"Keep the team unified and you shall always succeed."
Penggunaan CGI dalam
film blockbuster perlahan mulai sama
seperti basic melody dan tipikal builds up yang digunakan di Electonic Music Dance, all sounds the
same, all feels the same. Pemain di industri harus semakin cermat dalam
menggunakan CGI, mereka harus
menciptakan sebuah gebrakan yang luar biasa dari segi kualitas jika murni ingin
“menjual” CGI, atau melakukan cara sederhana dengan menciptakan kombinasi
antara CGI dan cerita yang saling melengkapi satu sama lain. Dua hal tersebut
kurang berhasil dilakukan dengan baik oleh film ini, Teenage Mutant Ninja Turtles: Out of the Shadows, another forgettable
boom-boom-bang-bang project from the producer of Transformers.
Satu tahun setelah
pertempuran mereka melawan The Shredder
(Brian Tee) dan Eric Sacks, Leonardo
(Pete Ploszek), Raphael (Alan Ritchson), Michelangelo (Noel Fisher), dan Donatello (Jeremy Howard) masih
menyembunyikan identitas asli mereka dan mempersilahkan Vern Fenwick (Will Arnett) untuk mengambil kredit atas kesuksesan
yang mereka raih. The Shredder ternyata sedang menyusun rencana untuk lepas
dari tahanan pemerintah, dibantu ilmuwan Dr.
Baxter Stockman (Tyler Perry) proses transfer antar penjara yang dikomandoi
prison officer Casey Jones (Stephen
Amell) ia gunakan untuk mewujudkan rencananya tersebut. Celakanya ketika
TMNT mencoba menghalangi rencana tersebut proses teleportasi yang dilakukan
oleh Stockman membawa Shredder bertemu dengan panglima perang alien, Krang (Brad Garrett).
First of all, review
ini akan dinilai dari sudut pandang penonton dewasa. Mengapa? Karena dua tahun
lalu ketika selesai menyaksikan Teenage Mutant Ninja Turtles ada seorang rekan yang berujar bahwa film tersebut
dibuat untuk anak-anak bahkan untuk penonton usia dini. No, itu gila, meskipun
PG-rated film tersebut tidak memenuhi standar film keluarga yang ramah. Hal
tersebut kembali terjadi di Teenage
Mutant Ninja Turtles: Out of the Shadows, ketika di bagian awal kita sudah
dibawa untuk menyaksikan sex appeal Megan
Fox lengkap dengan pakaian sekolah ala Jepang, dari sana penonton paham di
mana target utama yang diincar oleh film ini. Sayangnya meskipun menetapkan
target dengan begitu meyakinkan sayangnya film ini tidak tampil sama
meyakinkannya ketika membawa penontonnya bergembira bersama, memanfaatkan
karakter untuk menyajikan berbagai aksi gila tanpa diiringi konsistensi daya
tarik yang mumpuni.
Itu alasan mengapa di
awal saya menyebut ini sebagai kemasan terbaru yang akan begitu mudah
terlupakan, karena seperti film pertama di mana TMNT di bawa berseluncur di
gunung bersalju jika seminggu lagi mencoba mengingat kembali tentang TMNT 2
maka saya hanya akan bisa menjawab adegan berseluncur di udara. Selebihnya?
Sebuah paket action-adventure yang miskin pesona dan jiwa meskipun memiliki ide
yang menarik. Isu tentang proses menerima dan upaya meruntuhkan perbedaan
antara TMNT dan manusia itu sebenarnya punya potensi besar, tapi sayangnya
ketimbang dimanfaatkan itu hanya jadi pemanis yang terlupakan karena sutradara
Dave Green (Earth to Echo) serta writer Josh Appelbaum dan André Nemec lebih fokus pada
bagaimana membentuk berbagai set di mana akan digunakan untuk membuat penonton
terpukau lewat tampilan visual.
Saya bukan kelas hardcore ketika berbicara sumber utama
materi film ini, comic book Teenage
Mutant Ninja Turtles, namun sepertinya akan lebih menarik jika busur cerita
dikembangkan sedikit lebih jauh saja sehingga TMNT: Out of the Shadows punya
kepentingan yang menarik yang eksis di pusat cerita. Secara kualitas sinopsis standar tapi cerita terasa
sedikit lebih menarik dari film pertama, karakter juga masing-masing punya
momen yang menarik, tapi TMNT: Out of the Shadows tidak berhasil membentuk
setup yang kuat untuk menopang berbagai ide yang ia punya, proses penerimaan,
dendam pribadi, adegan kejar-kejaran, mondar - mandir bersama Krang, hingga hal
sepele semakin teamwork, mereka perlahan semakin terasa kurang menarik akibat tidak
dirakit dengan irama yang pas. Di jaman ketika CGI perlahan menjadi sesuatu
yang normal diterapkan dalam hiburan visual sepenuhnya mengandalkan CGI yang
hadir tanpa gebrakan luar biasa untuk terus hidup bukan sebuah kebijakan yang
sehat, hal yang dilakukan oleh film ini.
Lantas apakah TMNT: Out
of the Shadows adalah sebuah hiburan yang buruk? Tidak, tapi jika dibandingkan
dengan ini tidak memberikan sebuah lompatan besar dari kualitas film
pertamanya. Jika kamu penonton yang mudah dipuaskan oleh CGI maka film ini akan
menjadi kue yang sangat nikmat, TMNT: Out of the Shadows tidak pernah terasa
“mati” hingga akhir berkat kualitas motion capture serta CGI yang mengesankan,
interaksi antara karakter animasi kura-kura (mereka bukan penyu?) dengan
karakter manusia dieksekusi dengan
baik, meskipun sayangnya karakter manusia terasa datar, hanya Laura Linney dan Stephen Amell (Arrow) yang tampil mumpuni. Dialog juga punya peran
mengapa pesona karakter tidak maksimal, mereka tumpul, bahkan sulit untuk
merasakan sebuah ancaman serius dan berbahaya dari karakter antagonis, sebuah
proses merakit yang dilakukan Krang tidak pernah mampu mengintimidasi.
Membawa berbagai topik
yang menarik untuk menyokong tujuan utama mereka yang masih sama yaitu
menyajikan pesta visual gerak cepat, Teenage
Mutant Ninja Turtles: Out of the Shadows terasa terlalu biasa, kemasan boom-boom-bang-bang yang kurang mampu
meninggalkan impresi yang kuat dan membekas, sama seperti film pertamanya.
Ketika menyajikan momen lucu TMNT: Out of the Shadows tampil tidak terlalu
buruk, namun ketika ia mencoba mendorong materi yang lebih serius sebagai
penyeimbang kombinasi yang tercipta terasa kaku. Tidak segar, terlalu
terburu-buru, kerap kali terasa canggung, Teenage
Mutant Ninja Turtles: Out of the Shadows gagal memaksimalkan potensi yang
ia miliki untuk membawa waralaba ini
naik satu tingkat lebih tinggi. Segmented.
Cowritten with rory pinem
0 komentar :
Post a Comment