Ketidakadilan berbau
rasisme yang pernah (dan mungkin saja masih) diterima oleh kaum kulit hitam di
USA sana merupakan salah satu isu yang mungkin masih membutuhkan waktu lama
untuk tidak lagi terasa menarik atau terasa basi diperbincangkan. I don’t think black people tidak berada
di level yang sama dengan ras lainnya, look
at Obama, namun masih banyak dari mereka yang memiliki severe inferiority complex yang membuat isu rasisme tersebut tetap
menjadi komoditas perbincangan yang hangat. Menjadi jawara di 2016 Sundance Film Festival ‘The Birth of a
Nation’ mencoba berbicara tentang isu yang belum basi tadi, dari racist dan
juga humanity lewat sebuah aksi pemberontakan. It's 2016's The Butler.
Ketika ia masih kecil
seorang budak bernama Nat Turner (Nate
Parker) telah diprediksi akan menjadi seorang pemimpin. Diajari membaca dan
mempelajari kitab suci Nat mendapat perlakuan positif dari majikannya Samuel Turner (Armie Hammer) yang
membawanya berkeliling negara sebagai pengkhotbah. Tujuan Samuel adalah
menggunakan Nat untuk mendapatkan budak-budak baru tapi hal itu tidak mudah
setelah Nat mulai menyaksikan perlakuan yang diterima orang kulit hitam. Nat
Turner memutuskan untuk membentuk sebuah usaha pemberontakan.
Jika kamu lihat sinopsis di atas tadi maka perasaan
familiar mungkin akan terbersit di pikiran kamu, dan faktanya memang masalah
kulit hitam, tertindas, dan pemberontakan semacam itu selalu menjadi materi
cerita yang empuk di industri perfilman Hollywood
setiap tahunnya. Membosankan? Tentu saja tidak tapi dengan sulit untuk
menemukan sesuatu yang sangat baru dari film tipe seperti ini, yang saya cari
dari mereka adalah seberapa jauh mereka dapat membuat aksi heroism yang kerap jadi jualan utama meninggalkan kesan yang
mendalam. Dramatisasi dari kisah nyata dari tahun 1831 tentang pemberontakan
yang berlangsung selama 48 jam ini di mulai dengan sangat meyakinkan, di awal Nate Parker cukup oke ketika mencoba
menyusun atau membentuk karakter dan juga masalah di dalam cerita. The Birth of a Nation tidak langsung
panas di awal, fokusnya lebih pada menunjukkan siapa itu Nat Turner, dari koneksinya dengan kaum kulit putih, kemampuannya
berkhotbah, dan karismanya sebagai pemimpin.
Itu bagian terbaik dari
The Birth of a Nation sebelum
akhirnya jatuh ke dalam lubang yang sering menangkap kombinasi history dan war movies lainnya: routine,
klise, dan miskin punch. Kehidupan Nat sendiri sebenarnya menarik dan itu belum
menghitung masalah terkait istrinya, Cherry
(Aja Naomi King), tapi sebagai pahlawan dia tidak mendapat support yang
kuat dari cerita hingga akhir. Ketika telah selesai memperkenalkan masalah dan
juga karakter Nate Parker ternyata tidak langsung beralih ke stage yang
penonton nantikan, di sini kamu akan bertemu dengan fase calm before the storm, bagian di mana The Birth of a Nation mulai terasa goyah. Cara film ini membangun
cerita tidak dengan gerak cepat, Nate
Parker seperti mencoba memberi penonton banyak waktu untuk “merasakan” apa
yang Nat rasakan. Cerita menjadi terasa repetitif tapi sayangnya excitement di dalam cerita perlahan juga
menurun.
Sebagai film tentang
usaha menegakkan keadilan yang dipenuhi dengan berbagai tindakan kejam The Birth of a Nation tidak buruk namun
juga tidak selalu terasa menarik. Pada satu point dramatisasi yang Nate Parker
tampilkan berhasil menampilkan isu yang dia bawa dengan baik tapi di point
lainnya mereka juga sempat terasa tumpul. The
Birth of a Nation bermain cukup straightforward
dalam menggambarkan pesan yang ia bawa tapi dipoles oleh Nate Parker dengan permainan tarik dan
ulur. Power ketika menarik dan
mengulur itu yang tidak merata, penonton cukup berhasil dibawa masuk ke dalam
cerita dan seolah berada di tengah-tengah perjuangan yang Nat Turner lakukan, tapi kemampuannya memprovokasi penonton dengan
isu yang ia bawa tidak konsisten, tidak begitu oke ketika merangsang penonton
untuk terus merasakan kesan horror
yang tersimpan di dalam cerita dan karakter.
Judulnya memang
mengandung kesan patriotisme tapi elemen awakening di The Birth of a Nation tidak begitu besar. Ini tentang eksploitasi
terhadap orang kulit hitam yang kemudian disusul dengan usaha pembalasan yang
berhasil menciptakan kesan adil, meskipun karakter utama merupakan seorang
pengkhotbah tapi di tangan Nate Parker ini tidak mencoba menghujani penonton
dengan isu yang berusaha tampak anggun, lebih terasa seperti crowd-pleaser tanpa kesan pretentious yang berlebihan. Seandainya Nate Parker dapat menjaga daya tarik
karakter dan cerita ketika bermain-main di antara dua bagian tadi mungkin The Birth of a Nation akan terasa lebih
menarik karena di situ kelemahan film ini. The
Birth of a Nation seperti tidak mencoba untuk mendorong aksi Nat dan
kelompoknya agar dapat menghancurkan dinding yang mengurung isu tentang
keadilan dan penindasan itu, dan hasilnya ketika ia berakhir tidak ada aksi
heroism yang terasa sangat memikat.
Di debut
penyutradaraannya ini Nate Parker
menunjukkan ia memiliki visi yang oke, menampilkan permainan tarik dan ulur di dalam cerita
bersama penonton yang konsisten terasa menarik namun sayangnya tidak dengan excitement. Di balik pendekatan yang
memang tidak fresh isu ketidakadilan yang The
Birth of a Nation bawa sebenarnya memiliki spirit dan energi yang baik,
tapi sayangnya film ini tidak punya shock yang mampu membuat harrowing drama
itu meninggalkan kesan yang kuat, once
again ini konsisten terasa menarik namun perlahan mulai terasa routine, klise, dan miskin punch. Segmented.
0 komentar :
Post a Comment