Menggoda penonton
dengan masalah yang harus dihadapi dan diselesaikan oleh karakter yang ia punya
merupakan hal yang mudah untuk dilakukan semua film. Yang sulit adalah dengan
stabil serta dalam komposisi yang tepat terus menggoda penonton sejak awal
hingga akhir. Kegembiraan yang diberikan sebuah film tidak hanya berasal dari
seberapa menarik dasar masalah yang ia punya di bagian cerita, tapi bagaimana
dasar masalah tadi berubah menjadi banyak hal menarik yang bersifat saling
melanjutkan bukan saling menggantikan. From
the director of Run Lola Run, Perfume: The Story of a Murderer, Cloud Atlas,
and Sense8, here comes A Hologram for the King, an engaging journey which feels
like a blank space.
Alan
Clay (Tom Hanks) adalah seorang salesman yang sedang
memiliki banyak masalah. Tidak hanya di pekerjaan saja di mana ia merupakan
seorang pengusaha yang gagal tapi Alan Clay juga telah mengalami sebuah
perceraian yang begitu sengit dan gagal menjadi seorang ayah yang baik untuk
putri tercintanya, Ruby (Jane Perry).
Mencoba bangkit dari depresi Alan terlibat dalam sebuah misi ke Arab Saudi
untuk menjual sebuah sistem komunikasi hologram. Celakanya meskipun telah
dibantu oleh pria lokal bernama Yousef
(Alexander Black), Alan masih belum mudah melepas rasa cemas yang ia alami
sebelumnya dan semakin berat karena sesuatu yang ia jual kali ini merupakan
sebuah “ilusi”.
Bagian awal A Hologram for the King banyak
mengingatkan pada Cloud Atlas yang
juga disutradarai oleh Tom Tykwer. Bukan dari segi cerita tapi cara cerita
memberikan impresi awal yang begitu menarik. Lewat karakter Alan di sini Tykwer
mencoba menampilkan pria yang sedang berhadapan dengan banyak “penghinaan”
dalam hidupnya, semua berasal dari kegagalan yang ia alami. Menghadapi boss,
masalah rumah tangga, hingga masalah terkait sang anak, begitu mudah untuk
tertarik pada karakter Alan bukan hanya karena ada something wrong saja tapi
juga ada something interesting di karakter Alan. Dari kehidupan yang kacau tadi
kita diajak untuk menyaksikan Alan mencoba menemukan kembali arah hidupnya,
mencoba mencari “jiwanya” yang seolah hilang dalam fantasi dan reality.
Membawa penonton untuk
mencoba memahami apa yang sedang terjadi di pikiran Alan adalah satu dari tiga
bagian terbaik A Hologram for the King.
Alan adalah pria yang sedang dipenuhi keraguan yang berujung pada krisis
ketidaknyamanan sehingga cerita memiliki misteri yang menarik. Membuat Alan
terus bertanya tanpa memperoleh respon yang nyata juga menarik, cara Tykwer
menempatkan Alan di antara masalah bisnis dan masalah pribadi juga menciptakan
tekanan yang oke bagi Alan. Tapi sayangnya segala hal positif tadi mulai terasa episodik dan kadang terasa bertele-tele, mereka seperti sebuah
lingkaran sehingga daya tarik cerita perlahan pula mulai berkurang. Bukan
berarti buruk tapi untuk film tentang “depresi” ini terasa sedikit terlalu
tenang, busur dramatis cerita terasa biasa sehingga skenario yang menarik tadi
mulai terasa seperti hanya melayang-layang.
Apakah Tykwer punya
niat lain dalam cara bercerita yang ia gunakan di sini? Mungkin, karena ia seperti mencoba membuat penonton untuk memposisikan diri mereka sebagai
Alan, merasakan rasa tidak nyaman, rasa sakit, hingga depresi. Untuk hal ini A Hologram for the King tampilkan dengan
baik tapi itu terasa mengingkari impresi awal yang ia berikan sebelumnya.
Awalnya A Hologram for the King
tampak seperti akan menjadi sebuah petualangan di mana karakter bermain-main
dengan fantasi dan reality, berhasil memang tapi semakin jauh durasi berjalan
ia semakin terasa tumpul. Dengan berbagai masalah yang Alan alami uniknya tidak
ada sesuatu yang super menarik dari apa ia tinggalkan, makna yang menarik dari
apa yang ia lakukan kurang kuat. Di situ masalah film ini, yang hadir di layar
mudah terhapus begitu saja ketika hal baru muncul.
A
Hologram for the King memiliki konflik yang menarik tapi
cara ia berjalan menuju bagian akhir termasuk solusi itu sendiri terasa kurang
menarik. Seandainya fokus cerita A
Hologram for the King dapat ditampilkan lebih kuat mungkin hasilnya akan
lebih baik sehingga subplot dapat membantu plot utama untuk berdiri teguh
sampai akhir. Di sini Tykwer coba tutupi fokus yang lemah dengan gerak cepat
pada cerita dan pesona karakter utamanya, tapi sayangnya hanya yang terakhir
tadi yang sepenuhnya berhasil. Di sini Tom
Hanks kembali menunjukkan bahwa ia merupakan aktor yang begitu reliable, cerita yang menarik di sinopsis ia gunakan dengan baik untuk
menangkap atensi penonton, dan di balik eksekusi yang tidak begitu tajam ia
masih mampu membuat Alan Clay terus menarik hingga akhir, memiliki kepanikan
yang tergambar dengan halus, rasa takut dan paranoia membuat penonton tertarik
untuk terus memeriksa.
Bersama dengan
gambar-gambar yang memberi kesan bersih serta dibantu kinerja akting yang baik
dari Tom Hanks, A Hologram for the King
berhasil menciptakan sebuah fantasi surealis yang menarik untuk diamati. Tapi
masalahnya adalah berbagai potongan hal menarik yang ia punya kurang berhasil
digabungkan dengan baik oleh Tykwer, hal menarik kehadirannya bersifat saling
menggantikan bukan saling melanjutkan sehingga ketika berakhir A Hologram for the King terasa sedikit tumpul.
Bukan sebuah drama dengan sedikit komedi yang buruk, tapi dengan potensi
yang ia miliki di awal tadi hasil akhir A
Hologram for the King terasa sedikit underwhelming.
Segmented.
0 komentar :
Post a Comment