Nikmatilah hari demi
hari kamu dengan sikap positif seolah kamu akan mati keesokan hari.
Mungkin terdengar aneh dan mengerikan tapi jika diperhatikan secara lebih
mendalam hal tersebut ada benarnya, itu membuat kita untuk tetap berada di
jalur yang benar setiap harinya sehingga segala macam kesalahan yang bersifat
merugikan tidak punya kesempatan untuk hadir dan melukai memori di kehidupanmu.
Hal tersebut merupakan isi dari film ini, sebuah kisah kelam dari masa lalu
“menghantui” yang di tangan auteur asal Spanyol,
Pedro Almodóvar mencoba memadukan present dan past, ditampilkan dalam
staging yang manis dengan sedikit rasa Hitchcock tentu saja berpadu dengan unique style andalannya, Almodóvariano. It’s an affecting melodrama.
Julieta
(Emma Suárez) berencana meninggalkan hiruk-pikuk kota
Madrid dan pindah ke Portugal bersama kekasihnya Lorenzo (Darío Grandinetti), namun rencana tersebut berubah ketika
Julieta bertemu dengan Beatriz (Michelle
Jenner), teman masa kecil dari anak perempuannya Antía (Priscilla Delgado). Berharap untuk dapat bertemu kembali
dengan anak perempuannya itu Julieta memilih bertahan di Madrid dan menyewa
apartement tempat dahulu ia membesarkan Antia. Julieta memutuskan untuk mengisi
jurnal sembari menunggu kabar dari Antia, berkisah tentang kehidupannya selama
ini termasuk ketika ia masih muda (Adriana
Ugarte) dan bertemu dengan pria bernama Xoan
(Daniel Grao).
‘Julieta’
dibuka dengan sangat vivid, sebuah frame berisikan lipatan gaun berwarna
merah yang bersinar dia bawah sinar matahari, seolah menjadi sebuah hati yang
secara berirama terus meluas. Itu seperti sebuah “lukisan” pembuka yang
kemudian membawa kamu bertemu dengan Julieta lengkap dengan segala “kesedihan”
yang ia punya. Pedro Almodóvar
mencoba mengeksplorasi rasa sakit di sini dengan tone yang mungkin sedikit
berbeda dengan apa yang penonton kenal dari film yang ia sutradarai sebelumnya,
I'm So Excited, lebih minim humor dan menekan melodrama meskipun kamu akan tetap bertemu dengan beberapa wit yang oke. Dengan sinopsis yang berdasarkan dari tiga
short stories karya Alice Munro film
ini menaruh fokus pada gejolak di dalam kehidupan karakter utamanya, dari
gairah cinta, kehilangan, dan penyesalan yang berujung pada rasa sakit dengan
membawa penonton maju dan mundur menyaksikan Julieta di dua era yang berbeda.
Julieta
sendiri merupakan karakter yang menarik, dia tampak seperti mature woman yang normal tapi ada aura
di mana ia tampak memiliki kutukan di dalam hidupnya. Ketika setup termasuk
penggunaan atmosfir cerita yang oke
itu berhasil dilakukan Almodóvar
kemudian melakukan keahliannya dalam “mengurung” karakter bersama masalah dari
masa lalu. Julieta masih tersangkut
dari jeratan kisah di masa lalunya, kita dibawa untuk mengamati mengapa ia kini
menjadi wanita yang tenang namun tampak dipenuhi rasa sakit atau rasa nyeri
seperti itu, dari emosi, determinasi, hingga sikap pasrah. Ini sebenarnya kisah
yang sederhana tapi Pedro Almodovar
bentuk dengan baik sehingga cerita tadi terus terasa convincing hingga akhir, dan tidak hanya itu karena urutan alur
yang tampak seperti sebuah psychological
thriller dengan sedikit warna dan rasa Hitchcock cara film
ini bergerak sering terasa cukup unpredictable,
perpaduan past and present yang
terintegrasi dengan baik.
Saya suka staging yang Almodovar tampilkan di
sini, tidak hanya sekedar kisah seorang ibu yang sedang mencari anaknya tapi
ada semacam sedikit analisa psikologis, seperti trauma dan rasa bersalah. Almodóvar berhasil membuat mereka
menjadi sebuah kasus yang menarik untuk diamati, perpaduan antara harapan dan
kondisi terjebak oleh masa lalu. Pena dan kertas menjadi media bagi Julieta untuk mengusir “setan” yang
selama ini mengganggunya, di sana ia berusaha untuk lepas agar dapat berbicara
dengan anaknya yang sudah lama tidak dia temui. Ketika kebenaran terungkap di
sana harapan mulai memudar, apakah ia harus menyerah pada godaan atau justru
melawan gelombang besar untuk membayar kesalahan yang pernah ia lakukan.
Terdengar aneh bukan? Ya, namun hal tersebut ditampilkan oleh Almodóvar ke dalam sebuah staging yang indah, tidak mencoba tampil
over-the-top namun menciptakan sebuah
manipulasi emosi yang menyenangkan, menjaga kesan realistic lewat camerawork
untuk membawa dramatisasi konsisten terasa compelling.
Walaupun begitu bukan
berarti Julieta tidak memiliki kekurangan, contohnya cerita yang mungkin akan
terasa klise dan terkadang terkesan terlalu melodramatic
sehingga terasa ironic. Untung saja itu tidak merusak keindahan Julieta secara
keseluruhan apalagi jika kamu telah terbuai dengan pesona dari karakter Julieta
di dua era yang berhasil ditampilkan dengan baik oleh Emma Suárez dan Adriana
Ugarte. Emma Suárez berhasil
membuat karakter Julieta terasa “hidup” di dalam layar, membuatnya karakternya
real enough untuk membuat penonton merasa peduli dengan masalah yang ia hadapi.
Sementara itu Adriana Ugarte mendapat keuntungan dari setup yang diciptakan
oleh Emma Suárez, dan ia dengan baik
menunjukkan bahwa Julieta merupakan wanita yang kuat dan mandiri sejak ia muda
dan bergeser setelah peristiwa naas masuk ke dalam hidupnya. Mereka bermain di
dua era yang berbeda namun mereka berhasil tampil sebagai sebuah kesatuan yaitu
karakter Julieta, dan itu pencapaian yang memikat.
Tanpa kegilaan yang
berlebihan dan murni berisikan gejolak batin seorang wanita yang merindukan
sang anak, Pedro Almodóvar berhasil
membentuk sebuah melodrama yang manis, deeply
moving dengan sesekali menyajikan suspense
yang “normal” namun terasa mencengkeram. Ini character study tentang perasaan bersalah,
dalam struktur narasi yang kompleks mencoba bercerita tentang kesalahan dan
pengampunan lewat sebuah perjuangan dari ibu yang ingin menghapus masa lalu
kelam yang pernah ia lakukan. Bukan sebuah drama yang luar biasa dan bahkan
perlu melakukan rewatching untuk dapat benar-benar menikmatinya, namun ‘Julieta’ punya affecting power yang
besar sehingga ketika melangkah pulang penonton merasa bahwa apa yang baru saja
mereka saksikan merupakan sebuah petualangan emosi yang begitu mumpuni. Segmented.
0 komentar :
Post a Comment