Tom
Cruise memang punya semacam likability issues dengan kontroversi terkait agama sehingga mungkin
tidak semua penonton menyukainya sebagai individu, namun di sisi lain ia masih
memiliki “force” yang sangat kuat
sebagai aktor terlebih ketika tampil di genre action dan juga sci-fi
yang sering ia lakukan belakangan ini. Cruise masih punya charm yang sangat
kuat sebagai seorang agent maupun “hero” yang mampu membuat penonton “percaya”
padanya, dan hal tersebut yang kembali dimanfaatkan dengan baik oleh film kedua
dari Jack Reacher ini. Jack Reacher: Never Go Back: when Mission
Impossible agent, Marvel's SHIELD agent, and clone of Anna Paquin doing an
enjoyable picnic.
Setelah masalah hukum
yang ia hadapi telah dianggap "clear"
Jack Reacher (Tom Cruise) memutuskan
untuk kembali ke markas militer di Washington
D.C. dengan tujuan utama untuk bertemu dengan Major Susan Turner (Cobie Smulders), sahabat baru yang menarik
perhatian Reacher meskipun belum pernah bertemu dan hanya melakukan percakapan
via panggilan telepon. Merasa semuanya akan berjalan lancar Reacher justru
dikejutkan pada dua hal, pertama bahwa ia masih memiliki “urusan” hukum yang
belum selesai dan yang kedua adalah sosok yang ingin ia temui tadi justru kini
ditahan dengan tuduhan terlibat dalam sebuah spionase terkait sebuah informasi
sensitif yang merenggut nyawa dua tentara USA
di Afghanistan.
Jack Reacher kemudian sadar
bahwa bersama dengan Turner kini ia menjadi target dari seorang assassin yang berusaha membunuh mereka
untuk melindungi sebuah rahasia terkait sebuah kejahatan yang terjadi di
Afghanistan, mereka berusaha untuk mencari sosok yang bertanggung jawab atas
peristiwa tersebut. Celakanya pelarian Jack dan Turner itu ikut membawa beban
lain yang tidak mudah, seorang remaja dengan free spirit bernama Samantha Dayton (Danika Yarosh).
Informasi terkait Samantha sangat terbatas dan Jack hanya tahu bahwa remaja tersebut
merupakan anak perempuan dari seorang wanita yang melancarkan tuntutan hukum
terhadap Jack terkait sebuah masalah di masa lalu.
Ketika muncul hampir
empat tahun yang lalu satu dari sekian banyak respon yang diterima oleh ‘Jack Reacher’ adalah ia merupakan upaya
persiapan yang coba dilakukan oleh Tom
Cruise jika suatu saat perannya sebagai Ethan
Hunt di Mission: Impossible film
series pada akhirnya bertemu dead-end.
Faktanya respon yang Jack Reacher peroleh kala itu cukup positif baik itu dari
pengamat film dan tentu saja penonton dengan menuai pencapaian box office lebih dari tiga kali lipat
budget yang ia punya. Namun satu hal yang mungkin sebagian besar penonton akan
sepakat adalah secara kualitas upaya “cadangan” tersebut tidak memiliki
kualitas yang benar-benar kuat, bermain dengan formula klasik ia memiliki
beberapa kelemahan meskipun di sisi lain juga memiliki potensi yang tidak kalah
banyak untuk digali atau dieksplorasi secara lebih jauh serta lebih mendalam.
Hal terakhir tadi
berhasil dilakukan dengan cukup baik oleh film ini walaupun harus diakui
kehilangan Christopher McQuarrie di
bangku sutradara serta screenwriter memberikan dampak yang cukup signifikan.
Yang cukup mengejutkan adalah ketimbang mencoba mendorong lebih jauh kesan
tough-guy yang telah Jack Reacher
miliki di sini Edward Zwick bersama
dengan Richard Wenk dan juga Marshall Herskovitz mencoba mengambil
resiko yang cukup berani, mereka menjaga pesona tangguh yang telah Reacher
miliki namun ikut mencoba menyuntikkan kesan hangat dan lembut ke dalam pesona
yang ia miliki tersebut. Pada awalnya terasa canggung memang terlebih street-fighter yang buas itu juga
seperti coba dikaitkan dengan sebuah romance
relationship, namun kombinasi hal-hal tadi justru berhasil memberikan
“rasa” yang cukup segar bagi petualangan Jack Reacher.
Jack
Reacher: Never Go Back bukan sebuah kelanjutan yang jauh
lebih baik dari pendahulunya, di beberapa bagian it falls a bit short, namun dengan menggunakan formula action
klasik yaitu coming and run yang
dikombinasikan bersama plot lurus tanpa berisikan banyak kerumitan, mengikuti
Reacher berpetualang di sini terasa cukup menyenangkan. Chasing hingga fistfight,
mereka kembali hadir di sini bersama dengan berbagai minus klasik dari film
action seperti karakter yang unsympathetic
serta cerita yang tipis. Berbicara tentang cerita ‘Jack Reacher: Never Go Back’ seperti tidak mencoba memberikan
banyak tanggung jawab yang harus dilakukan oleh Reacher, sutradara dan writer
seperti mencoba mengembangkan “dunia” milik Reacher secara low key, mencoba menciptakan hit hanya pada elemen besar.
Sejak berangkat dari
sinopsis ‘Jack Reacher: Never Go Back’
mencoba untuk tampak cool not in a cool
way, menariknya pada akhirnya ia terasa cukup cool. Terdapat berbagai momen
yang mungkin akan terasa absurd
seperti adegan di dalam pesawat terbang itu, tapi mereka tidak merusak “appeal” yang film ini coba bangun sejak
awal. Kesuksesan terbesar Edward Zwick
di sini tentu saja mampu menciptakan kesan segar terhadap pesona yang dimiliki
karakter Jack Reacher, energi yang ia tampilkan memang masih terasa sedikit lacking serta tidak terasa meyakinkan
tapi aksi flee, flee, and flee yang
ia lakukan bersama Turner terasa mengalir dengan baik. Staging yang dimiliki
oleh ‘Jack Reacher: Never Go Back’
memang tidak terasa bersih tapi cukup mampu untuk mempertahankan rhythm
sehingga cerita tidak terasa stuck dan
menjengkelkan. Berbagai kejutan memang terasa terlalu biasa dan basi namun
tidak pernah muncul rasa monoton sekalipun itu pada momen yang dipenuhi dengan
rasa canggung.
Ya, canggung, itu satu
dari beberapa masalah yang cukup menonjol dari Jack Reacher: Never Go Back. Seperti yang disebutkan tadi ini
terasa cool tapi cara yang ia gunakan
tidak semuanya cool. Cerita memiliki beberapa momen canggung, di antaranya
terasa cringeworthy meskipun tidak terasa mati, baik itu dari hal terkait romance relationship maupun terkait masalah paternity, alasan utama eksistensi karakter Samantha di dalam
cerita. Masalah paternity sendiri
memberikan dampak positif pada war
machines kita dengan membuatnya berada pada mode melindungi Samantha
meskipun tidak bersifat full go dan
terasa semu. Masalah lain yang dimiliki film ini juga berasal dari cerita yang
sejak awal tidak malu menjadi predictable
itu, yaitu fokus yang tidak padat, hal tersebut tidak hanya berasal dari
Reacher dan dua wanita di sampingnya saja namun juga dari threat yang
dilancarkan oleh villain, harus
diakui mereka terasa ompong di sini.
Untung saja tiga
karakter utama berhasil menciptakan semacam tim yang terasa menarik dan juga
menyenangkan untuk diikuti. You can say
what you want about Cruise namun ketika berbicara tentang charm and charisma meskipun tanpa six-pack abs this guy still nailed it, he's as charismatic as ever, dari
tatapan mata hingga sikap “sombong” yang terasa nakal. Kombinasi yang Cruise
ciptakan bersama dengan dua wanita di sampingnya juga terasa menarik, terutama
dengan Cobie Smulders. Smulders
berhasil membuat Turner menjadi semacam asisten yang tidak hanya membantu
Reacher dalam hal teknis saja namun juga menyeimbangkan energi yang tersimpan
di dalam cerita. Sementara Danika Yarosh mungkin
tidak begitu kuat secara individual namun ketika berkombinasi dengan Cruise ia
berhasil menjalankan tugas yang dimiliki oleh Samantha terkait masalah paternity tadi, aksi mencoba tampak
“cool” yang ia lakukan beberapa juga terasa cukup oke.
Overall, Jack Reacher: Never Go Back adalah film
yang cukup memuaskan. Tidak memiliki villain
yang kuat tidak menghambat upaya film ini untuk mengembangkan pesona dan dunia
milik Jack Reacher, berhasil menjaga
karisma natural karakter utama yang dikombinasikan bersama beberapa materi
klise yang berhasil dikemas secara cukup segar. Plot terasa standar serta fokus
dan pace terkadang terasa dingin, Jack Reacher:
Never Go Back tidak mencoba untuk tampil beda dari formula action thriller pada umumnya namun berhasil mengolah
banalitas tersebut menjadi sebuah old
fashioned action thriller rasa picnic
dengan durasi 118 menit yang terasa efektif dan enjoyable.
0 komentar :
Post a Comment