Saya percaya setiap film maupun karya dalam bentuk apapun punya pesan yang ingin ia sampaikan ketika tampil dan bercerita di hadapan penonton lewat berbagai bentuk, konflik, dan intrik, namun bukan berarti untuk mencapai hal tersebut mereka kemudian tampil “menggurui” dan justru membuat tingkat “kenikmatan” yang dihasilkan terasa biasa bahkan kurang memuaskan. Captain Fantastic berhasil menjadi sebuah drama dan komedi yang memiliki isi menarik, “mengganggu” pikiran penonton, menyampaikan isu heartwarming dan kritis dalam bentuk petualangan yang fun, sebuah satir terhadap kehidupan sosial yang santai tapi serius dan membuat penontonnya teringat pada 'Little Miss Sunshine'. The best captain this year so far.
Di dalam hutan yang
tenang dan indah di Pacific Northwest
pria bernama Ben (Viggo Mortensen)
hidup bersama enam orang anaknya. Cara hidup mereka tetap berpegang teguh pada
nilai-nilai budaya yang kaku sehingga terisolasi dari “dunia” luar yang modern.
Suatu ketika istri Ben yang telah lama sakit meninggal dunia, meskipun dilarang
oleh mertuanya Jack (Frank Langella)
Ben memutuskan untuk menghadiri pemakaman bersama anak-anaknya. Celakanya usaha
untuk “menyelamatkan” ibu yang Ben susun bersama anak-anaknya tidak selalu
berjalan sesuai dengan rencana, mereka seperti “Tarzan” masuk kota dan mulai
“menjelajah” dunia baru.
Datang dengan
ekspektasi yang tidak begitu tinggi menjadi alasan mengapa ‘Captain Fantastic’ bisa terasa begitu nikmat. Ben dan anak-anaknya
merupakan sebuah keluarga hippie intelektual namun menganut pola sikap terbuka
dan saling jujur, sumber dari kemunculan berbagai kejutan. Dari isu sederhana
seperti bunuh diri hingga yang lebih besar seperti revolusi ‘Captain Fantastic’ merupakan drama di mana
kita mengamati karakter yang tampil blak-blakan namun “menghujam” penonton
secara tajam terkait isu sosial, masyarakat yang kini hidup bersama berbagai
hal yang “mengikat” mereka. Warna-warni yang hadir di sana terasa oke, dari
fisika sampai berburu rusa ide Ben terkait kehidupan perlahan membuat kamu
semakin jauh tertarik pada keluarga ini. Berulang kali sentilan yang dihadirkan
‘Captain Fantastic’ berhasil
“menangkap” saya, berbagai isu yang ia tampilkan memang klasik tapi dikemas
secara tajam dan tetap ringan.
Keluarga ini sedang
berduka tapi suasana berduka menghasilkan energi positif terkait hidup dan
kasih. Saya suka film ini mendorong berbagai isu tapi tidak takut menjaga kompleksitas
pertanyaan, membuat penonton terkadang merasa kurang “nyaman” tapi tetap
merangsang kita untuk meresapi apa yang ingin ‘Captain Fantastic’ katakan. Lucu dan “touching”, Matt Ross
membuat narasi mondar-mandir antara isu serius dan ringan dengan cara yang
santai, dari politik, peradaban, hingga membesarkan anak konflik dihadirkan
tanpa manipulasi dan dramatisasi yang berlebihan, dari memberi “contoh” atau
menyajikannya secara implisit, hingga membuatnya sengaja “mentah” untuk
kemudian penonton masak. Dibantu cinematography
yang manis dan musik ala Sigur Ros
yang berpadu dengan humor lembut berbagai isu yang ‘Captain Fantastic’ sajikan pada akhirnya menetap lama di dalam
pikiran penontonnya.
Hal tersebut tidak
lepas dari kemampuan Matt Ross dalam
meracik materi, hangout dengan pendekatan yang tidak terlalu rumit serta busur
dramatis yang oke membuat penonton merasa seolah menjadi karakter lain di dalam
cerita. Isu yang digunakan film ini familiar tapi menarik karena penonton
berinvestasi pada karakter dan cerita. Siapa sangka mengamati berbagai isu
seperti kekerasan terhadap anak, agama, hingga pendidikan bisa terasa santai
seperti ini, dari isu kapitalisme hingga sosialisasi sebagai bagian penting
dari proses bertumbuh. Sounds heavy?
Ya, itu memang isu yang berat namun ‘Captain Fantastic’ sajikan tanpa terkesan
memaksa, ia tidak mencoba tampak megah dan keren tapi hanya ingin membuat
penonton tertarik dan kemudian memikirkan benar dan salah dari isu-isu tadi
sesuai POV mereka masing-masing. Sederhananya ‘Captain Fantastic’ mengarahkan kamu untuk “ayo buat dunia ini
menjadi tempat yang lebih baik dengan menjadi manusia yang lebih baik lagi”, tidak dengan cara “berteriak” keras dan
memaksa.
Dengan berbagai hal
positif tadi sayangnya in the end
bagi saya ‘Captain Fantastic’ bukan
sebuah drama keluarga top notch.
Tidak memiliki dramatisasi yang terasa mengganggu tapi terkadang saya merasa
ini seperti sebuah dongeng terlepas dari begitu manisnya cara isu tentang
humanisme ia sampaikan. Meskipun telah merasa terikat serta cerita terus tumbuh
menarik tapi pesona ‘Captain Fantastic’
sedikit goyah di babak ketiga. Itu minus kecil dan tidak merusak apalagi dengan
kinerja akting yang memikat dari cast. Karakter anak-anak berhasil diperankan
dengan baik oleh George MacKay, Samantha
Isler, Nicholas Hamilton, Shree Crooks, Annalise Basso, dan Charlie Shotwell, Frank Langella serta Ann Dowd juga mampu mencuri atensi, tapi
bintang utamanya adalah Viggo Mortensen.
Such a very good captain, pro dan kontra dari filosofi Ben ia tampilkan dengan
baik, sinis namun lembut Viggo Mortensen
mampu membuat Ben sebagai pria keras kepala namun berhasil menjadi seorang ayah
dengan kasih sayang yang menawan.
Bertumpu pada rasa
tertarik penonton terhadap karakter dan cerita ‘Captain Fantastic’ berhasil menjadi kombinasi suka dan duka yang
menyenangkan untuk diikuti dan diamati. Sebuah “studi” menarik terhadap
karakter dan berbagai isu di dalamnya ‘Captain
Fantastic’ memang tidak sempurna dengan beberapa rasa melodrama di dalamnya
namun di tangan Matt Ross itu tidak merusak wacky trip penuh satir yang
menyenangkan di sisi lainnya. Tampil terbuka dan penuh warna ‘Captain Fantastic’ bukan sebuah permata
yang luar biasa namun mampu mengangkat isu serius dengan cara santai ini
berhasil menjadi sebuah film tentang keluarga yang lucu, hangat, dan memorable. Satu hari menjauh dari Instagram dan iPhone, pergilah camping dan
hirup “udara” yang lebih segar. Segmented.
0 komentar :
Post a Comment