Hal ini tidak hanya
terjadi di era modern saja tapi usaha
mengggunakan cinema sebagai media untuk “berbicara” tentang isu lain seperti
sejarah hingga kemanusiaan telah eksis sejak lama. Hal tersebut coba dilakukan
oleh film yang menjadi reboot kali
ketiga pada Godzilla franchise ini, Shin Godzilla (Godzilla Resurgence),
merangkum berbagai bencana dari gempa bumi, tsunami, dan juga bencana nuklir ke
dalam satu kesatuan yaitu sang kaiju monster sebagai force of nature yang mengerikan serta mematikan. It’s The Lizard King new incarnation and homecoming
with a lot of talking. It's Goodzilla.
Sebuah bencana terjadi
di Tokyo Bay Aqua Line yang
menciptakan kerusakan serta banjir besar, lewat viral video kemudian diketahui
bahwa penyebabnya berasal dari sebuah entitas tidak dikenal berukuran raksasa
yang bergerak di daerah tersebut. Pertemuan darurat kabinet dilakukan di mana
Wakil Kepala Sekretaris Kabinet Rando
Yaguchi (Hiroki Hasegawa), Wakil Perdana Menteri Hideki Akasaka (Yutaka Takenouchi), dan Utusan Khusus Presiden
Amerika Serikat Kayoko Ann Patterson
(Satomi Ishihara) sepakat bahwa Jepang harus segera menyusun rencana besar
untuk menyelamatkan negara mereka bahkan juga dunia dari ancaman makhluk
raksasa yang siap mengamuk dan menebar terror, Godzilla.
Sinopsis
di atas memang tampak sederhana dan jika digambarkan secara sederhana pula maka
cerita Shin Godzilla (Godzilla Resurgence) yang ditulis oleh Hideaki
Anno (Neon Genesis Evangelion) sebenarnya memiliki dasar yang juga tidak
rumit, tapi bersama dengan Shinji Higuchi
(Attack on Titan) mereka buat ini menjadi sebuah action drama dengan
permainan politik yang sangat dominan. Tidak begitu mengejutkan mendapati Shin Godzilla justru menaruh fokus pada
hal tersebut karena film-film Godzilla
made in Japan sebelumnya juga telah mencoba melakukan itu, menggabungkan
kembalinya sang raja monster bersama dengan “komentar” terhadap berbagai isu.
Di sini Shin Godzilla mencoba
berbicara secara indirectly tentang
tindakan pemerintah Jepang pada
bencana tahun 2011 yang lalu, dari damage
control and handling a crisis ketika Jepang dilanda tiga bencana, dari
gempa bumi, tsunami, dan bencana nuklir Fukushima.
Shin Godzilla (Shin Gojira) tidak terjebak dalam “hype” yang diciptakan oleh film Godzilla dua tahun yang lalu, meskipun
sama-sama mengusung isu tentang humanity
misalnya tapi film ini punya “taste”
yang membedakan mereka dengan Godzilla buatan Hollywood itu. Eksekusi dari Hideaki
Anno dan Shinji Higuchi terasa
cukup berani di sini, porsi antara unsur politik dan sosok ikonik itu terasa
cukup berimbang sehingga tidak heran unsur drama di cerita perlahan jadi
semakin mendominasi, terlebih di paruh pertama. Masalah politik berisikan
berbagai perundingan dan konsultasi dari berbagai pejabat politik yang hadir
dengan “niat & tujuan” masing-masing, sederhananya mereka merasa bahwa
kemunculan Godzilla merupakan kesempatan untuk memperoleh jabatan yang lebih
baik lagi. Hasilnya banyak manuver di bagian ini, alegori politik yang
menariknya punya kadar horror yang
sama seperti eksistensi Godzilla yang menunggu beraksi.
Film yang mencoba
menggabungkan dua hal tadi sering jatuh menjadi terlalu serius dan juga
monoton, namun tidak dengan Shin Godzilla,
bahkan ini punya cukup banyak momen yang terasa lucu. Dari lembaga, politikus, press conferences, debat, hingga
pertemuan, mereka cukup mendominasi cerita tapi excitement yang mereka hasilkan terasa oke. Mungkin punya potensi
besar untuk terasa painful bagi penonton yang tidak mengerti plus tidak
tertarik pada hal-hal semacam itu tapi “kepentingan” yang tersimpan di bagian
yang dialogue-centric tersebut punya
koneksi yang cukup oke dengan kemunculan Godzilla
yang juga ikut menebar hal yang sama kepada penonton yaitu horror dan
terror. Berenang di sungai Godzilla mendorong
benda-benda di depannya untuk menciptakan banjir, urgensi dari kemunculannya
cukup oke untuk membuat proses di bagian drama politik tetap punya rasa exciting yang oke, ketika mereka terus
berusaha mengambil keputusan di sisi lain Godzilla bertindak semakin destruktif.
Dapat dikatakan di sini
bersama dengan birokrasi pemerintah itu Godzilla berada di posisi sebagai villain namun kekuatan alam skala besar
kemunculannya itu ternyata menjadi metaphor
yang oke bagi isu tentang tiga bencana tadi. Dia menjadi gempa bumi, dia
menjadi tsunami, dia menjadi bencana nuklir, dia berjalan lalu kemudian
mengeluarkan nafas api, energi yang ia Godzilla miliki sendiri pada dasarnya
merupakan sebuah bencana. Kemampuan Godzilla
menjadi terror juga berkat kualitas elemen teknis dalam hal ini cinematography, score, CGI, dan motion-capture, dari design
hingga cara makhluk dinosaur-like itu
menciptakan kekacauan, mereka terasa impresif. Kesan ganas dan mengerikan yang
Godzilla miliki tergambarkan dengan baik, kekuatan dan juga ancaman yang ia
punya berhasil menjadi penyeimbang yang cukup oke baik drama politik tadi
dengan terus membuat merasa cemas terhadap berbagai serangan yang dapat ia
lancarkan.
Elemen teknis lainnya
yang terasa impresif adalah score yang
memperluas musik gubahan mendiang Akira
Ifukube, orchestral score yang
cukup bombasctic dan dynamic dengan menggabungkan rasa retro dan juga modern sehingga menciptakan sedikit nostalgia terhadap beberapa
film Kaiju classic. Sementara cast
walaupun mendominasi dengan drama politik yang repetitif itu nyatanya tidak ada
yang terasa begitu menonjol, mereka berusaha saling “membantu” satu sama lain,
dari berbagai kepentingan dan juga keputusan buruk hingga penolakan dan juga
sikap selfish serta skeptic, percakapan di antara mereka walaupun
dominan berisikan berbagai dialog drama politik tapi tidak pernah terasa
membosankan. Meskipun tidak menonjol di beberapa bagian Satomi Ishihara cukup mencuri perhatian, with her “unique” English.
Sebagai sebuah reboot sepanjang dua jam durasi yang ia miliki Shin Godzilla (Godzilla Resurgence)
menjalankan tugasnya dengan cukup baik, ditunjang kualitas elemen teknis yang
oke terutama visual effects bersama
dengan design baru serta roar and fire-breath Godzilla berhasil menebar terror yang terasa mengerikan. Ini juga
punya unsur action yang oke meskipun
sejak awal telah cukup didominasi dengan drama politik tentang human failure ketika menghadapi sebuah
krisis atau bencana dengan sedikit sentuhan satire
di dalamnya, membawa penonton bermain dengan fear and frustration serta tentu saja paranoia. Overall it's not outstanding tapi dengan mencoba menggabungkan
sentuhan modern bersama homage
terhadap karya Ishirō Honda yang
rilis 62 tahun yang lalu 'Shin Godzilla'
berhasil membuat kepulangan The Lizard King ini menjadi sebuah inkarnasi yang cukup menyenangkan, a sweet popcorn flick. Segmented.
Nonton dimana mas? streaming atau bioskop? Soalnya nunggu berbulan bulan nih hahaha.
ReplyDeleteDitonton oleh writer di AMC Empire 25 NY. :)
Delete