Debut fitur layar lebar
dari sutradara asal Iran bernama Babak
Anvari ini, Under the Shadow,
akan mengingatkan kamu pada film horror yang juga menjadi debut layar lebar
dari Jennifer Kent, The Babadook. Menggunakan konsep yang
sama yaitu menempatkan terror bersama hubungan antara ibu dan anak film yang
dipilih oleh United Kingdom untuk
mewakili mereka pada perhelatan 89th
Academy Awards di kategori “Best
Foreign Language Film” ini menjadi bukti bagaimana apa yang penonton sebut
formula dan materi yang klasik, klise, bahkan basi itu selalu dapat kembali
dibentuk menjadi sebuah presentasi penuh terror yang terasa segar dan
menyenangkan. It's horror with lovely terrors. Oh, what a year, what a lovely year for
horror films!
Tehran,
1988, ketika perang Iran-Irak sedang berlangsung pria bernama Iraj (Bobby Naderi) terpaksa harus ikut
terlibat di dalam peperangan tersebut dan meninggalkan istrinya Shideh (Narges Rashidi) serta anak
perempuan mereka Dorsa (Avin Manshadi).
Shideh merupakan wanita dengan pendirian yang teguh, ia menolak untuk mengungsi
dan memilih untuk tinggal di apartement mereka. Dengan tidak adanya kegiatan
belajar mengajar di sekolah tidak banyak hal yang dapat dilakukan oleh Shideh
dan Dorsa, namun ketenangan itu meledak setelah sebuah misil menghampiri
kediaman mereka. Tapi masalah terbesar bagi Shideh bukan itu, setelah kejadian
tersebut hal-hal aneh semakin sering terjadi, Shideh dan Dorsa mulai dapat
melihat penampakan makhluk supranatural, Jinn.
Banyak cara yang dapat
digunakan oleh filmmaker untuk
menebar terror, salah satunya adalah
dengan membuat karakter terjebak di dalam tekanan dan perlahan energi serta
emosi mereka mulai goyah. Ibu dan anak yang terisolasi di dalam rumah, itu
premis yang klise di genre horror,
tapi di tangan Babak Anvari itu
berhasil membentuk sebuah hiburan penuh terror yang menyenangkan. Yang
dilakukan oleh Babak Anvari di sini
sebenarnya bukan hal yang baru di ranah genre horror, berbagai hal klasik dan
familiar akan kamu temui seperti momen menunggu dalam diam yang terasa chilling
misalnya. Yang membedakan ‘Under the Shadow’ dengan film horror yang gagal ketika menggunakan template klasik
itu adalah ini punya bobot yang menarik, penonton tidak sekedar mengamati tapi
juga seolah merasa menjadi orang ketiga di dalam apartement Shideh. Hmm,
mungkin lebih tepatnya orang keempat setelah ditambah dengan hantu.
Ya, ada hantu atau Jinn di sana tapi hal itu digunakan
sebagai “peruncing” ketika kamu sudah terombang-ambing bersama Shideh dan
Dorsa. Saya suka cara Babak Anvari menciptakan intimitas antara Shideh, Dorsa,
dan juga penonton, posisi terkurung membuat tekanan terus naik secara perlahan,
seperti menaiki anak tangga dengan ledakan di puncak. Harus diakui butuh cukup
banyak waktu untuk ‘Under the Shadow’
sebelum benar-benar menghadirkan “keganasan” ke hadapan penonton tapi proses
menuju ke sana tetap menarik. Script
cukup efektif menciptakan skenario untuk membuat tekanan terhadap karakter
terus meningkat, awalnya tampak hanya perang yang akan menjadi masalah tapi
setelah itu berbagai hal seperti hantu, budaya, agama (that hijab thing), pekerjaan, serta hubungan ibu dan anak muncul
yang beberapa di antara mereka bahkan juga digunakan untuk “menyentil” Iran (that Jane Fonda video). Karakter
semakin terisolasi tapi dengan urgensi yang menarik, alhasil proses menunggu
sebelum “ledakan” tidak membosankan.
Itu yang membuat ‘Under the Shadow’ banyak mengingatkan
saya pada ‘The Babadook’, jika
melihat sinopsis saja sudah cukup identik dan cara film ini tampil juga kurang
lebih sama. Loneliness benar-benar
dikuras di sini, ancaman dari “sosok aneh” dimasak secara sedikit demi sedikit,
menciptakan rasa waspada dan cemas pada penonton sebelum menyerang mereka
secara agresif. Tensi atau ketegangan di dalam cerita terasa oke jika penonton
setelah merasa terikat kemudian sabar mengikuti aliran cerita bersama Shideh
yang berhadapan dengan tekanan psikologis. Cerita semakin terasa mengganggu
ketika Shideh mulai belajar tentang hal-hal terkait djinn tersebut dan dari sana atmosfir “mencekam” yang dimiliki
cerita kemudian naik, cara elemen paranormal
digabungkan dengan sebuah drama psikologis terasa oke dan menghasilkan
kesan horror yang menarik. Anvari menggunakan bahaya yang mengancam ibu dan
anak itu dengan cermat, membuat penonton on
the edge tapi tidak bermain secara berlebihan.
Hasilnya apa yang
dialami oleh Shideh dan Dorsa terasa seperti real experience, kesan gimmick yang terasa mengganggu tidak pernah muncul. Kondisi “there,
not there” memberikan terror yang menyenangkan dan itu juga berkat elemen
teknis yang terasa oke. Di awal kita melihat sebuah ledakan dari jendela, itu
sebuah terror pembuka, setelah hadir terror lainnya yang divisualisasikan
dengan baik, menggabungkan cita rasa klasik dengan sentuhan modern. Cinematography terasa oke dalam mengajak penonton melihat pada satu
“fokus” yang terasa dingin, bersama sound
design serta editing yang oke
menciptakan kesan claustrophobia yang
oke. Performa cast juga menjadi faktor penting pada pencapaian itu, Narges Rashidi berhasil membuat Shideh
yang punya pendirian teguh menarik simpati penonton, dia mampu memanfaatkan
situasi sulit tersebut untuk menggabungkan dengan manis trauma dan juga mental
stress. Sementara Avin Manshadi
berhasil menjalankan tugasnya menampilkan “something
fishy” dengan rapi.
Menyenangkan mendapati
jumlah film horror di tahun yang berhasil memberikan penonton kegembiraan
ketika bermain bersama terror dengan mereka, seperti yang dilakukan oleh Under the Shadow ini. Babak Anvari berhasil menggunakan horror sebagai basic untuk menciptakan sebuah psycho
drama dengan thrill yang terasa gripping, bergerak cepat dengan dipenuhi
chills yang oke, terasa intim dan
intens dipenuhi rasa takut yang solid. Ikut menyajikan lapisan sosiologis di
dalam cerita yang fokus menampilkan karakter yang terus tersiksa, di durasi 84
menit itu bersama atmosfir cerita yang gloomy
di sini kesabaran penonton diuji namun itu terbayar lunas ketika terror yang menyenangkan itu hadir dan
meledak. One of the best horrors this
year. Segmented.
Gila one of the best dah. Formula Babdook mulai ngetrend nih. Aneh nya justru sinopsis awal yang lambat membuat "ledakan" dari pertengahan ke akhir terasa sangat mengikat, karena kita dari awal udah terikat sama karakternya. Dan lagi gue gk nyangka film horror punya materi yang "sekaya" ini.
ReplyDeleteCaptivating...
Nice Review, btw 👌