Philosopher's Stone’ adalah ini merupakan
penggambaran yang “setia” terhadap sumbernya, a faithful adaptation. Dengan durasi
142 menit sejak berangkat dari sinopsis hingga
ketika ia selesai script yang ditulis oleh Steve
Kloves terasa seperti upaya yang setia pada "template" untuk menghidupkan tulisan di dalam novel
kedalam bentuk presentasi visual yang diarahkan oleh Chris Columbus. Beberapa perubahan kecil memang juga dilakukan
namun mayoritas detail yang dimiliki oleh novel juga muncul di dalam film. Itu
pada dasarnya merupakan hal yang sangat positif terutama bagi penonton yang
juga membaca novelnya namun di sisi lain juga menghasilkan sedikit minus
terutama pada kualitas kejutan yang berhasil ditampilkan.
Sutradara (Steven Spielberg initially negotiated to
direct the film) serta screenwriter dengan
visi yang lebih tinggi mungkin akan mencoba menggunakan dan mengolah materi untuk
membentuk sesuatu yang lebih “wow” namun producer melakukan pekerjaan yang
tepat tidak hanya pada keputusan menunjuk
Chris Columbus sebagai sutradara
namun juga menjaga agar film pertama ini tetap setia pada sumber cerita. Karena
setia dengan sumber cerita mengikuti Harry berjalan di film ini terasa seperti
membaca novel ‘Harry Potter and the
Philosopher's Stone’. Banyak hal positif yang lahir dari sana sebut saja
pondasi terhadap karakter dan juga konflik yang akan mereka hadapi kelak
berhasil dibentuk dengan cara yang efektif, termasuk di dalamnya perkenalan
singkat Lord Voldemort dengan kesan
berbahaya yang ditampilkan dengan manis.
Hal tersebut juga
menghasilkan dampak kumulatif di bagian akhir di mana penonton dibuat tertarik
dan kemudian terikat dengan daya tarik maupun pesona yang dimiliki setiap
karakter di dalam cerita. Sangat mudah untuk jatuh hati pada Harry di film ini
terutama jika menilik kondisi yatim piatu yang ia miliki serta status the special one yang ia sandang. Sama halnya dengan karakter lain seperti Ron
dan juga Hermione, chemistry di
antara mereka sebagai sahabat dan serta tim juga terbentuk dengan cara yang
simple dan efektif. Transformasi dari buku menjadi film itu juga ditangani
dengan baik oleh Chris Columbus
ketika membentuk elemen lain yang lebih luas, seperti berbagai tata cara atau
aturan maupun sistem yang terdapat di Hogwarts,
dari sistem berkirim pesan dan hadiah hingga permainan Quidditch. Cara Chris membentuk dan menjaga atmosfir sihir di dalam
Hogwarts juga terasa oke, penonton dibuat terpana dengan berbagai magic namun juga dapat merasakan sesuatu
yang haunting di dalam sekolah berbentuk castle
itu.
Hal lain yang juga
berada di level well done di ‘Harry Potter and the Philosopher's Stone’
adalah kualitas humor yang ia miliki. Screenplay
yang terasa understated karena sejak
awal telah setia itu berhasil memastikan berbagai humor memiliki kesempatan tampil yang “mudah” untuk membuat
penonton tersenyum, sama seperti kemampuannya dalam membuat penonton ikut larut
di dalam imajinasi fantasi itu berbagai usaha komedi dihadirkan dalam kadar
yang pas dan bersifat tepat guna. Hal tersebut harus diakui sangat membantu excitement yang ditampilkan cerita pada
45 menit pertama karena pada bagian tersebut cerita yang masih mencoba membentuk
karakter belum menyajikan “track”
yang benar-benar terasa menarik. Dapat dikatakan hal tersebut akan meninggalkan
dampak yang cukup signifikan terhadap penonton yang terlebih dahulu telah
membaca novelnya karena dengan demikian otomatis mereka akan lebih sulit untuk
“dikejutkan” oleh berbagai upaya menghadirkan kesan “wow” di bagian tersebut.
Seperti yang disebutkan
di awal tadi terdapat nilai minus dari eksekusi yang setia pada novel di ‘Harry Potter and the Philosopher's Stone’,
yaitu in the end it’s not a “monumental”
one. There’s a lot of magic here
namun hanya beberapa di antara mereka yang menghasilkan punch yang kuat. Namun hal tersebut harus diakui tidak terasa
begitu mengganggu terlebih jika penonton telah merasa terikat di dalam alur
yang tidak hanya punya power hypnotic
yang tinggi pada sektor cerita saja namun juga pada elemen teknis. Dari sets,
kostum, special effects, mereka
terasa outstanding untuk ukuran tahun
di awal millennium, a lovely treat for
the eyes terutama pada momen pertandingan Quiddich. Kualitas imajinatif yang dihasilkan sangat kuat dan believable, dari momen di Platform 9 ¾ hingga pertarungan antara
Harry dan You-Know-Who. Elemen teknis
lainnya seperti cinematography juga
melakukan pekerjaan yang baik termasuk pula score
dari John Williams yang terasa gorgeous and magical.
Kinerja pada aktor dan
aktris juga memiliki kontribusi dalam membuat ‘Harry Potter and the Philosopher's Stone’ menjadi sebuah start
yang manis bagi Harry Potter film series.
Fokus kita tentu saja diarahkan pada Harry Potter dan Daniel Radcliffe does a decent job bringing the characters to life.
Bukan sebuah kinerja akting yang kuat memang namun untuk ukuran newcomers itu terasa impesif, sama
halnya dengan Rupert Grint and the lovely one, Emma Watson. Di sisi lain
adult actors tidak mendapat kesempatan tampil yang sama besarnya seperti child
actors namun mereka mampu membuat kemunculan dari karakter mereka di dalam
layar meninggalkan kesan yang kuat dan tentu saja juga menjalankan tugas mereka
dengan baik.
Overall,
Harry Potter and the Philosopher's Stone adalah film yang
memuaskan. Ketika melakukan rewatch saya
masih dapat merasakan “magic” seperti
yang saya rasakan dahulu meskipun dengan penggunaan point of view dari adult
audience tidak semua dari mereka menghasilkan punch yang kuat. Chris Columbus tetap berpegang teguh
pada template yang dimiliki oleh novel dan itu membantunya dalam
membentuk perkenalan ini menjadi terasa efektif dan tepat sasaran, lent some gravitas even thought not a “monumental” one. Felt rushed namun dengan cerita yang hypnotic and easy to follow serta
elemen teknis yang mumpuni dalam menyajikan visual
feast Harry Potter and the
Philosopher's Stone merupakan sebuah sajian fantasi yang understated dan imaginatif, sebuah start dari a gorgeous adventure yang terasa faithful
and fluffy.
baru nonton ya?
ReplyDeletekan udah jelas di akhir dia bilang "rewatch" makanya di baca baik2, jgn langsung komen :p :p
Deleteya bang... jangan marah bang...
Deleteampun...
emang kalau nonton Harry Potter enak di rewatch...
Deletelebih kerasa harry nya..
mksdnya dunia sihir nya...
Ditunggu review FB: WTFT nya!:)
ReplyDelete