Jika kamu tanya Google berapa banyak film Tarzan yang telah diproduksi maka kamu
akan menemukan jumlah yang terhitung besar, dari fitur layar lebar, film animasi,
hingga parodi. Pertanyaannya bukan apakah penting atau tidak untuk memproduksi
kembali film pahlawan hutan yang dibesarkan oleh para kera yang sudah dilakukan
berulang kali namun apakah produk yang dihasilkan tersebut mampu memberikan
penonton pengalaman berpetualang bersama Tarzan yang terasa menyenangkan. Ya,
sesederhana itu. The Legend of Tarzan,
the most recent edition of the apeman adventure with hazy and gloomy swing.
Tumbuh dan berkembang
di bawah asuhan Mangani dan para kera
lainnya, Tarzan (Alexander Skarsgård)
telah lama meninggalkan hutan Afrika dan kini hidup sebagai aristocrat di
London dengan nama John Clayton III.
Suatu ketika Tarzan diundang kembali Congo
Free State sebagai utusan dagang dari House
of Commons, namun celakanya Tarzan yang datang bersama istrinya, Jane Porter (Margot Robbie) tidak
menyadari bahwa mereka menjadi “alat” dari sebuah rencana jahat yang didalangi
oleh koruptor asal Belgia bernama Captain
Léon Rom (Christoph Waltz).
Hal paling impresif di The Legend of Tarzan berasal dari
keputusan David Yates dan dua penulis
naskah Adam Cozad serta Craig Brewer untuk tidak menaruh fokus
terlalu besar pada proses tumbuh dan berkembangnya Tarzan di hutan. Tarzan kini merupakan seorang gentleman yang kemudian harus kembali ke hutan dan menyelesaikan
masalah yang menghampirinya. Penyesuaian pada cerita itu menghasilkan narasi
yang terasa fresh di awal, alur
cerita dibuat standar dan fokus kini diarahkan pada bagaimana agar rasa percaya
diri dan tentu saja rasa cinta dari Tarzan dapat menginspirasi penontonnya. The Legend of Tarzan juga seolah membawa
banyak misi, dari tragedi, menggambarkan fenomena budaya, menghidupkan fantasi
anak-anak, hingga usaha tampil dengan rasa blockbuster.
Sayangnya berbagai tujuan tadi tidak menghasilkan kombinasi yang oke.
Setup di bagian awal
cukup menarik, keputusan David Yates
untuk tidak menghabiskan banyak waktu membentuk kembali dasar cerita asal
membuat bagian awal terasa oke. Tapi masalahnya presentasi setelah itu ternyata
tidak membawa karakter dan cerita bergerak maju dengan menarik pula. Hampir
setengah durasi dihabiskan bagi Tarzan untuk membangun kembali dirinya,
mondar-mandir sedikit berlebihan untuk membangun backstory bagi Tarzan. Tidak masalah jika hasilnya oke tapi di sini
cerita justru terasa semakin berbelit-belit dan apa yang ingin dicapai oleh The Legend of Tarzan perlahan terasa
tidak jelas. Konflik dengan nada politik, peperangan, ketika mereka stuck maka
hadirkan hal klise dengan kasus penculikan dan usaha menyelamatkan. Hal-hal yang
coba Adam Cozar dan Craig Brewer sampaikan seperti di atas
tadi perlahan mati dan menghilang, menjelang masuk ke paruh kedua cerita
ketegangan di narasi terasa murung dan suram, yang tersisa hanya Alexander Skarsgård bertelanjang dada.
Dari sana saya mulai
sadar mengapa bagian awal terasa oke karena masalah yang berasal dari usaha
membangun karakterisasi Tarzan tidak
ditumpuk di awal melainkan diurai sepanjang cerita. Alhasil plot terasa sibuk
dan sesak, berbagai ide yang ia bawa tadi tidak punya kesempatan untuk mencuri
atensi penonton. Seperti sadar dengan hal tersebut David Yates kemudian mencoba mempertahankan nafas The
Legend of Tarzan dengan menggunakan elemen action. Harus diakui beberapa
dari elemen action terasa oke, dari
peluru hingga aksi akrobat, tapi kehadiran mereka terasa terlambat dan tidak
menghasilkan dampak yang besar pada daya tarik cerita yang sudah berubah dari
nasi hangat menjadi bubur yang terlalu encer. Akibatnya kombinasi cerita dan
elemen action yang tidak banyak yang terasa nendang tadi membuat The Legend of Tarzan terasa menggantung
tanpa urgensi.
Ya, The Legend of Tarzan memiliki banyak
kekurangan tapi yang paling menjengkelkan dari itu semua adalah bagaimana ia
tampil tanpa menghadirkan semangat yang tajam dan mengesankan. Tidak peduli
seberapa standar cerita, karakter, dan eksekusi yang penonton inginkan dari
Tarzan adalah sebuah petualangan di hutan dengan thrill yang konsisten tampil
menyenangkan. Hal penting itu coba ditampilkan oleh David Yates tapi saya lebih suka menghitungnya sebagai absen.
Penilaian yang berbeda ada pada elemen teknis, kualitasnya seimbang. Saya suka
dengan sinematografi dan score,
mereka cukup manis, CGI juga cukup
oke. Tidak ada yang benar-benar bombastis di sini tapi film ini punya beberapa
eksekusi teknologi motion capture
yang oke. Pernah menangani beberapa film ‘Harry
Potter’ David Yates oke dalam menciptakan tampilan dan urutan dengan visual effect yang besar meskipun
mayoritas dari mereka tidak banyak membantu daya tarik serta pesona dari
karakter dan cerita.
Jika menilik kualitas
cerita para aktor dan aktris seharusnya mampu untuk setidaknya menjaga rasa
antusias penonton pada karakter dan cerita. Ya pada karakter namun tidak pada
cerita. Alexander Skarsgård tidak
tampil buruk tapi tanpa dibantu dengan urgensi yang menarik pesona dari kesan
misterius yang ia bangun bersama sex appeal dengan kesan primitif yang liar
tidak bertahan lama sejak cerita berangkat dari sinopsis. Alexander Skarsgård juga sering kecolongan karakter pendukung yang
ditampilkan dengan baik oleh para pemerannya. Christoph Waltz adalah ahli dalam memerankan karakter penjahat
utama dan meskipun tidak kuat kesan sombong dan creepy dari Léon Rom tidak buruk. Saya tidak punya
keluhan terhadap Margot Robbie, sebagai penyeimbang ia membuat Jane sebagai damsel-in-distress yang sensual dan
berani, sex appeal miliknya membuat Suicide Squad semakin menarik untuk
dinantikan. Yang mengejutkan adalah Samuel
L. Jackson (George Washington Williams), mampu menjadi sidekick yang aneh
dan menyenangkan.
Kisah Tarzan di dalam hutan seharusnya menjadi
sebuah petualangan besar yang mendebarkan. David
Yates memang mencoba untuk menghadirkan hal tersebut dengan menampilkan
beberapa elemen drama dan mencampur usaha menjadi blockbuster dengan nada cerita yang sedikit serius. Namun meskipun
oke dan tampak menjanjikan di bagian awal The
Legend of Tarzan tidak tumbuh menjadi petualangan yang semakin menyenangkan
justru semakin suram dan tampak kabur. The
Legend of Tarzan memang mampu menghadirkan kehebohan tapi kurang mampu
untuk terasa benar-benar nendang, ini seperti hanya mengapung di danau tenang
bukan bermain arung jeram di sungai dengan track
yang menantang. 'The Legend of Tarzan'
adalah film Tarzan yang “pincang” tanpa teriakan yang menawan. Dibandingkan dengan The Jungle Book? Sebaiknya jangan.
Thanks to rorypnm
Setuju. Harusnya film ini berjudul "The Legend of Tarzan and Friends" soalnya tanpa para "friends", kita akan mati bosan dengan flatnya karakter tarzan. Film ini punya potensi besar mengingat ada margot robbie serta Tarantino's favorites (Chris Waltz dan Samuel Jackson) namun "dibunuh" oleh cerita yang lemah dan karakter tokoh utama yang flat dan suram :(
ReplyDeleteFilm Tarzan emang banyak min. Ada satu yang lupa...film XXX nya juga ada. :D
ReplyDeleteHush. Itu klasik.:)
DeleteJungle book lah bagus bgt... rudy habibie min hehehe
DeleteWahhh... padahal ekspektasi udh tinggi.. hmmmm semoga nd semengecewakan independence y hohoho
ReplyDeleteRudy Habibie kalau oke reviewnya hari selasa. :)
DeleteReview film yg selalu update, sering nonton di bioskop nih kayaknya. Tapi knp gak buat fb page :(
ReplyDeleteMasih belum tertarik untuk kembali bermain di sana. :)
DeleteTarzan jelekkah.... hadehhh... padahal dah mau buang uang....
ReplyDeletebagus ko.. bru bs menilai kl sdh nonton sndiri..
DeletePenceritaan The Legend of Tarzan mirip dengan Man of Steel dan akhirnya sama kurang gregetnya.
ReplyDeletePadahal adegan aksinya cukup menyenangkan untuk dilihat.