Setiap orang punya cara
mereka masing-masing dalam menjalani masa berduka, ada yang benar-benar
tenggelam dalam rasa sakit, adapula yang mencoba bangkit dengan meyakinkan
dirinya bahwa kemalangan yang menimpanya adalah sebuah jalan agar dirinya dapat
menghargai hal-hal baik yang ia peroleh. Film ini bercerita tentang rasa
bersalah dan kesedihan melalui sebuah metafora yang mencoba untuk tidak “mudah”
dengan mencampur materi serius bersama sentuhan komedi. From the director of Dallas Buyers Club and Wild, here comes
Demolition, a confused comedy-drama.
Davis
Mitchell (Jake Gyllenhaal), pria yang bekerja di sebuah
perusahaan keuangan milik ayah mertuanya Phil
(Chris Cooper), harus menghadapi momen sulit dalam hidupnya. Istrinya, Julia (Heather Lind), meninggal dunia
dalam sebuah kecelakaan mobil yang membuat kondisi mental Davis terganggu.
Suatu ketika Davis mengirimkan surat kepada produsen mesin penjual otomatis
karena ia merasa mesin tersebut telah “mencuri” uangnya. Surat tersebut
ternyata menarik perhatian customer service bernama Karen Moreno (Naomi Watts) yang juga sedang memiliki masalah
keuangan dan emosi. Dibantu anak Karen, Chris
Moreno (Judah Lewis), Davis mulai mencoba membongkar dan membangun kembali
kehidupannya.
Jean-Marc
Vallee punya kemampuan membuat koneksi antara karakter di
dalam cerita dengan penontonnya, dari The
Young Victoria, Café de Flore, Dallas Buyers Club, hingga Wild semuanya berhasil melakukan hal
tersebut. Karakter diberi konflik dengan fokus yang kuat tapi koneksi antara
dirinya dengan penonton yang membuat konflik familiar jadi terasa lebih manis
karena kita sebagai penonton mengerti dan mencoba merasakan masalah yang
dihadapi karakter. Demolition
melakukan itu dengan sangat baik, di bagian awal. Davis Mitchell adalah
karakter yang menarik diamati, cara menunjukkan dunianya membuat berhasil
membuat penonton merasa ingin tahu tentang karakter. Reaksinya mungkin biasa
tapi Davis Mitchell seperti punya
obsesi antara baik dan buruk yang akan membuatmu tertarik untuk menanti apa
yang akan terjadi.
Sinopsis
Demolition jujur saja tidak istimewa
dan bicara tentang kadar menjanjikan juga tidak besar, tapi setup dasar cerita
membuat premis jadi tampak menjanjikan. Bagian terbaik dari Demolition di bagian cerita adalah Jean-Marc Vallee (tidak menjadi editor di sini) ingin agar koneksi yang
telah terbangun antara karakter dengan penonton tadi tidak berjalan “mudah”.
Proses pengembangan karakter Davis beserta masalahnya terasa nyaman, ia seperti
pria yang haus akan perhatian penonton tapi mampu membuat penonton rela untuk
memberikan perhatian padanya. Skenario juga bagus dalam membuat komunikasi
emosi antara dua pihak berjalan menarik. Tapi seperti yang telah saya singgung
sebelumnya hal-hal manis ini terjadi di awal cerita, dengan durasi 100 menit
sayangnya Demolition berakhir sebagai
sebuah drama dan komedi dalam babak yang berbeda.
Seperti ada sesuatu
yang hilang di dalam Demolition, masalah karakter sudah menetap di dalam
pikiran penonton tapi metamorfosis agar cerita berkembang menjadi lebih menarik
dan lebih tajam tidak terasa nyaman. Karena berusaha menjadi sajian yang tidak
“mudah” Demolition mengandung banyak
hal-hal “aneh” yang membuat penonton bertanya kenapa dan mungkin. Apakah Davis
tidak pernah mencintai mantan istrinya? Apakah kondisi berduka Davis
benar-benar “legit”? Apakah Davis pria gila? Apa alasan di balik aksi-aksi aneh
yang ia lakukan? Pertanyaan-pertanyaan seperti tadi mulai muncul, Demolition seperti mencoba membuat
penonton menaruh simpati pada masalah Davis akan ketidakmampuannya dalam hal
emosi tapi sayangnya hal tersebut lebih terasa seperti tameng untuk berlindung
dari cerita yang mulai stuck. Dan yang lebih disayangkan lagi karakter Davis
perlahan kehilangan pesona yang ia punya di awal tadi.
Tidak heran seiring
pergeseran nada cerita Demolition
yang awalnya menarik berubah menjadi sebuah studi karakter yang, well, terlalu
biasa. Ketika telah berhasil mengajak penonton untuk mengamati Davis cerita
perlahan mulai terlalu sering bermain di hal-hal sepele yang tidak mencerahkan
fokus utama. Setelah menaruh simpati penonton seharusnya mulai khawatir pada
Davis, sayangnya yang terjadi justru sebaliknya. Nada cerita yang tidak stabil
jadi penyebab utama Demolition perlahan jadi roboh, tidak stabil. Kombinasi
drama dan komedi terasa liar dan menggerus kekuatan fokus utama yaitu karakter
Davis itu sendiri. Demolition punya konflik utama yang serius tapi cara ia
mencoba memasukkan komedi kedalamnya terasa kurang padu, penonton jadi sulit
peduli dengan Davis yang di awal bahkan tampak seperti punya potensi untuk
bunuh diri.
Fokus pada usaha Davis
mempertahankan hidupnya yang perlahan mulai kurang menarik sayangnya tidak bisa
ditolong sepenuhnya oleh kinerja cast. Jake
Gyllenhaal memberikan satu lagi kinerja memikat dalam karirnya, Davis Mitchell ia bentuk menjadi pria
bermasalah yang seolah punya daya magnet, penonton tertarik pada apa yang akan
terjadi padanya meskipun cara main cerita perlahan cukup menggerus rasa peduli
penonton padanya. Chemistry Gyllenhaal
dengan Judah Lewis juga baik,
persahabatan mereka menarik meskipun hadir di bagian di mana karakter Davis
mulai kurang berkembang. Yang sangat disayangkan di sini adalah Naomi Watts, interaksinya antara Davis
dan Karen punya emosi yang oke tapi sayangnya ia kurang dilibatkan lebih dalam,
cerita kurang baik dalam memanfaatkan karakter Karen.
Demolition
bukan film yang buruk, cara ia membentuk ide tentang kesedihan dan rasa
bersalah terasa baik, ia juga mampu menjaga penonton untuk tetap berada di
samping karakter utama, dan beberapa momen komedi juga tidak buruk. Tapi ini
terlalu biasa untuk sebuah film yang ditangani oleh Jean-Marc Vallee terlebih apa yang ingin dicapai oleh Demolition
merupakan “keahlian” dari Vallee. Menampilkan kinerja yang kuat dari Jake Gyllenhaal
film ini punya nada cerita yang kurang stabil, tampil begitu baik di awal
perlahan Demolition tampak bingung
dan kewalahan, berusaha mencoba tampil "tidak mudah” namun sayangnya
berakhir terlalu “mudah”. Segmented.
Thanks to rory pinem
0 komentar :
Post a Comment