"He called…for a monster."
Salah satu dari sekian
banyak alasan mengapa hidup ini indah adalah karena kehidupan merupakan sebuah
petualangan penuh warna, tidak sebatas hitam dan putih ia memiliki berbagai
misteri dan tentu saja kejutan, terkadang itu menyenangkan namun tidak sedikit
pula yang terasa menyakitkan. Selalu ada hal-hal yang menjadi “bumbu” di dalam kehidupan
setiap manusia, dari yang positif, negatif, maupun yang terdapat di antara dua
hal tersebut, mereka merupakan sesuatu yang harus setiap manusia hadapi dan
lalui untuk dapat merasakan hal tadi, sebuah kehidupan yang indah. Hal tersebut
yang coba digambarkan oleh film ini dalam perpaduan kisah coming-of-age, family,
dan juga fantasy. A Monster Calls: a fantasy where glossy and
gloomy coexist.
Ketika berada di
sekolah remaja bernama Conor O'Malley
(Lewis MacDougall) seperti tidak memiliki semangat yang besar, tampak
selalu sulit fokus bahkan bersikap pasrah ketika di bully oleh teman-temannya. Remaja yang telah terbiasa hidup mandiri
itu memiliki semacam tekanan batin yang selalu menggelayuti pikirannya, kondisi
kesehatan sang ibu (Felicity Jones)
yang kini hanya dapat menjalani hari-harinya di rumah mereka akibat mengidap
sebuah penyakit kanker mematikan. Karena sang ayah (Toby Kebbell) kini telah menjalani kehidupan baru di Los Angeles, Conor telah dipersiapkan
oleh sang ibu untuk tinggal bersama sang nenek (Sigourney Weaver) jika suatu saat penyakitnya semakin memburuk.
Namun tidak seperti ibunya itu Conor percaya bahwa sang ibu dapat sembuh dari
penyakitnya.
Kemudian sesuatu yang
luar biasa muncul di hadapan Conor. Suatu malam pada pukul 12 lewat tujuh menit
tengah malam ketika sedang mengerjakan sebuah karya seni Conor menyaksikan
sebuah monster (Liam Neeson) muncul
dari sebuah pohon Yew. Makhluk
tersebut kemudian datang menghampiri Conor dan mengatakan bahwa ia dapat
menyembuhkan sang ibu dari penyakit mematikan tadi, namun dengan syarat yang
harus dipenuhi oleh Conor. Sang monster meminta Conor untuk mendengarkan ia
bercerita tentang tiga cerita yang berbeda, masing-masing satu di setiap
pertemuan, dan setelah itu Conor harus menceritakan sebuah kisah pada sang
monster. Cerita dari monster tersebut ternyata membawa Conor belajar bagaimana
cara mengusai emosi dan menghadapi situasi sulit yang kini sedang ia hadapi.
Jika menilik sinopsis di atas tadi sejak awal ‘A Monster Calls’ telah menunjukkan
bahwa ia merupakan sebuah film fantasi berisikan kisah coming-of-age dengan sedikit sentuhan studi karakter, dan kombinasi
tersebut membutuhkan karakter utama yang harus mampu menjadi “bintang” yang
bersinar terang. Sutradara J. A. Bayona
berhasil melakukan hal tersebut, seperti yang ia lakukan di ‘The Impossible’ di sini Conor merupakan
sosok remaja yang langsung terasa menarik, kondisi “too old to be a kid, too young to be a man” membuat penonton
mengerti bagaimana kondisi emosi yang ia miliki kini dan semakin lengkap dengan
eksistensi dari masalah berat terkait sang ibu di sampingnya. Rasa takut dan
cemas Conor terasa natural, momen
ketika ia diam terasa menyayat hati dan ketika ia “meledak” terasa miris. Di
tangan J. A. Bayona script yang ditulis langsung oleh penulis novel Patrick Ness berhasil menciptakan kesan tragis di dalam kehidupan
Conor, semacam childhood nightmare
yang berhasil menjadi sebuah start manis bagi perpaduan drama dan fantasi yang
muncul setelahnya.
Jika berbicara tentang
niat dan tujuan ‘A Monster Calls’
punya sesuatu yang sangat manis yang ingin ia sampaikan kepada penonton,
seperti yang disinggung di awal tadi bahwa bagaimana kehidupan indah karena memiliki
begitu banyak warna. Di sini kita dibawa menyaksikan hal tersebut lewat
perjuangan seorang remaja mengatasi tekanan dan emosi miliknya yang terus
bergejolak, memadukannya dengan fairy
tale dengan fokus utama pada proses bertemu realita, setelah itu “goodbye” untuk kemudian melangkah maju
dan bertumbuh. Sebuah topik yang tidak “mudah” memang jika mengingat target
penonton yang film ini miliki tidak sepenuhnya merupakan penonton dewasa, namun
di tangan J. A. Bayona meskipun
memiliki konflik yang terkesan kelam sepanjang 108 menit durasi kesan depresif tidak pernah terasa mengganggu. Pendekatan
yang ia gunakan di sini terasa dewasa namun mudah dicerna, Bayona berhasil
menghindarkan karakter dari kesan bahwa ia sedang tenggelam bersama duka namun
justru sebaliknya, ia berjuang untuk lepas dari duka. That’s something interesting to cherish.
Sayangnya aksi tersebut
tidak berada di level yang benar-benar memuaskan, bahkan mayoritas terasa cukup
underwhelming. Karakter dan konflik
yang menarik serta memiliki emosi yang mumpuni, ‘A Monster Calls’ punya itu, tapi cara mereka bermain terasa lack of constant sensitivity. Dengan
berbagai isu yang tidak ringan seperti kehilangan, perasaan bersalah, hingga
amarah film ini terasa seperti sebuah didactic
class, diajar oleh seorang guru dengan pesona yang menarik namun tidak
konsisten terasa menyenangkan sepanjang durasi pertemuan. Ada bagian di mana
penonton merasa terjerat oleh situasi penuh rasa putus asa yang sedang dialami
oleh Conor, namun ada pula bagian di mana tragedi itu justru terasa “dingin”.
Alhasil kualitas dari pesona Conor bersama segala fantasi yang bermain di
pikirannya itu terasa tidak merata di semua bagian, Bayona mencoba
mempermainkan cerita layaknya sebuah orchestra
namun celakanya tidak semua alat musik menghasilkan bunyi yang menarik sehingga
kurang berhasil menghantarkan pesan yang ia bawa secara maksimal.
‘A
Monster Calls’ memiliki dasar yang sangat baik tapi
daya cengkeram yang dimiliki oleh karakter dan konflik terhadap penontonnya
tidak sangat baik. Niat pada bagaimana imajinasi dapat mengubah dan memperkaya
realita berhasil ditampilkan dengan cukup baik di sini, tapi sayangnya mereka
hadir tanpa punch yang benar-benar
kuat dan berkesan. Kita tidak punya seorang guru yang mampu menstimulasi masalah
di dalam cerita untuk memiliki sedikit saja kompleksitas yang terasa manis,
tidak hanya sebatas berfungsi menunjukkan yang ini baik dan yang itu buruk.
Tentu saja menarik menyaksikan Conor belajar tentang kehidupan namun tidak ada force di dalam proses tersebut, seiring
kemunculan sang monster ia terus
berjalan bertemu dan belajar tentang berbagai “warna” namun sayangnya itu
terasa lack of depth. Menarik
mendapati pesona pada momen di real world
justru tidak berada jauh lebih tinggi ketimbang momen di mana segala macam
fantasi yang ditampilkan dalam bentuk animasi itu hadir di dalam layar, atau
ketika Conor berjalan sendiri tanpa didampingi oleh sang monster.
Bayona patut
berterimakasih pada tim di elemen teknis terutama visual effect karena tanpa mereka ini tidak akan menjadi perpaduan glossy dan juga gloomy, namun hanya gloomy.
Dari permainan watercolour hingga
penggambaran King Kong dalam hitam
dan putih, jika harus memilih satu kata bagi visual ‘A Monster Calls’ maka pilihannya adalah enchanting, cerita yang “gloomy”
dapat ditampilkan dalam presentasi yang menawan. Kualitas CGI juga tidak kalah
baik, membuat monster seperti itu mungkin tidak lagi sulit dengan teknologi
yang kini industri film miliki namun di sini tim visual effect berhasil
menciptakan pesona bedtime stories
yang manis bagi sang monster,
meskipun berasal dari pohon lengkap dengan batang dan ranting dari pesona
dan tampilan visual dia terasa lembut. Hal yang sama juga dihasilkan elemen
visual pada bagian real world dengan cinematography sebagai elemen yang
paling standout.
Kinerja elemen teknis
yang berhasil membantu cerita memiliki sedikit kedalaman juga berhasil
dilakukan oleh para aktor dan aktris, kinerja akting mereka secara overall cukup oke. Sebagai bintang utama Lewis MacDougall berhasil membuat Conor
menjadi karakter dengan intensitas yang cukup menarik terutama gejolak emosi
yang sedang dia rasakan, sikap teguh dan pemberani yang ia miliki berkombinasi
dengan cukup baik dengan sikap clumsy ketika ia terjerat di dalam emosi, meskipun
cukup disayangkan ia tidak punya kompleksitas yang sangat menarik. Felicity Jones juga tampil baik di sini,
lebih sering pasif dengan mengandalkan ekspresi wajah serta intonasi suara
kinerja dan pesonanya di sini justru merupakan yang paling stabil di antara
cast lainnya, memancarkan kasih sayang dan kesedihan untuk kemudian diserap
oleh Conor. Pemeran lain bekerja dengan cukup baik, Sigourney Weaver dan Toby
Kebbell yang berperan sebagai penyokong bagi Conor serta Liam Neeson yang “menghidupkan” sang
monster dengan baik lewat suaranya.
Overall, A Monster Calls adalah film yang cukup
memuaskan. Sebuah kisah coming-of-age
berisikan pendewasaan diri dari karakter utama yang bermain dengan rasa takut
dan sikap berani, ‘A Monster Calls’
berhasil mencapai tujuan utamanya untuk bercerita tentang sisi indah yang
dimiliki oleh kehidupan, dengan visual yang menawan serta emosi yang terasa
cukup mumpuni. Sayangnya hal terakhir tadi tidak memiliki kualitas yang
konsisten serta merata di semua bagian cerita, tidak memiliki kedalaman yang
mampu menstimulasi pesan yang ia bawa sehingga dapat menciptakan berbagai punch yang segar dan memikat bagi
penonton. Perpaduan glossy dan gloomy ‘‘A Monster Calls’ merupakan
sebuah fantasy drama yang understated, namun jika menilik potensi yang ia punya ini seharusnya shine
bright like a diamond.
0 komentar :
Post a Comment