"Eddie, you are not an athlete!"
Tidak ada yang mustahil
untuk kamu capai jika kamu terus berjuang dan berusaha untuk meraihnya! Ketika
kamu jatuh percayalah bahwa kamu bisa bangkit dan menang. Tampak seperti banyak
quote yang sudah sangat sering kita temukan bukan? Hal tersebut adalah dasar
film ini, Eddie the Eagle, yang
ternyata memilih untuk menjadi penggambaran dari sebuah proses terhadap
perjuangan seorang pria muda dengan kekurangan dan rintangan yang harus ia
taklukkan untuk dapat meraih mimpinya, tampil di Olimpiade. Seperti sayur
kurang garam.
Seorang pemuda bernama Eddie Edwards (Taron Egerton) telah
memiliki mimpi untuk dapat tampil di Olimpiade sejak kecil, namun cacat fisik
dan terus menerus sakit menjadi penghalang bagi Eddie selain sang ayah Terry (Keith Allen) yang tidak mendukung
mimpinya itu. Namun dengan semangat dan perjuangan keras lelaki yang terus
didukung oleh sang ibu, Janette (Jo
Hartley), berhasil mengatasi rintangan tadi, perlahan menjadi mahir di
olahraga ski jumping. Eddie terus berjuang untuk menjadi wakil di Olimpiade pada cabang
olahraga yang telah lama ditinggalkan oleh Komite Olimpiade Britania Raya itu,
dari pindah ke Jerman dan bertemu dengan Bronson
Peary (Hugh Jackman), mantan juara ski jumping yang kemudian melatihnya.
Namun Eddie harus waspada karena kisah kelam masa lalu di tubuhnya ternyata belum
hilang sepenuhnya.
Eddie
the Eagle sebenarnya punya bahan yang menarik, dari sinopsis tadi kamu bisa tangkap bahwa
karakter Eddie merupakan sosok yang punya banyak rintangan di dalam hidupnya,
dari masalah fisik hingga orangtua. Ya, Eddie
the Eagle pada dasarnya punya banyak “rasa” yang bisa ia campur atau oleh
untuk menampilkan kisah perjuangan Eddie untuk mewujudkan mimpinya menjadi
kenyataan yang bukan cuma sekedar jadi penggambaran proses saja tapi juga menjadi
sebuah kisah yang menginspirasi dengan sikap pantang menyerah di titik pusat.
Namun ternyata film biografi ini tidak memilih untuk menjadi sebuah drama
dengan dramatisasi yang rumit, sutradara Dexter
Fletcher dan penulis script Sean
Macaulay ternyata ingin membawa kamu langsung ke point terpenting dari
cerita: latihan untuk dapat masuk Olimpiade.
Keputusan itu
menghasilkan nilai plus dan minus yang seimbang. Dampak positifnya adalah fokus
cerita cukup baik, fokus pada obsesi Eddie terhadap Olimpiade tebal sehingga
sulit bagi irama alur cerita untuk kehilangan arah. Eksplorasi terhadap karakter
Eddie yang jadi salah satu tugas penting dari jenis film seperti ini juga
dilakukan dengan baik, dari rasa takut sampai dengan keinginan besar yang ia
miliki, itu berhasil dicapai dengan cukup oke. Eddie the Eagle juga
punya misi lain untuk menggunakan hal lain di sekitar Eddie untuk mendukung
eksplorasi, ambil contoh kasih sayang dan perhatian orang tua hingga pelatih
kepada Eddie yang juga ditampilkan dengan oke. Dan yang paling krusial,
kegigihan Eddie berhasil menarik atensi penonton sejak awal hingga akhir.
Lalu apa nilai minus
film ini? Eddie the Eagle sukses
menggambarkan proses perjuangan yang dilakukan oleh tokoh utamanya namun ia
kurang berhasil menjadi sebuah film biografi yang menginspirasi. Seorang underdog yang berhasil menumbangkan
kemalangan dan rintangan yang ada di hadapannya, itu hasil akhir film ini,
bukan kisah tentang seorang underdog yang membuat penonton yakin bahwa segala
kekurangan dan rintangan dapat ditaklukkan untuk meraih keberhasilan. Alangkah
lebih baik jika karakter Eddie dapat diberikan pondasi yang lebih kuat untuk
meraih empati penonton. Eddie perlahan tampak seperti pria yang hanya terobsesi
untuk menaklukkan rintangan dan berada di Olimpiade, bukan atlet yang “haus”
untuk merayakan sebuah kemenangan.
Itu alasan mengapa walaupun oke namun Eddie the Eagle terasa biasa, ia hanya
sebuah proses mengalahkan rintangan tanpa ada kemenangan yang menarik untuk
dirayakan. Chemistry antara Hugh Jackman dan Taron Egerton terus berusaha mengunci atensi penonton, tik-tok
mereka oke dan ketika berdiri sendiri Jackman tampil baik sebagai pria pemarah
yang menyenangkan. Bagaimana dengan Eddie? Penonton akan stick dengan keinginan
Eddie untuk mencapai Olimpiade dan berharap ia mampu meraih ambisinya itu tapi
tidak ada koneksi emosi yang menarik, tidak ada empati untuk ingin membantunya
meraih kemenangan. Kamu datang sebagai penonton yang hanya tertarik menantikan
hasil akhir bukan seolah ikut terlibat dan merasakan sakit dan senang yang
Eddie rasakan.
Potensi besar, punya
banyak bahan menarik, konstruksi cerita juga baik, tapi ibarat sebuah
ski jumping film ini berhasil sebuah aksi melompat yang baik tapi tidak membuat
penonton merasa waspada pada kemungkinan gagal atau berhasil ketika si atlet
mendarat dengan kuat. Tidak buruk, namun sebagai sebuah film biografi Eddie the Eagle hanya mampu menjadi
sebuah sajian yang bercerita tentang proses tokoh utamanya berjuang meraih
ambisinya, bukan sajian yang memberikan perjuangan di mana bukan cuma ada
ambisi tapi juga emosi dari karakter dan empati dari penonton sehingga ketika
tokoh utama berhasil penonton bahagia namun tidak bertepuk tangan untuk ikut merayakan kesuksesannya. Segmented.
Menurutku sangat menginspirasi, kalau dipaksakan menang malah gak bagus..namanya jg kisah nyata, yg disorot disini prosesnya bkn pencapaiannya 8/10 menurutku
ReplyDeleteSebagai film yg terinspirasi kisah nyata, sorotan utamanya adalah proses/perjuangan, krn akhirnya kita sdh tahu. 8/10.
ReplyDelete