Ketika premier di 2016 Sundance Film Festival ‘Swiss Army Man’ berhasil menjadi salah
satu film yang mencuri perhatian karena cerita yang ia bawa mengandalkan salah
satu hal yang lekat dengan stigma
negatif di banyak budaya, yaitu kentut. Tidak hanya itu, karena kentut tadi
tidak hadir dari manusia melainkan dari mayat hidup, farting corpse yang menjadi multipurporse tool. Tidak heran respon
yang ia peroleh mixed karena dengan
mencoba menggabungkan fantasi gila ala Michel
Gondry yang bergerak seperti sebuah petualangan abstrak dengan gaya Stephen Chow ini tipe “not for everyone” movie, hit or miss. Swiss Army Man bukan film terbaik di
tahun 2016, but this wild, weird, and
wacky fantasy adventure is one to be remembered movie this year. I can hear Lord Voldemort laughing out loud.
Hank
(Paul Dano) terdampar di sebuah pulau dan sedang
mempersiapkan usaha bunuh diri. Namun ketika hendak mengeksekusi rencananya
tadi Hank melihat tubuh terdampar di tepi pantai. Tubuh itu merupakan mayat
hidup yang hanya bisa merespon dengan kentut. Hank kemudian menamainya Manny (Daniel Radcliffe), persahabatan
di antara mereka mulai terbangun ketika mencoba mencari jalan pulang. Namun
ketika Hank mencoba “menghidupkan” kembali Manny ia menyadari bahwa Manny bukan
mayat hidup biasa yang hanya bisa kentut, terdapat banyak kekuatan gaib dan
gila yang tersimpan di dalam tubuh Manny.
Sulit untuk menaruh
film ini di kategori apa karena di debut
fitur layar lebar mereka ini sutradara Daniel
Scheinert dan Daniel Kwan seperti
mencoba menggambarkan banyak hal yang mereka campur ke dalam sebuah kemasan
yang tampil dengan gaya antic sejak
awal hingga akhir. Ambisi semacam ini begitu mudah tersandung dan jatuh menjadi
hiburan yang menjengkelkan dan Swiss Army
Man semakin riskan karena apa yang ia coba tampilkan di sini berputar-putar
di sebuah pusat yang unik, yaitu kentut. Kentut, kentut, dan kentut, di bagian
awal penonton terus dibombardir dengan kentut karena ia berusaha membuat kita
menertawakan Hank dan Manny. Itu berhasil, jika bicara kuantitas tawa maka Swiss Army Man salah satu film yang
berada di top spot di tahun ini,
namun uniknya adalah ketika kita mulai menilai ini sebagai kemasan yang dangkal
dan standar ia kemudian akan membawa kamu bergerak menuju bagian yang tidak
kalah mengejutkan lainnya, yaitu drama.
Swiss
Army Man adalah fantasi penuh imajinasi liar dan gila yang
dikemas dalam bentuk sebuah petualangan mencari jalan pulang, tapi Daniel Scheinert dan Daniel Kwan ternyata juga mencoba turun
ke ranah lainnya yaitu drama. Terdapat berbagai hal yang coba film ini katakan
kepada penontonnya, mayoritas merupakan isu familiar di kehidupan yang
ditampilkan secara ringan. Cara mereka menangani materi seperti kemampuan
manusia untuk mengatasi segala rintangan terasa ringan dan tulus, Swiss Army Man tampak konyol tapi ia
mampu menghadirkan koneksi emosi yang menarik antara penonton dengan dua
karakter utama, satu orang hidup, satu orang setengah hidup yang tidak berhenti
kentut. Saya suka cara film ini berbicara tentang something serious dengan membuat penontonnya bergembira, ia punya
agenda yang tampil tajam dan mencuri perhatian di tengah mondar-mandir penuh
absurditas yang bergerak cepat itu, penuh lelucon gila namun menampilkan kisah
tentang cinta, identitas diri, persahabatan, dan harapan dengan manis.
Namun mengapa respon yang didapat film ini mixed? Hampir secara keseluruhan film
ini bermain di nada yang playful dan
konyol, dari menampilkan seorang pria yang depresi tapi menolak untuk
masturbasi, air minum dan muntah, kentut dan jet-ski, hingga kompas, itu sedikit dari banyak hal konyol yang
film ini berikan. Levelnya memang berlebihan dan wajar tidak semua orang dapat
menerimanya, tapi meskipun awalnya canggung pesona yang Swiss Army Man hadirkan begitu cepat mengikat atensi, kamu dibuat
penasaran pada hal gila macam apa lagi yang akan hadir selanjutnya. Dan
walaupun terus meledak konflik dan lelucon film ini tidak melayang-layang,
mereka punya daya cengkeram yang
baik. Ada satu cara mudah untuk menekan bahkan menghilangkan rasa jengkel
terhadap film ini, bayangkan saja pulau tersebut merupakan metafora dari pikiran Hank yang di awal kita tahu ingin mengakhiri
hidupnya dan tiba-tiba Manny muncul untuk membawanya kembali ke jalan yang
benar. Yeah, sounds crazy.
Selain kemampuan Daniel Scheinert dan Daniel Kwan merangkai semua fantasi gila
mereka dengan baik ‘Swiss Army Man’
juga banyak diuntungkan dan kinerja dua pemeran utamanya. Paul Dano dan Daniel
Radcliffe seperti kombinasi peanut
butter and jelly, chemistry di antara mereka adalah alasan
mengapa berbagai hal konyol dan gila di film ini mayoritas dari mereka mampu
mencapai sasaran. Paul Dano tampil
meyakinkan sebagai manusia yang berjuang untuk bertahan hidup dan perlahan
kembali menemukan arah, dan Daniel
Radcliffe tampil memikat sebagai mayat hidup dengan gerak terbatas,
kekakuan yang ditampilkan terasa meyakinkan, ia mampu menjaga rasa aneh tapi
terus membangun pesona menyenangkan dari Manny. Visual dan sinematografi dengan
gaya antic juga punya peran penting,
kesan artistik dan eksperimental jadi terasa kental. Saya juga suka dengan score, kerap menjadi penyeimbang yang pas
bagi gerak cerita yang liar.
Swiss
Army Man merupakan kumpulan ide, fantasi, dan imajinasi
konyol dan gila yang dikemas dengan percaya diri, alasan mengapa ia terasa
manis dan menyegarkan. Berawal dari sinopsis konyol berupa film tentang mayat
hidup yang tidak berhenti kentut perlahan kamu akan dibawa kedalam sebuah
petualangan tentang hidup bersama berbagai pertanyaan retoris simple namun
tetap dengan kegembiraan gerak cepat yang absurd
namun memikat. Ditunjang dengan pengarahan yang oke, elemen teknis yang
tepat guna, script dan kinerja cast yang penuh komitmen, semakin jauh
ia berjalan maka semakin "aneh" Swiss Army
Man terasa, namun semakin "aneh" ia terasa semakin besar pula pesona yang Swiss Army Man hasilkan. Just like a wild rollercoaster not everyone
will enjoy this one. Segmented.
Thanks to rory pinem
0 komentar :
Post a Comment