Apa yang sedang “HOT”
saat ini? Banyak, salah satunya adalah Pokémon Go, permainan AR dengan sistem location-based
di mana para pemainnya harus bergerak untuk menemukan dan kemudian menangkap
pokemon. Nerve tidak mungkin dapat
menemukan timing yang lebih baik dan lebih tepat dibandingkan jadwal rilisnya
yang berada di saat Pokémon Go sedang sangat populer. Menggabungkan konsep ‘Pokémon Go’ bersama sentuhan ‘Periscope’ dan juga beberapa isu sosial
dalam bentuk sebuah petualangan action
techno-thriller yang bergerak cepat, it’s
a “short-handed” cyber thriller.
Venus
"Vee" Delmonico (Emma Roberts) merupakan seorang
wanita pemalu dan “penakut” sehingga jadi terasa aneh bagi teman-temannya
ketika ia memilih bergabung dengan online
reality video game ‘Nerve’
sebagai pemain ketimbang menjadi penonton. Nerve merupakan fenomena online di
mana pemain melakukan apa yang diminta penonton dan jika berhasil maka mendapat
hadiah berupa uang dari penonton. Tantangan pertama Vee adalah untuk mencium
orang asing bernama Ian (Dave Franco),
player level advanced di Nerve, dan dari sana Vee merasakan excitement dan
membentuk partnership dengan Ian. Bersama mereka mencoba menyelesaikan berbagai
tantangan menggiurkan yang celakanya membawa mereka masuk ke dalam situasi
berbahaya.
Sudah banyak film yang
mencoba berbicara tentang sisi buruk dari perkembangan teknologi yang juga
menghasilkan banyak ancaman berbahaya, tapi ide dan konsep yang Nerve bawa bagi
saya merupakan yang paling “segar” sejauh ini. Fyi, ‘Nerve’ di set sebagai sebuah tantangan namun di sisi lain memiliki
taruhan yang sama berbahayanya seperti tantangan yang harus dihadapi player.
Kondisi tersebut berhasil menciptakan tensi yang begitu memikat di bagian awal
cerita, berbagai ide dan isu terkait ugliness dari internet dan online society
berhasil ditampilkan dengan baik oleh duet sutradara Henry Joost dan Ariel
Schulman serta script yang ditulis oleh Jessica
Sharzer yang mengambil dasar dari novel karya Jeanne Ryan. Permainannya quite fun tapi di sisi lain kamu dapat
melihat dan merasakan betapa “kejam” cyberworld
kita sekarang ini, media di mana setiap orang mudah untuk “being awful” satu
sama lain.
Sayangnya konsep yang
keren itu tidak berakhir di posisi akhir yang seharusnya ‘Nerve’ tempati. Seharusnya kondisi di mana pemain menyerahkan “privacy” mereka sebagai alat tukar untuk
sebuah hiburan dapat dimanfaatkan lebih tinggi untuk membuat berbagai isu yang
‘Nerve’ bawa sejak awal lebih
menonjok, sayangnya ini tidak mencoba menjadi sedikit lebih detail. Memang
hasilnya kita mendapat petualangan gerak cepat mengitari kota New York, Joost dan Schulman cukup oke memanfaatkan
dunia internet untuk bukan sekedar menciptakan rasa berbahaya saja tapi juga
membuat penonton seolah merasa berada di samping karakter yang mencoba
menaklukkan bahaya. ‘Feel” itu memang
tidak pernah mati sampai akhir tapi daya tarik cerita perlahan menurun. ‘Nerve’
perlahan kehilangan “keberaniannya” dan mulai bergeser dari awalnya action techno-thriller menjadi high school drama dengan sedikit rasa Disney.
Itu mengapa sejak awal
kamu harus set ekspektasi kamu, sebaiknya jangan terlalu jauh berharap pada
elemen "truth or dare” yang
meskipun terus menguasai layar tapi pesonanya mulai terganggu oleh hubungan antara Vee dan
Ian. Aksi mencuri, semi-nude, hingga
berkendara dengan motor, kita
mendapat berbagai near-death experience
scenes yang intens tapi masalahnya rasa peduli pada karakter semakin lama
semakin terasa biasa. Dampak screenplay
yang repetitif memang dan eksekusi sutradara yang kurang mampu membuat
irama cerita terus dinamis. Pada dasarnya it’s
quite entertaining sampai akhir tapi kombinasi tone cerita kurang terasa menyenangkan, ketika bergerak cepat ini
menghibur namun terasa kurang oke ketika speed
sedikit dikendurkan. Hasilnya kualitas elemen di luar action dan thriller
jadi lemah termasuk isu seperti cyberbullying yang film ini bawa sejak awal.
Nerve banyak
mengingatkan saya pada The Purge,
membawa berbagai isu menarik dalam social science
fiction action horror namun ketika ia berakhir power dari isu tersebut terasa tanggung. Unsur melodrama ‘Nerve’ secara mengejutkan berhasil mencuri
perhatian di babak kedua durasi,
penonton jadi lebih tertarik pada pengkhianatan, persahabatan, hingga cinta,
ketimbang permainan yang jadi jualan utama. Sebenarnya hal tersebut akan terasa
oke seandainya karakter juga masih terasa "kuat" di babak kedua, namun meskipun Emma Roberts dan Dave Franco mampu menciptakan ikatan yang oke pada karakter mereka
tapi basic dari karakter mereka
tipis, Vee dan Ian sejak awal terasa seperti karikatur yang tugasnya sejak awal
membawa kamu bergerak set tantangan menuju set tantangan lainnya. Seandainya
pendekatan terhadap karakter mereka dapat lebih menarik ketimbang menjadi
avatar belaka mungkin penonton dapat bertemu dengan sedikit emosi sehingga
potensi dari berbagai isu di awal dapat berdiri tegap di bagian akhir.
Sederhananya ini akan sangat menghibur jika sejak awal kamu sama sekali tidak menaruh rasa tertarik pada bagaimana
berbagai isu dan ide tentang bahaya internet dan online society diolah dan diselesaikan oleh Nerve. Sayangnya saya menaruh sedikit rasa tertarik pada bagian
tersebut, bertumpu pada thrills yang memikat di awal perlahan bergabung dengan elemen melodrama. Stupid dan konyol bukan masalah mengganggu namun tidak
mampunya ‘Nerve’ mencapai potensi
tinggi yang ia miliki ketika sampai di destinasi akhir terasa sedikit mengecewakan walaupun petualangan yang ia berikan cukup menyenangkan. Mencoba
menyisipkan kritik halus terhadap salah satu sisi dari budaya terkini dengan
menggunakan inhumanity, this action
techno-thriller is quite good enough to observed but never becomes a fully
absorbing journey. Sayang sekali. Segmented. Btw, apakah sudah ada yang menemukan Pikachu?
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteMemang isu tentang bahaya internet nya gak di galih lebih dalam tapi bagi saya film ini tetap menarik tuk ditonton..Perpindahan nada yg semula bikin ketawa berubah menjadi tegang penahan nafas sukses buat saya terpaku sampai film nya berakhir..Hebat :)
ReplyDelete