Sebuah ajaran yang baik tentu akan mengajarkan para pengikut maupun orang-orang yang mempelajarinya untuk hidup dengan pola pikir yang positif. Namun dunia yang semakin tua ini semakin kejam dan tidak heran semakin banyak pula manusia yang “membangkang”, mereka yang tahu dan mampu namun tidak mau. Ya, hypocrite semakin mudah untuk ditemukan ketimbang manusia yang teguh pada prinsip positif yang mereka pelajari. Hal tersebut yang coba ditampilkan oleh film ini, sebuah penggambaran humanistic bravery with heart and ultra violence. Hacksaw Ridge: a beautiful “love” story with lovely integrity.
Tidak seperti keluarga pada umumnya yang mengajarkan kasih sayang di antara sesama anggota keluarga Desmond T. Doss (Andrew Garfield) tumbuh besar di bawah sistem “militer” yang diajarkan oleh sang ayah, Tom Doss (Hugo Weaving) bersama dengan saudaranya adu fisik dan kekerasan telah menjadi hal yang lumrah. Desmond sendiri tidak begitu menyukai sang ayah yang alcoholic itu tidak heran ketika saudaranya Harold (Nathaniel Buzolic) ditentang oleh sang ayah ketika memilih mendaftar untuk ikut berperang pada Perang Dunia II Desmond juga tidak takut untuk melakukan hal yang sama ketika panggilan hati untuk membela negaranya itu muncul. Namun usaha Desmond tersebut tidak berjalan dengan mudah.
Meninggalkan kekasihnya Dorothy Schutte (Teresa Palmer) Desmond menjalani berbagai test persiapan yang dipimpin oleh Sergeant Howell (Vince Vaughn) dan Captain Glover (Sam Worthington). Dinding besar kemudian menghadang Desmond ketika ia menolak melakukan test yang menggunakan senjata. Desmond merasa permintaannya tersebut telah disepakati ketika ia mendaftar untuk ikut menjadi bagian dari militer namun tidak dengan the Army yang mencoba untuk menyingkirkan Desmond. Ujian tersebut tidak hanya Desmond temukan pada tahap persiapan namun juga ketika ia menjadi bagian dari pasukan yang dikirim ke Okinawa untuk mengambil alih kendali Jepang pada sebuah bukit yang dijuluki Hacksaw Ridge.
Ia mungkin tidak terlalu sering muncul sebagai komando utama yang duduk di kursi sutradara namun setiap kali karya terbarunya dengan kondisi tersebut muncul Mel Gibson selalu berhasil memberikan penonton sebuah film yang one to be remembered. Ciri khas dari film yang disutradarai oleh Mel Gibson adalah selain tentu saja terdapat unsur faith yang begitu kental di sisi lain ia mampu menciptakan sebuah sajian yang meninggalkan kesan challenging, tidak hanya jika dilihat dari proses produksi saja namun juga pada apa yang dirasakan oleh penonton ketika menyaksikan hasil produksi tersebut. Di sini Mel Gibson (Braveheart, The Passion of the Christ, Apocalypto) kembali membawa penonton untuk menyaksikan sebuah pesan tentang kasih sayang namun dengan sebuah proses yang berjalan di dalam track yang ekstrim, dari drama di bagian awal sebelum akhirnya bertemu dengan berbagai ledakan mengasyikkan di bagian akhir.
Yang menarik adalah punch yang dihasilkan terasa cukup merata sejak awal hingga akhir. Memang terdapat grafik yang sedikit meningkat ketika mendekati bagian akhir namun pesan tentang kasih sayang tersebut telah Mel Gibson presentasikan dengan begitu manis sejak awal. Sangat mudah untuk tertarik pada “sikap” yang Desmond miliki dan itu menempatkan penonton di belakangnya ketika ia mulai berhadapan dengan berbagai rintangan yang muncul menghalanginya. Ketika masih berurusan dengan romance, di dalam kurungan, hingga ketika beraksi di medan perang, Mel Gibson berhasil menampilkan Desmond sebagai sosok yang atraktif. Hal tersebut tidak terlepas dari kesan universal yang eksis pada hal terkait faith-based tersebut karena seperti yang disebutkan di awal tadi bahwa ajaran yang baik akan mengajarkan hal-hal yang positif, dan semakin lengkap kerena pendekatan terkait hal tersebut yang tidak menciptakan kesan preachy atau menggurui.
Itu tadi merupakan salah satu hal terbaik yang Mel Gibson lakukan di sini, ia berhasil meletakan sebuah isu in proper context lalu kemudian heated that "true story" untuk berhasil menyentil pikiran penonton namun tanpa berusaha menciptakan sebuah perdebatan yang unhealthy. Hacksaw Ridge bukan sebuah film horror namun di sini kita dibawa menyaksikan berbagai hal horror yang eksis di dunia ini, dari yang bersifat internal dalam bentuk keyakinan hingga yang bersifat eksternal. Logikanya senjata merupakan bagian penting di dalam peperangan sehingga apa yang dilakukan oleh Desmond pada dasarnya merupakan sebuah suicide attempt namun dari sana Gibson tunjukkan bahwa everything is possible with a great commitment. Itu yang membuat 'Hacksaw Ridge' terasa challenging ketika diikuti karena ini tidak hanya sebatas sebuah film perang yang dipenuhi dengan darah, api, peluru, ledakan, hingga teriakan namun juga merupakan sebuah pertempuran a boy who against violence, dan itu ia tunjukkan di medan penuh violence.
Hacksaw Ridge merupakan sebuah survival and heroism story namun apa yang membuatnya menjadi one to be remembered adalah kemenangan di sini bukan pada pencapaian USA ketika mengalahkan Jepang namun pada keyakinan yang Desmond punya, bahwa kemenangan not in killing, but in saving lives. Terkesan klise, konvensional, dan mengandung sedikit ironi memang namun di tangan Mel Gibson script yang ditulis oleh Andrew Knight dan Robert Schenkkan berdasarkan kisah nyata Desmond Doss itu berhasil menampilkan isu tentang kasih sayang tersebut layaknya sebuah warm embrace pada penontonnya. There’s a lot of temptation namun humanity tetap tidak lepas dari atensi meskipun sejak awal karakter utama kita terus menerus bermain di modest mode. Bagian awal mungkin akan terkesan sederhana namun secara implisit dan ditemani dengan beberapa humor yang tepat guna terdapat banyak “monster” di sana yang membangun penderitaan yang dimiliki oleh Desmond. Dan ketika pondasi masalah dan emosi tersebut telah terbentuk Mel Gibson kemudian menghadirkan battlefield dengan berbagai ledakan.
Mel Gibson tetap menjaga agar love metaphor tetap menjadi charm utama dari aksi Desmond namun bukan berarti itu membuatnya menggerus atensi pada elemen action. Sama seperti skill yang ia punya ketika memanipulasi cerita dan emosi pada elemen action Mel Gibson juga berhasil menyajikan sebuah dramatisasi yang terasa elegan, memiliki kualitas integritas yang dihasilkan setara dengan elemen drama medan perang terasa seperti gigantic hell with gigantic horror, a pure horror. Thrill yang disajikan terasa memikat dengan artikulasi yang manis dari proses editing, visual terasa stunning dengan sound design yang juga terasa impresif. Di sana Desmond mendapat hasil dari his genuine conviction di bagian awal, sebuah penderitaan yang juga menjadi bagian dari cobaan yang harus ia jalani untuk mempertahankan prinsipnya tadi. There’s a love for human life ketika Desmond mulai menjalankan tugasnya sebagai tim medis dan Mel Gibson kemas momen tersebut dengan manis tanpa terkesan menggurui.
Jika anda baca kembali sinopsis di atas maka salah satu potensi yang dapat muncul di Hacksaw Ridge ini adalah kesan menggurui terkait isu utama tentang kasih sayang, namun untungnya hal tersebut tidak terjadi berkat kontrol yang manis dari Mel Gibson, elemen teknis, dan tentu saja kinerja akting. Andrew Garfield bersinar terang sebagai Desmond Doss, dari momen ketika ia mencoba membawa penonton untuk berada di belakangnya hingga determinasi Desmond ketika berhadapan dengan berbagai rintangan, terdapat sikap teguh dan lembut yang manis darinya baik itu ketika berurusan dengan hal-hal lucu hingga ketika berhadapan dengan fear and doubt, ia terasa charming and believable. Andrew juga didukung oleh pemeran pendukung lain yang juga tampil mumpuni, seperti Vaughn di bagian comedy, Worthington sebagai leader yang keras, Hugo Weaving sebagai ayah sumber utama “luka” bagi Desmond, Luke Bracey sebagai kompatriot yang mengganggu, hingga Teresa Palmer sebagai jangkar bagi emosi Desmond Doss.
Overall, Hacksaw Ridge adalah film yang memuaskan. Mel Gibson kembali dengan sebuah sajian tentang courage and belief yang terasa impresif, sebuah survival and heroism story dengan menggunakan perspektif unik dari karakter utama: no violence di medan perang penuh violence. Gibson uses his entire arsenal really good pada elemen action, sebuah “perjuangan” dipenuhi ledakan dan kehancuran yang sangat impresif namun di sisi lain ia tetap menjaga fokus Hacksaw Ridge untuk menjadi sebuah anti-war film lewat humanistic bravery yang terasa uplifting without overbearing. It’s an exhilarating action flicks namun di sisi lain perpaduan antara tragedi, komedi, romance, horror, dan juga hope ini tidak hanya sebatas menjadi interpretasi namun speak the truth about love and loving. Such a beautiful, lovely, and affecting stories. Surely one to be remembered.
Setuju sekali, one of the best from 2016, and one to be remembered too. Kaya akan pesan dan membekas di hati *cielahh. Semoga berjaya di ajang award2 mendatang yaa
ReplyDelete