Seorang wanita muda
sedang berada dalam bahaya yang kemudian membuat sang ayah terlibat dengan mengotori
tangan miliknya untuk menyelamatkan sang putri, tampak seperti Taken bukan? Konsep muncul masalah lalu
diteruskan dengan aksi kejar berisikan usaha balas dendam seperti ini sudah
sangat familiar, mayoritas yang mencoba melakukannya kerap terjerat penyakit
klise revenge-thriller seperti
terlalu tipis, terlalu lesu, dan terlalu berantakan. ‘Blood Father’ bukan salah satu dari mereka, memberikan kejutan
yang banyak mengingatkan pada impresi yang diberikan ‘Cop Car’ tahun lalu yang berhasil mencuri perhatian lewat
kesederhanaan dan efektifitas yang ia berikan. Warm but nasty, it feels like mad Max doing a ‘Taken’.
Wanita muda bernama Lydia Link (Erin Moriarty) terjerumus di
dalam bisnis kartel narkoba pacarnya, Jonah
(Diego Luna), Lydia kini kecanduan obat-obatan dan menjadi buronan.
Satu-satunya orang yang Lydia anggap mampu menyelamatkannya dari bahaya besar
tersebut adalah sang ayah, John Link (Mel
Gibson), mantan biker gang yang kini mencoba pulih dari kecanduan terhadap
alkohol dengan membuka sebuah salon tattoo.
Celakanya usaha melindungi dan menyembunyikan putrinya dari pencarian polisi
serta para kriminal yang mungkin akan membunuhnya tidak berjalan mudah bagi
mantan narapidana yang sedang berada dalam masa percobaan itu.
Ya, sejak sinopsis ini sudah terasa predictable, Link dan Lydia mencoba
kabur dari kejaran polisi dan kriminal dalam sebuah aksi kejar yang standard dan akan mengingatkan kamu pada
apa yang dilakukan Liam Neeson di ‘Taken’, tapi yang mengejutkan dengan
cerita standar tadi ‘Blood Father’
mampu menjadi sebuah action thriller
yang menghibur. Jean-François Richet
melakukan eksekusi yang efektif sejak menit awal, script yang ditulis oleh Peter Craig dan Andrea Berloff ini dibuka dengan menampilkan kekejaman yang
berhasil menciptakan kesan “nasty”
pada karakter dan cerita. Dan ketika kondisi “mengerikan” itu sudah terbentuk
dengan oke kita kemudian masuk ke dalam hubungan ayah dan anak yang klasik tapi
dikemas dengan menarik. Screenplay
memang tidak selalu berhasil menghindari hal-hal klise dari tipe action
thriller seperti ini tapi cara Jean-François
Richet mengeksploitasi mereka dengan bijak bersama sedikit sentuhan humorous itu menciptakan dan menjaga groove ‘Blood Father’ untuk tetap terasa menarik hingga akhir.
‘Blood
Father’ tetap terasa kicking
hingga akhir karena cerita berada di dalam sebuah lingkaran dengan pace yang terasa cukup padat dan ketat.
Situasi hidup dan mati yang dihadapi John dan Lydia memang tidak begitu “panas”
tapi dengan gerak perlahan kesan “grimy”
yang ia miliki terus tumbuh dengan baik and
keep it alive. Atmosfir yang stylish
itu terasa oke, cara cerita meninggalkan impresi lewat kekerasan yang sadis
juga oke, tapi sumber utama pesona ‘Blood Father’ ada pada pondasi hubungan
antara ayah dan anak. Mereka hidup di dunia yang dipenuhi “crap” tapi keinginan John untuk berubah dan rasa sayangnya pada
Lydia berhasil mengikat atensi, menghasilkan rasa hangat dan lembut meskipun
narasi terus berusaha untuk tampil macho. Dengan durasi 88 menit di beberapa
bagian ‘Blood Father’ memang sempat
terasa sedikit longgar tapi tidak terasa mengganggu terlebih ketika kita
disibukkan dengan usaha tarik dan ulur yang ditampilkan Jean-François Richet pada karakter John.
Dengan cerita yang
terasa cukup tipis alasan lain yang membuat ‘Blood
Father’ tetap terasa cukup fun diikuti adalah cara John “bergembira” di
dalam masalah yang dialami putrinya. John merupakan pria dengan sikap yang
terasa menjengkelkan bukan hanya ketika ia berurusan dengan elemen action saja
tapi juga di elemen drama, ia tampak merasa khawatir terhadap putrinya tapi di sampingnya
juga eksis sikap tidak acuh atau tidak begitu peduli. Itu warna yang cukup
menarik untuk menemani elemen action
yang juga tampil cukup oke, bergerak agresif yang akan mengingatkan penonton
pada Mad Max dipenuhi ledakan dan adu
pacu yang divisualisasikan dengan cukup cermat menggunakan 80s style, mampu menghadirkan aksi kejar yang menghibur serta
membuat penonton peduli pada eksistensi karakter karena konsekuensi yang mengancam
berhasil dipertahankan.
Jean-François
Richet juga patut berterima kasih pada para aktor dan
aktris yang ia miliki, sebagai tim mereka oke dan secara individual beberapa
dari mereka mampu bersinar dengan baik. Erin
Moriarty tampil baik sebagai Lydia, melakukan tindakan yang merugikan diri
sendiri tapi juga menampilkan rasa ingin untuk berubah dan hidup di jalan yang
benar, cara ia menampilkan kepanikan juga cukup oke. Erin Moriarty juga punya chemistry
yang oke dengan bintang utama Blood Father, Mel
Gibson. Gibson membuat John tampak believable sebagai ayah tapi juga
menjaga kesan macho tidak terganaggu emosi dan kehangatan John sebagai seorang
ayah. Karismanya memikat, melakukan balas dendam amarahnya seperti gunung
berapi yang siap meluapkan larva panas, ia tampak keras dan “gila” namun juga
dipenuhi dengan emosi yang cukup mumpuni. Mel
Gibson dan Erin Moriarty juga
dibantu oleh supporting cast yang
juga tampil cukup mumpuni.
Menggunakan basic dari revenge thriller dan menjaga agar semua
materi tampil minimalis meskipun melakukan sedikit push di beberapa bagian
seperti di elemen action, ‘Blood Father’
tidak menyajikan sebuah action thriller
yang mencoba menstimulasi penonton dengan “panas” yang membara, menyandingkan
hal tadi dengan drama yang dikemas dengan padat meskipun sama seperti elemen action dan thriller juga tidak mencapai potensi maksimal. Tapi keputusan Jean-François Richet untuk menjaga
elemen-elemen tadi terasa minimalis
justru membuat film ini terasa intens dan enjoyable,
dari permainan atmosfir yang oke dan pace yang cukup padat, ‘Blood Father’ berhasil menjadi sebuah
kisah ayah dan anak yang nasty dengan
emosi yang mumpuni. Menyenangkan menyaksikan Mel Gibson kembali mampu tampil kick-ass dengan karisma dan pesona
yang oke. Surprisingly a good ride.
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteFilm ini mmg impresif. Saya merasa 'lega' setelah film selesai walaupun om mel tewas.
ReplyDelete