"You shall not harm
Harry Potter!"
Setelah pembuka yang
faithful dan berhasil membangun dasar yang baik bagi karakter dan juga konflik,
Harry Potter and the Philosopher's Stone,
kini Harry kembali harus berhadapan dengan masalah yang berasal dari sebuah
terror terkait kamar rahasia di Hogwarts.
Mencoba melanjutkan excitement yang
telah terbentuk itu sutradara dan writer menunjukkan bahwa mereka semakin
confident ketika bermain dengan materi, menghasilkan berbagai pertumbuhan yang
menarik meskipun tidak bersifat menyeluruh dan menjangkau semua bagian. Berikut
adalah film kedua dari Harry Potter film
series, Harry Potter and the Chamber of Secrets, a safely landing flight.
Resmi menjadi bagian
dari sekolah sihir Hogwarts membuat Harry
Potter (Daniel Radcliffe) justru semakin “dijaga” ketat oleh The Dursleys. Namun ternyata yang
mencoba menghalangi agar Harry tidak dapat kembali ke Hogwarts tidak hanya The
Dursleys saja namun juga sebuah makhluk bernama Dobby yang mengaku mendapat perintah dari majikannya untuk membuat
Harry tidak kembali ke Hogwarts.
Usaha Dobby tersebut gagal setelah Ron
(Rupert Grint) bersama dengan Fred
(James Phelps) dan juga George
(Oliver Phelps) datang menyelamatkan Harry dengan menggunakan mobil terbang
ayah mereka. Celakanya mobil tersebut juga meninggalkan memori kelam bagi Harry
dan juga Ron dalam perjalanan mereka ke Hogwarts, sebuah permulaan dari
berbagai masalah lain yang harus Harry hadapi kemudian.
Kembali harus
berhadapan dengan usaha Draco Malfoy (Tom
Felton) untuk “menjatuhkan” Harry serta sikap sinis yang ditunjukkan oleh Severus Snape (Alan Rickman), masalah
terbesar yang kini harus Harry hadapi justru berasal dari sebuah suara yang
terus “memanggil” Harry. Itu merupakan awal dari berbagai terror yang kemudian
menghampiri Hogwarts, kondisi yang lantas membuat Albus Dumbledore (Richard Harris) memasang status siaga bagi
Hogwarts. Sumber dari terror tersebut ternyata berasal dari sebuah kamar
rahasia yang diyakini dahulu dibangun oleh Salazar
Slytherin untuk kemudian diisi dengan monster yang hanya dapat dikontrol
oleh his heir. Monster tersebut menjadi bagian dari rencana Slytherin untuk
“membersihkan” Hogwarts dari penyihir
berdarah campuran.
Kembali dengan tim yang
sama di bangku sutradara serta screenwriter
‘Harry Potter and the Chamber of Secrets’ merupakan sebuah upaya memperluas
Potterverse yang cukup baik dalam
konteks konflik. Mudah untuk merasakan bagaimana dunia sihir itu kini semakin
luas dan besar terlebih dengan feel bahwa
dengan kedatangan Harry Potter ke
dalam Hogwarts tidak hanya membuat sekolah sihir itu semakin kuat saja namun
juga membuat mereka harus semakin waspada karena kini Lord Voldemort semakin “mendekat” kearah mereka. Kondisi tersebut
berhasil ditampilkan oleh Chris Columbus
dengan cukup baik di sini, tidak terdapat perkembangan yang cukup besar memang
namun at least ia mampu membuat ‘Harry
Potter and the Chamber of Secrets’ untuk mengingatkan penonton bahwa dunia
sihir itu tidak hanya akan berisikan keceriaan remaja saja, there’s something more big and more serious
yang siap menerjang.
Excitement
yang berhasil dibentuk dengan baik di film pertama berhasil dilanjutkan dengan
baik di sini meskipun dengan fakta bahwa tim yang berada di posisi terdepan
masih sama juga membuat cara bermain yang hadir di sini juga serupa namun tak
sama dengan film pertama. Columbus dan juga screenwriter
Steve Kloves masih memilih untuk tetap setia dengan sumber cerita, di sini template yang digunakan masih sama
meskipun mencoba menyajikan sebuah petualangan berisikan berbagai scares yang cukup oke dan membedakannya
dengan film pertama. Terdapat berbagai kejutan di dalam cerita namun nasibnya
masih sama seperti pendahulunya itu, tidak semua dari mereka menghasilkan punch
yang kuat dan berkesan, bahkan momen ketika Harry harus berhadapan dengan ular
itu tidak memiliki tensi yang begitu memuaskan.
Tidak mengganti formula yang digunakan pada film pertama
bukan berarti menandakan Columbus dan juga Steve Kloves “lazy” di sini, proses storytelling
yang mereka sajikan terasa ringkas dan juga jelas, begitupula dengan kemampuan
Columbus dalam menyeimbangkan kombinasi tone cerita antara yang ringan
berisikan humor serta ketika cerita
bermain di darker tone. Cara mereka memasukkan berbagai “komponen” baru terutama pada sektor karakter
juga oke seperti Lucius Malfoy dan
juga Gilderoy Lockhart yang klik
dengan manis bersama karakter yang telah eksis dan tampak semakin comfortable
di dalam cerita. Namun sama seperti misteri yang simple itu in the end
kesan yang ditinggalkan oleh ‘Harry
Potter and the Chamber of Secrets’ juga terasa terlalu simple, terasa terlalu safe.
Tidak menginginkan sebuah presentasi yang dipenuhi kehebohan sebenarnya namun jika
menilik dari sinopsis ini memiliki materi
yang lebih gelap namun sayangnya juga terasa kurang “menggigit” jika
dibandingkan dengan film pertama.
Eksposisi yang ‘Harry Potter and the Chamber of Secrets’
miliki terasa baik namun di beberapa bagian it
lose its own stream and momentum. Dengan materi yang lebih kompleks itu
Columbus seharusnya bisa menghasilkan sesuatu yang lebih "tighter" sembari tetap berpegang
teguh pada semangat dari novel J.K.
Rowling. Terdapat beberapa bagian yang terasa adds little terhadap cerita seperti kunjungan mendadak ke sarang
laba-laba itu meskipun pada dasarnya memiliki koneksi yang oke terhadap cerita.
Pace cerita kurang konsisten di bagian akhir sehingga dark tone yang seharusnya
mendominasi tidak menghasilkan “tekanan” yang intens. Columbus dan tim elemen
teknis kembali berhasil mempertahankan daya magis dari kisah fantasi Harry Potter namun di sini kualitas
mereka terasa stagnan, mostly we have
seen before sehingga tidak menghasilkan sebuah kejutan yang sebenarnya
dapat membantu meningkatkan pesona dari Potterverse
secara keseluruhan.
Salah satu elemen dari ‘Harry Potter and the Chamber of Secrets’
yang berhasil untuk duduk di level yang sama seperti pendahulunya adalah
kualitas visual. Production values
tetap sama, production design terasa
memikat begitupula dengan special effects
yang menghadirkan realisasi yang oke. ‘Harry
Potter and the Chamber of Secrets’ mungkin bukan film terbaik dari Harry
Potter film series namun ia memiliki jumlah momen memorable yang tidak berada di posisi terbawah dari total delapan
film, dari momen mobil terbang, pohon dan surat marah, Harry versus Draco, that wand, menyamar, Quidditch, hingga laba-laba, phoenix,
dan ular, mereka semua berasal dari special
F/X yang finely executed and crafted.
Elemen teknis yang terasa lebih baik dari film pertama adalah cinematography sementara score dari John Williams tampil dengan kualitas yang sama.
Elemen lain yang
menunjukkan pertumbuhan signifikan adalah kinerja akting, terutama pada child
actors. Kesan sedikit kaku yang mereka tunjukkan di film pertama perlahan
menghilang dari akting Daniel Radcliffe,
Rupert Grint, dan Emma Watson. A year older mereka tampak semakin confident dalam menampilkan karakter mereka
masing-masing terutama pada Daniel
Radcliffe yang berhasil membawa Harry
Potter semakin dekat pada tugasnya sebagai salah satu kunci penting bagi
keberlangsungan Hogwarts. Adult actors
yang telah hadir di film pertama mendapat porsi yang sedikit berkurang di sini,
dari Alan Rickman, Maggie Smith, dan Robbie Coltrane, sementara Richard Harris yang tampak “tenang” di
film pertama berhasil mendorong peran Dumbledore
di dalam cerita. Yang mencuri perhatian di sektor ini adalah Jason Isaacs yang berhasil menampilkan
kesan cruel yang cool dan juga Kenneth
Branagh yang dengan baik membentuk Gilderoy
Lockhart sebagai pria pesolek yang narsis dan tidak dapat diandalkan.
Overall,
‘Harry Potter and the Chamber of Secrets’ adalah film
yang cukup memuaskan. Serupa namun tak sama dengan film pertama di sini
Columbus masih bermain “aman” dengan materi cerita, menciptakan kesan “filmed book” yang kental seperti film
pertama dengan darker tone sebagai
pembeda. It hit the target actually,
dari konflik yang berhasil diperluas dengan baik hingga karakter yang
menunjukkan kesan nyaman yang semakin besar, namun secara overall ini tidak lebih baik dari film pertama terutama pada fakta
bahwa ia sempat kehilangan momentum dengan
pace yang kurang oke meskipun tidak sluggish. Tetap enjoyable dan memiliki cukup banyak momen yang memorable, namun ibarat pesawat terbang ini adalah pesawat terbang
komersial yang terbang aman dan mendarat aman. Good and pretty enjoyable, namun kurang menggigit.
Wah kak rory, late review nih ceritanya... 😂 jadi inget jaman SD nih film, saya termasuk yang mengikuti sekali lho seri harry potter ini... Misteri, fantasy, drama, dan sedikit bumbu komedi menjadi sesuatu yang sangat menyenangkan 😊
ReplyDeleteImo sih Chamber of Secrets salah satu film terlemah di antara 8 film Harry Potter.
ReplyDeleteVisualisasi, sinematografi, dunia sihir hogwarts adlh yg plng memorable dr serial Harpots movies
ReplyDelete