"We're not who the world thinks we are."
Ia memang merupakan
sosok di balik salah satu film romance paling populer sepanjang masa, Pretty Woman, namun tiga film terakhir
dari Garry Marshall bukan sebuah
prestasi dengan pencapaian yang oke. Yang menarik adalah dua film terakhirnya
selalu mengambil tema hari special, tahun 2010 Valentine's Day dan tahun 2011 New
Year's Eve, keduanya merupakan film yang hambar untuk mengisi dua hari
special tadi. Lima tahun istirahat kali ini Garry Marshall kembali dengan hari
special lainnya, Mother's Day, film
yang seolah meneruskan baton dari dua film Garry sebelumnya tadi.
Sandy
(Jennifer Aniston) merupakan seorang ibu dengan dua orang
anak, harus menghadapi kenyataan bahwa mantan suaminya kini telah menikah lagi
dengan wanita yang lebih menarik darinya. Jesse
(Kate Hudson) dan Gabi (Sarah Chalke)
masih mencoba untuk berdamai dengan ibu mereka Flo (Margo Martindale) yang tidak setuju Jesse menikah dengan pria
dari India, sementara Gabi merupakan seorang lesbian. Miranda (Julia Roberts) merupakan seorang pengusaha perhiasan yang
mencoba untuk menemukan ibunya setelah melihat Kristin (Britt Robertson), mantan anaknya. Seorang duda bernama Bradley (Jason Sudeikis) merupakan
seorang single father yang sedang berusaha mengatasi kesedihan yang dialami
oleh dua putrinya.
Hal terbaik dari film
ini hanya satu, yaitu niat awal yang ia punya. Naskah yang ditulis bersama oleh
Tom Hines, Anya Kochoff Romano, dan Matt Walker sebenarnya punya tujuan yang
menarik sedari sinopsis, mengangkat
tema orangtua untuk membawa kamu melihat gejolak dan kompleksitas sebagai
seorang orangtua dan apa artinya menjadi sebuah keluarga. Sampai di sini Mother's Day masih oke, saya juga suka
berbagai masalah pokok seperti request dari anak-anak, masalah dengan pasangan,
hingga masalah dengan orangtua yang digunakan untuk mencapai tujuan tadi. Yang
jadi masalah itu adalah Mother's Day
ternyata terlalu cepat berubah sehingga niat tadi lebih terasa seperti topeng
saja. Sangat disayangkan ketika tema Hari Ibu yang ia gunakan sudah menemukan
pijakan utama namun yang Mother's Day
tampilkan selanjutnya justru sebuah situasi komedi yang bingung mengolah ide
utama tadi akibat berusaha menutup minus dengan hal-hal yang menjengkelkan.
Gagasan terhadap
perempuan dan apa artinya menjadi seorang ibu dari film ini menarik, tapi cara
itu diolah sangat tidak menarik. Ketimbang membawa kamu menyaksikan perubahan
karakter secara berkala Garry Marshall
lebih tertarik menampilkan dramatisasi yang sayangnya bukan cuma mayoritas tapi
sangat banyak yang berakhir dingin. Perlahan saya merasa bingung apa niat utama
film ini sebenarnya, mereka seharusnya hadir untuk merayakan hari ibu tapi yang
ia tampilkan lebih seperti aksi mocking tanpa nyawa dan pesona. Kehangatan di
balik komedi yang jadi harapan utama di awal tidak pernah film ini berikan, ia
lebih asyik mencoba tampil “imut” namun berakhir hambar, begitu juga dengan
komedi baik itu lewat dialog maupun aksi slapstick,
tidak peduli seberapa klise mereka seharusnya Mother's Day dapat tampilkan jauh lebih baik dari apa yang mereka
lakukan.
Hal yang mengganggu
dari film ini tidak hanya itu, dan yang paling memorable adalah bagaimana niat
untuk menggambarkan sikap terbuka terhadap perbedaan justru berakhir seperti
aksi agresif, bahkan rasis. Hal tersebut sebenarnya dampak domino dari
kelemahan lain yang dimiliki film ini, dari cerita yang hambar dan usaha untuk
memeras komedi yang lebih sering membuat penonton mengernyitkan dahi. Ketika
dua hal tadi tidak berhasil dieksekusi dengan baik satu-satunya senjata yang
tersisa juga tidak bekerja dengan baik, yaitu karakter. Karakter di Mother's Day seperti boneka, sulit untuk
bersimpati pada masalah yang mereka hadapi, ketika mereka mencoba tampil lucu
tidak ada punch yang menarik untuk penonton terima dan rasakan, ketika mencoba
tampil dramatis mereka juga tampak cengeng dan hambar. Semakin lengkap karena mereka
ada di dalam cerita dengan alur yang lebih sering terputus-putus sejak awal
hingga akhir.
Jika membaca kembali
kelemahan Mother's Day di atas tadi
semakin terasa menyedihkan ketika mengingat film ini memiliki banyak aktor dan
aktris dengan tipe yang pas untuk membangun tujuan utamanya tadi. Jennifer Aniston, Julia Roberts, Kate Hudson,
dan Jason Sudeikis, semuanya berakhir
terlalu biasa akibat materi dan arahan yang diberikan kepada mereka. Yang
paling cukup baik dari kinerja cast adalah Jason
Sudeikis, dengan latar belakang masalah yang condong kearah drama masalah
antara Bradley, dua putrinya, serta kematian istrinya terasa cukup menarik
untuk diikuti. Konflik yang dihadapi oleh Bradley merupakan yang paling terasa nyata di antara konflik lain di dalam cerita, at least tugas agar rasa hangat
yang harus hadir dari konflik tersebut berhasil dilakukan dengan baik oleh Jason Sudeikis. Konflik lainnya? Nope.
Jika menggunakan
penjelasan singkat dan frontal maka kamu bisa mengganti judul film ini dengan
judul lain karena ikatan cerita dengan Hari Ibu sendiri tidak kuat dan menarik.
Terlalu sering terputus-putus dan bingung ketika bercerita, terlalu sering
terasa agresif ketimbang menyampaikan niatnya dengan cara yang hangat, terlalu
berlebihan mendorong komedi dan cerita yang tipis sehingga tidak memberikan
punch menarik dan berakhir dingin, dan berbagai masalah klasik drama komedi
lainnya seperti pesona yang terasa palsu, Mother's
Day punya potensi untuk menjadi sebuah kisah tentang menjadi ibu dan
orangtua yang menarik namun ketika telah berakhir kalimat yang tepat untuk
mewakilinya adalah sebuah hiburan yang hambar.
Thanks to rory pinem
0 komentar :
Post a Comment