"I'm relentless, I'm like the Terminator."
Setiap kali tahun
berganti salah satu hal yang saya harapkan dari movie experience di tahun yang baru adalah kembali dapat menemukan
dalam jumlah besar film yang mampu “mengejutkan” saya, ibarat menjadi seember
air dingin yang berhasil mengguyur saya di teriknya panas matahari di siang
hari, sebuah film yang terasa segar di tengah berbagai sekuel, remake, reboot, dan tentu saja film-film
superhero. Dari sutradara ‘What We Do
in the Shadows’ and the upcoming ‘Thor: Ragnarok’ please welcome perpaduan
imajinasi, hati, dan anarki berjudul ‘Hunt
for the Wilderpeople’, smart and silly drama comedy. One of the best astounding
movie this year so far, it’ll adds smile on your face when you walk out of the
cinema.
Akibat jiwa pemberontak kelas atas yang ia miliki dan menciptakan masalah bagi banyak orang
seorang Maori boy yatim piatu bernama Ricky
(Julian Dennison) dibawa oleh Paula
(Rachel House) untuk tinggal bersama wanita bernama Bella (Rima Te Wiata) dan suaminya Hec (Sam Neill) di sebuah peternakan terpencil. Usaha auntie Bella
untuk membuat Ricky berubah menjadi anak yang lembut berjalan lancar hingga
suatu saat Ricky harus hanya berada di bawah pengawasan Hec. Ricky memutuskan
untuk melarikan diri ke hutan yang kemudian memaksa Hec untuk mengejarnya. Celakanya
goodbye message yang Ricky tulis
disalahtafsirkan oleh Paula, hal yang memaksa Ricky dan Hec untuk tetap tinggal
di dalam hutan untuk menghindar dari kejaran Paula.
Taika
Waititi membuktikan bahwa kini dia merupakan one of the most exciting filmmakers
dengan kembali mampu menggunakan materi sederhana untuk menciptakan film dengan
efek setelah menonton yang tidak sederhana. Berdasarkan buku berjudul Wild Pork and Watercress karya Barry Crump, Waititi sukses membuat
karakter mencuri perhatian sejak awal, seorang anak dengan gaya hip-hop yang dingin, bibi yang riang,
dan paman yang misterius. Mereka karakter normal secara visual tapi ada pesona
unik yang membuat mereka terasa likable.
Hal tersebut dimanfaatkan dengan baik oleh Waititi untuk menampilkan coming-of-age story dengan tone ringan, menggabungkan comedic yang cute bersama dengan sedikit
tragedy yang sentimental. Tidak, rasa
sentimental itu tidak berlebihan di
sini tapi seperti hanya menyemarakkan kisah Ricky sehingga punya rasa bittersweet untuk menemani berbagai
“kegembiraan” yang sering membuat penonton berada dalam situasi caught off guard itu.
Secara mendetail film asal New Zealand dengan sedikit rasa 'Up' ini bukan drama comedy yang extremely remarkable tapi bergerak di dalam pace yang cepat beserta gags
dan juga one-lines dengan punch yang kuat ini merupakan
petualangan yang sangat menyegarkan. Dalam dua kata ini oddly ridiculous, remaja pemberontak membawa senjata tapi sukses
menarik penonton untuk merasa terikat dengan perjalanannya yang tidak hanya
berisikan aksi konyol saja tapi juga punya emosi dan clarity. Waititi mencampur
humor dengan rasa unik bersama emosi yang heartwarming,
tetap tampil offbeat dan quirky tapi membawa Ricky perlahan
belajar tentang hal sederhana di dalam hidup seperti mengasihi dan mengapresiasi. Pesona terbesar film ini adalah interaksi antara Ricky dengan
Hec dan juga Bella, memang kerap berisikan kekonyolan yang mencoba membuat
penontonnya tertawa tapi di sisi lain kita merasa hangat menyaksikan interaksi
mereka, bersama cinematography dan editing yang manis mengamati mereka
berusaha hidup bersama sebagai sebuah keluarga.
Jika melihat kembali
sinopsis di atas tadi mudah untuk mengatakan bahwa ini kisah yang klise dan
familiar, tapi di tangan Waititi mereka berhasil tetap terasa menyenangkan untuk
diikuti. Tapi bukan berarti film ini tidak punya kelemahan, minus ada tapi
bersifat segmented. Contohnya seperti
humor yang terkadang memang terasa "silly",
di beberapa bagian mereka bahkan hadir di dalam percakapan yang awkward, itu tipe not-for-everyone. Sama halnya dengan sisi drama, irama melankolis
dengan beats rasa indie yang begitu kental, mungkin akan terasa ambigu karena
meskipun sekilas tampak seperti drama tapi ia juga terasa cukup lucu. Tone cerita yang semacam "ketika
drama tampil juga ada komedi, dan ketika komedi tampil juga ada drama" ini
yang membuat ‘Hunt for the Wilderpeople´
terasa segmented, tapi jika kamu
mudah untuk klik dengan tone seperti itu maka rasa segar yang kamu peroleh akan
besar terlebih dengan karakter yang bahkan di dalam diam dan dengan ekspresi
wajah sederhana mampu untuk terasa lucu.
Hal itu juga berkat
divisi cast yang menampilkan karakter mereka dengan baik. Waititi berhasil
mengarahkan cast sehingga mereka mampu mengeluarkan pesona karakter mereka
dengan sangat baik. Julian Dennison
berhasil membuat Ricky sebagai remaja yang merasa terisolasi tapi lucu dan
dapat menampilkan emosi yang ia miliki dengan cara yang menyenangkan. Sam Neill berhasil membuat Hec sebagai “guardian” yang unik bagi Ricky, dalam
kondisi dirundung sedih harus “bermain” menjadi sahabat dan musuh bagi anak
berjiwa gangsta. Chemistry di antara
mereka juga oke, odd couple yang
terasa begitu dinamis. Di samping dua pemeran utama tadi Rima Te Wiata juga berhasil mencuri perhatian ketika ia tampil, big-hearted auntie yang penuh kasih dan
perhatian dan tampak dapat menjadi partner
in crime yang begitu padu bagi Ricky. Rachel
House dan Oscar Kightley juga
berhasil menjadi sidekick yang hilarious.
‘Hunt
for the Wilderpeople’ mengingatkan saya pada salah satu best
astounding movie lainnya di tahun ini, ‘Captain Fantastic’, tampil silly namun
berhasil menyajikan sebuah hiburan yang menghibur secara overall dengan cara yang smart
dan heartwarming. Dari membentuk
cerita, memoles karakter dan mendorong mereka untuk semakin bersinar,
mengarahkan elemen teknis seperti cinematography,
soundtrack, hingga editing, sikap
di storytelling baik dari tone dan energi untuk terus mencoba
mengejutkan penontonnya, going crazy
dengan rasa offbeat tanpa terkesan
berlebihan, memang tidak extremely remarkable
namun sama seperti yang ia lakukan di ‘What We Do in the Shadows’ Taika Waititi kembali berhasil menghadirkan sebuah
kisah sederhana yang extremely freshening.
Film ini membuktikan bahwa Marvel
melakukan sebuah bisnis yang tepat, mereka berhasil mendapatkan salah satu
sutradara yang handal dalam “mewarnai” materi yang dia miliki. Segmented.
konyol dan unik, itu yg ane tangkep. Interaksi antara Hec dan Ricky bgitu catchy. apalagi endingnya.. ugh ditutup dg adegan ala film s
ReplyDeletetiap scene yang di tampilkan sangat memanjakan mata. kayaknya di New Zealand itu begitu damai, tenang, adem.
ReplyDeletefilm nya keren kocak. dari awal saya udah ketawa.
astounding itu maksudnya outstanding ya min
ReplyDelete