Absen tahun lalu dan
memilih tahun 2016 untuk kembali menyapa penontonnya merupakan sebuah strategi
yang sangat cerdik dari franchise
perpaduan social sci-fi, action, dan horror
‘The Purge’. Tema yang dibawa kali
ini memiliki momen yang sangat pas, pemilihan umum Presiden Amerika Serikat
2016, sejak awal telah begitu panas dengan perdebatan yang melibatkan kekerasan
hingga rasis dari salah satu “badut” yang mencoba maju menjadi kandidat. Dengan
budget yang tidak berbeda jauh dari dua pendahulunya tentu saja mudah bagi The Purge: Election Year untuk kembali
mencetak keuntungan finansial yang besar, namun pertanyaannya adalah bagaimana
kualitas yang film ini hasilkan, masih “sama” saja, lebih jelek, atau lebih
segar dan menarik? Donald Trump will love
this one.
Lolos dari “perayaan”
serupa dua tahun lalu Leo Barnes (Frank
Grillo) kini bekerja sebagai kepala keamanan bagi senator Charlene Roan (Elizabeth Mitchell). Roan
yang mencalonkan diri sebagai presiden tidak suka dan setuju dengan 'the Purge'
yang ia anggap rasis dan berjanji untuk menghapus “ritual” rutin tersebut jika
ia terpilih. Edwidge Owens (Kyle Secor),
anggota the New Founding Fathers yang
juga rival Roan dalam pemilihan Presiden bersedia untuk mempertahankan status quo. Dianggap sebagai ancaman
Roan menjadi sasaran ketika the Purge berlangsung, dengan perlindungan dari
Barnes mencoba melarikan diri dari tim yang ditugaskan untuk menangkap
Roan.
Hal terbaik dari ‘The Purge: Election Year’ adalah
kemampuan sutradara dan screenwriter James DeMonaco dalam memperluas “dunia”
yang telah ia ciptakan di dua film sebelumnya. Tidak buruk adalah kata paling
tepat untuk menggambarkan bagian awal film ini, narasi terasa cukup lincah dan
di sana kita bisa rasakan alur cerita yang berkembang dengan cukup baik dari The Purge: Anarchy. Di bagian awal ‘The Purge: Election Year’ juga berhasil
menciptakan kesan bahwa ia punya materi gemuk yang tampak oke dan ingin ia
eksplorasi dengan tetap mempertahankan rasa provokatif. Hal-hal tersebut
semakin lengkap karena ia juga berhasil membuat penonton klik dengan setting baru yang kini tidak lagi
sebatas invasi sederhana, pertumpahan darah dan aksi kekerasan kini ditemani
dengan berbagai unsur politik. Celakanya grafik franchise The Purge ternyata masih sama saja, semakin rumit penerusnya
maka semakin kecil tingkat kengerian yang dihasilkan.
Sinopsis
oke, konsep cerita masuk akal, dan meskipun konflik terasa lemah bukan berarti
mereka punya potensi di titik nol, yang jadi masalah adalah fokus The Purge: Election Year kini terpecah
menjadi dua. Niat James DeMonaco
memang baik ketika mencoba untuk menampilkan cerita yang lebih “berisi” dan
mencoba berbicara tentang kondisi di dunia nyata tapi koneksi antara hal
tersebut dengan “perayaan” yang jelas masih menjadi daya tarik utama bagi penonton
di sini terasa kurang menarik. Cerita dan “pesta” menciptakan kombinasi yang
kurang nendang, plot terasa seperti berongga dan kurang padat sementara “pesta”
lebih terasa seperti sebuah kebisingan yang menyokong dari belakang. Hal
tersebut tidak hanya membuat konteks awal franchise The Purge tentang “nastiness”
simple namun menyenangkan dengan cara eksploitatif tidak mampu menghasilkan
gema yang mengguncang seperti dua film pertama.
The
Purge: Election Year terasa kurang asyik bukan karena ia
tampil "bodoh," justru stupid menjadi
bagian dari hal menarik di dua film sebelumnya, tapi karena James DeMonaco yang mencoba sedikit
menggerus rasa stupid tapi celakanya
juga ikut menggerus fun. Konflik ‘The Purge: Election Year’ sebenarnya
bukan hanya menarik saja tapi cakupannya juga luas namun James DeMonaco kurang oke dalam mengolah elemen dramatis dengan
elemen eksploitatif. Banyak isu dari politik hingga sosial yang bisa dibakar di
sini namun ketika di awal mencoba bermain serius sayangnya setelah itu ia
bermain dangkal dan terlalu “murah.” Kondisinya mungkin akan lebih baik jika
aksi perlawanan kelas bawah dibentuk lebih menarik dan feel mengancam dari
situasi politik dapat ditampilkan lebih kuat dan menarik, sayangnya itu tidak
terjadi. Situasi catch and run di
sini seperti tidak memiliki konsekuensi besar yang menakutkan, kesan mengerikan
dan situasi yang menegangkan memang ada namun tidak konsisten menekan.
Mencoba membawa
“perayaan” yang ia ciptakan tiga tahun lalu untuk naik satu tingkat sayangnya James DeMonaco justru membawa The Purge kehilangan pesona utamanya
yang semakin memudar. Kali ini menggabungkan kekacauan eksplotatif dengan unsur
politik, revolusi, hingga patriotisme, DeMonaco kurang oke dalam menciptakan
kombinasi dramatis dan anarkis yang terasa klik dan konsisten menarik. Shaky cam bersama kinerja yang akting
yang overacting, ‘The Purge: Election
Year’ memang kembali berhasil menghadirkan sebuah kepanikan yang kali ini
digabung bersama unsur satir terhadap politik dan sosial namun sayangnya tidak
memiliki gema yang kuat dan tingkat kengerian yang sama menariknya seperti dua
film pendahulunya. Segmented.
nonton di mana min? kan di bioskop gak ada :( pengen nonton padahal :(
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete