"How much do you love her, on a scale of 1 to 15?"
Tentu saja kamu akan
menemukan berbagai jawaban yang beragam ketika menanyakan apa arti dari cinta
pada setiap orang yang kamu temui. Hal tersebut lahir dari konsep terhadap
cinta yang tidak sama pada setiap manusia, ada mereka yang percaya menikah itu
karena sudah saling mencintai, ada mereka yang percaya saling mencintai itu
karena sudah menikah, dan lain sebagainya. Konsep tentang cinta itu yang coba
digambarkan oleh The Lobster dengan
menggunakan sebuah visi yang aneh bahkan mungkin gila: bagaimana jika suatu
saat nanti orang dewasa diwajibkan tidak melajang, harus menemukan pasangan
mereka dalam kurun waktu 45 hari, bagi mereka yang gagal dan masih melajang
akan berubah menjadi binatang. Sounds
crazy? Yeah, it’s a crazy play about life and love.
Di masa depan orang
dewasa hanya diperbolehkan melajang selama 45 hari, harus menemukan pasangan
hidup yang cocok jika tidak ingin berubah menjadi binatang. David (Colin Farrell), arsitek yang
ditinggalkan oleh istrinya dipaksa masuk kedalam sebuah “hotel” penuh aturan
aneh dan unik untuk menemukan pasangan. Di sana David mencoba berteman dengan
rekan barunya (John C. Reilly dan Ben Whishaw) serta seorang Heartless Woman (Angeliki Papoulia).
Suatu ketika David melarikan diri ke hutan dimana ia menemukan dan kemudian
bergabung dengan the Loners. Di bawah pimpinan Loner Leader (Léa Seydoux) anggota the Loners tidak diijinkan untuk menjalin hubungan asmara dengan
anggota the Loners lainnya. Masalah muncul karena di the Loners David menemukan
sosok yang ia anggap sempurna baginya, Short
Sighted Woman (Rachel Weisz).
Salah satu hal menarik
dari menonton film adalah ketika sebuah film dapat membuat kita para
penontonnya terkejut dengan sajian yang ia tampilkan. Hal tersebut berhasil
dilakukan dengan sangat baik oleh The
Lobster, karya berbahasa English dari sutradara asal Yunani Yorgos Lanthimos (Dogtooth). Jika di
‘Dogtooth’ Lanthimos menggunakan keluarga gila yang diisolasi dari lingkungan
luar kali ini ia kembali menghadirkan sebuah “penjara” dalam ukuran yang lebih
luas namun sama gilanya. Isinya masih berupa sebuah mimpi buruk yang aneh namun
lagi-lagi berangkat dari keunikan penuh kesan absurd Lanthimos berhasil
meninggalkan sebuah impresi yang kuat ketika filmnya berakhir. Saya suka cara
Lanthimos bercerita tentang cinta di ‘The
Lobster’, sebuah refleksi terhadap masyarakat modern dengan cara
mengeksplorasi kondisi manusia yang diisolasi bersama ekstremitas menganggu,
sebuah kisah tentang cinta yang terasa manis walaupun terus menerus bermain
dengan balutan black comedy yang
aneh.
Ya, "aneh"
menjadi kata yang pantas digunakan untuk menggambarkan The Lobster, sesuatu yang memang ingin dicapai sejak awal oleh
Lanthimos. The Lobster berhasil
menjadi kisah cinta yang tidak biasa karena sejak sinopsis hingga akhir ia memang sengaja mempermainkan karakter
dengan menggunakan cinta. Ini adalah comedy
drama absurd yang licik, melemparkan karakter dengan karakterisasi yang oke
untuk bermain-main dengan kata-kata dan menciptakan kesan robotic tapi di sisi lain kamu dapat merasakan emosi yang terpancar
dari setiap ekspresi dan tatapan mata mereka. Dengan premis yang potensial
menarik mendapati Lanthimos memilih nada dingin di sepanjang durasi The Lobster, proses mengamati dengan
pendekatan naturalistik untuk mempelajari isi hati dari manusia. Meskipun
dipenuhi dengan wajah-wajah seolah “kosong” kamu bisa menemukan api dan gairah
cinta dari sajian yang asam dan lucu ini dengan mudah di dalam kisah penuh
liku-liku tak terduga ini.
Benar, itu salah satu
hal menarik dari The Lobster,
kejutan, sehingga walaupun kamu seperti terhipnotis bersama kisah yang aneh dan
absurd kamu tidak pernah tenggelam terlalu dalam dan merasa monoton. Skenario
yang ditulis Lanthimos bersama Efthymis
Filippou memiliki bangunan setup yang oke untuk menghadirkan berbagai
kejutan tadi, dari menemukan pasangan sebelum 45 hari namun dilarang melakukan
aksi romantic hingga berbagai hewan yang berkeliaran di hutan sebagai
perwujudan sebuah kegagalan, selalu muncul kejutan tanpa menimbulkan
"kehebohan" di kisah yang mencoba membedah konsep tentang cinta ini.
Narasi ambigu dan setup serta humor yang absurd, dari sana The Lobster berbicara tentang cinta lebih baik dari film-film romance standar pada umumnya, sebuah
misteri dari perasaan manusia yang tidak dapat didefinisikan dan dikendalikan
dengan mudah.
‘The
Lobster’ merupakan sebuah komedi tragedi yang ingin
berbicara banyak hal tentang cinta, hal yang berhasil Yorgos Lanthimos capai dengan manis. Mengeksplorasi arti cinta dan
persahabatan dengan menggunakan obsesi, heart, kontrol, hingga hirarki dengan
pendekatan yang aneh dan absurd,
dibentuk dengan rapi dan terkendali, The
Lobster merupakan sebuah kisah thought-provoking tentang hubungan sosial yang tampak sederhana namun tidak sepenuhnya sederhana, sebuah romantic comedy yang melemparkan banyak potongan menarik yang kemudian akan penonton susun
menjadi sebuah pelajaran tentang menjadi manusia yang nikmat dan menetap lama
di dalam pikiran mereka. It’s a crazy
play about life and love. Segmented.
Cowritten with rorypnm
0 komentar :
Post a Comment