Ketika kamu bertemu
dengan kegagalan dan kemudian dirundung rasa sedih serta menyesal apa yang
biasanya kamu lakukan? Banyak opsi memang, salah satunya memikirkan hal-hal
aneh seperti berharap agar kamu dapat memutar kembali waktu untuk mundur dan
menghindar dari kesalahan yang kamu lakukan. Secara logika tidak ada reset
button di dalam kehidupan nyata, itu mengapa mereka mengatakan yesterday is a memory dan yang harus
kamu lakukan selanjutnya adalah melangkah maju, hadapi tidak peduli seberapa
berat rintangan yang menantimu. Hal tersebut terkesan "berat", right?
Film ini menggambarkan hal tersebut dengan cara yang tidak berat, Things to Come ( L'Avenir), a story about
dealing with the evils of human existence.
Nathalie
Chazeaux (Isabelle Huppert) merupakan seorang professor
filsafat yang sangat mencintai pekerjaannya, her daily life sangat teratur dari
mengurus keluarga hingga menulis buku filsafat. Suatu ketika suami Nathalie
mengatakan bahwa dia akan tinggal dengan wanita lain dan membuat kehidupan
Nathalie seketika menjadi berubah. Nathalie belajar bahwa ia kini berhadapan
dengan kebebasan, dari sana Nathalie berusaha untuk mencoba menemukan kembali
hidupnya, reinvent her life.
Sinopsis
di
atas memang sangat sederhana namun jangan disangka apa yang Mia Hansen-Løve (All Is Forgiven, The Father
of My Children, Goodbye First Love, Eden) coba tampilkan di sini sama
sederhananya. Cara penyampaian yang Mia gunakan di sini memang tidak rumit tapi
cerita menyimpan berbagai hal menarik tentang manusia dan hidup yang berhasil
merangsang pikiran penonton untuk coba mengeksplorasi mereka secara lebih
mendalam. Karakter utama kita adalah seorang guru philosophy, punya semangat yang tinggi ketika mengajar tentu
menandakan dia juga punya semangat yang tinggi pula tentang filsafat, tentang
fenomena kehidupan dan pemikiran manusia. Suatu ketika ia justru masuk ke dalam
masalah yang memiliki kaitan dengan filsafat, and boom dari sana muncul sebuah
studi karakter dengan berisikan emosi dan ideologis yang menarik.
Mungkin sepintas
terkesan berat tapi seperti yang ia lakukan di film-filmnya terdahulu Mia Hansen-Løve berhasil mengemas
masalah tadi tanpa menciptakan kerumitan yang terasa membebani penonton. Di sini ia mendorong agar sebuah kotak
Pandora yang selama ini mungkin tidak pernah Nathalie terlalu pedulikan, ia
buka dan kemudian bertemu dengan berbagai “evils”
yang hidup di bumi. Pertanyaan menarik yang muncul dari sana adalah bagaimana
guru filsafat itu akan mengatasi fenomena kehidupan tersebut? Itu sebuah krisis
yang menarik dan dikemas oleh Mia
Hansen-Løve dengan keunikan yang menjadi ciri khasnya, menggabungkan
kompleksitas dan kontradiksi bersama sensitifitas dengan cara yang elegan. Mia
Hansen-Løve juga berhasil menyuntikkan emosi yang lembut ke dalam karakter dan
cerita sehingga menyaksikan Nathalie “beraksi” seperti sedang mengamati guru
mempraktekkan materi pelajaran langsung kepada muridnya.
Materi cerita yang
dimiliki Things to Come ( L'Avenir)
sangat berpotensi besar untuk terasa menggurui tapi dengan situasi seperti tadi
menariknya tidak ada kesan “menggurui” dari film ini. Seperti studi karakter
pada umumnya kita dibawa mengamati karakter yang di sini berhadapan dengan
sebuah heartbreaking truthfulness ditemani
oleh seorang pria dan seekor kucing. Apa yang dibicarakan di sini adalah
tentang kesempatan baru dengan menggunakan sebuah “tragedy” tanpa menciptakan kesan sebagai sebuah depressing drama. Nathalie hidup di
dalam sebuah comfortable environment
dan sekarang ia bertemu dengan sebuah track baru yang menghasilkan sebuah
kontemplasi batin, dikemas dengan lembut tanpa dramatisasi yang berlebihan.
Dari sana kita melihat kontras yang terdapat pada ketika Nathalie mengajar dan
krisis dalam kehidupannya yang pada akhirnya berujung pada tujuan yang ingin dicapai
oleh Mia Hansen-Løve, perbedaan between
philosophy and real life.
Film ini merupakan
penggambaran yang manis pada bagaimana filsafat dan mungkin berbagai studi dan
ilmu lainnya dapat membantu kamu memahami situasi dalam hidup, tapi pada
akhirnya mereka bukan manual yang komprehensif. Di tangan anak yang orangtuanya
both philosophy ini proses “dealing” itu dikemas secara tepat
sasaran, sebuah kebangkitan pada kehidupan karakter utama yang berisikan
berbagai ironi dan simpati yang menarik. Hal tersebut berhasil dicapai oleh Things to Come ( L'Avenir) dengan baik
juga berkat karakter utama kita yang memiliki pesona sosok dewasa yang hangat.
Nathalie adalah mature woman dengan intellectual and happy life, di tangan Isabelle Huppert ia tidak hanya berhasil
terus mengikat perhatian penonton saja tapi membuat mereka semakin dan semakin
tertarik untuk mengamatinya secara lebih jauh, itu karena ia berhasil
menggambarkan problemanya dengan cara yang ringan dan understandable.
So, apakah reset button benar-benar tidak eksis di
dalam kehidupan setiap manusia? Ya, ada, meskipun dengan kemampuan terbatas. Things to Come ( L'Avenir) menunjukkan
hal tersebut dengan menggunakan tiga fase dalam kehidupan: past, present, and future, bertemu dengan karakter utama yang berhadapan
dengan berbagai “evils” di dalam
kehidupan. Sejak awal Things to Come
membawa ide yang menarik dan itu berhasil distimulasi dengan baik oleh Mia Hansen-Løve, bercerita tentang suka
dan duka dengan cara yang natural, menaruh kesedihan sebagai fokus utama
sembari menyelimutinya dengan berbagai humor
yang tepat guna. Sekilas Things to
Come terkesan rumit, faktanya ia membawa isu yang rumit, namun dengan
eksekusi yang tidak rumit ia berhasil menjadi sebuah thoughtful drama tentang life crisis yang menyenangkan dan
menambah panjang daftar film memorable
dari Mia Hansen-Løve. Mia Hansen-Løve is,
love. Segmented.
0 komentar :
Post a Comment