"Buy my brownies or I'll kill you."
Segala sesuatu yang
berlebihan itu tidak selalu sehat. Ambil contoh sebuah pertandingan sepakbola
akan terasa monoton jika setiap 5 menit sekali terjadi gol, begitupula dengan
pertandingan basket yang hanya dipenuhi slam-dunk
sehingga pengalaman menonton akan terasa monoton dan melelahkan. Melissa McCarthy merupakan salah satu
komedian berbakat yang ahli dalam menghibur penonton dengan cara tampil
“berlebihan”, dan kini ia membawa The Boss untuk tampil “berlebihan”, seperti
kelanjutan dari Identity Thief dan Tammy yang kembali mengandalkan goofiness untuk mencoba menghibur
penontonnya.
Tumbuh besar di panti
asuhan Michelle Darnell (Melissa
McCarthy) kini telah berubah menjadi seorang guru keuangan, namun sebuah
insiden membawa Michelle ke dalam penjara. Setelah bebas dibantu asistennya
yang setia Claire Rawlins (Kristen Bell)
ia mulai mencoba mengeksekusi sebuah ide bisnis untuk membawanya kembali ke
posisi atas, menjadi penjual brownies. Usaha Michelle perlahan mulai menemukan
hasil yang baik hingga suatu ketika ia harus kembali bertemu dengan Renault (Peter Dinklage), mantan pacar
Michelle, seorang taipan bisnis yang hendak melakukan balas dendam.
The
Boss
ini tipe film yang ingin penonton cintai tapi sulit karena ia juga tidak
memberikan jalan yang mudah untuk dicintai. Jangan kira dengan sinopsis yang sangat klise tadi The Boss sejak awal sudah tidak menarik,
justru sebaliknya, ini menarik apalagi ia seperti ingin berbicara tentang
pemberdayaan perempuan dengan membuat Michelle sebagai sosok wanita muda yang
inspiratif. Berhasil? Menjadi inspiratif terlalu jauh untuk dicapai film ini,
untuk mengendalikan dirinya sendiri saja The
Boss sudah kesulitan. Masalah The
Boss tidak jauh-jauh dari masalah yang sering dilakukan oleh komedi:
mencoba memborbardir penonton dengan humor tapi tidak menciptakan alur yang
oke. Hasilnya, keinginan di awal tadi hilang ditelan tumpukan lelucon yang
seiring berjalannya waktu terasa monoton, dan tidak lucu.
Sangat sayang karena The Boss punya potensi yang bagus untuk
jadi komedi tentang bisnis. Cara Ben
Falcone menggunakan keunggulan Melissa
McCarthy juga tidak jelek di bagian awal, karakterisasinya cepat mencuri
perhatian penonton. Tapi bukannya menggunakan komedi dan ide cerita untuk
saling membantu film ini ternyata memilih untuk mengeksploitasi keunggulan
McCarthy tadi. Karakterisasi yang baik tetap sulit untuk menolong sebuah film
komedi memberikan tawa jika naskah lemah. The Boss memberikan kesempatan bagi
Michelle untuk tampil absurd sehingga kesannya terus menerus mengemis tawa dari
penonton. Tidak salah memang asalkan disertai dengan alur yang oke, disertai
dinamika yang oke, bukan terkesan asal lempar dan berharap sebuah keajaiban
menghasilkan tawa.
Melissa
McCarthy sendiri tampil tidak begitu buruk di sini, chemistry
dengan Kristen Bell (kinerjanya
kurang kuat) juga tidak jelek, menyenangkan untuk ditonton walaupun lelucon
memang hit dan miss. Penyebabnya adalah fluiditas bercerita yang tidak pernah
berhasil dicapai oleh The Boss. Sisi
komik The Boss terasa kaku, cerita
yang biasa terus bergerak mondar-mandir untuk mencari ruang memberimu lelucon
tapi lemah memilih momen yang tepat. The Boss tidak menggunakan konsep tunggu
dan pukul, ia memilih untuk terus memukul kamu dengan lelucon yang celakanya
tidak semuanya menarik. The Boss juga
seperti tidak tahu kapan usahanya sudah melewati batas, menghabiskan banyak
waktu pada lelucon (termasuk pengulangan lelucon) sehingga banyak yang
energinya lemah dan tidak punya hit yang oke.
The
Boss
punya banyak masalah yang menghalangi penonton untuk mencintainya, kumpulan
hal-hal berlebihan baik dari cerita hingga overacting yang kaku membuat potensi
untuk menjadi sebuah komedi konyol ala Will
Ferrell sirna. Bukan hanya sedikit usaha drama di bagian akhir saja yang
terasa dipaksa tapi mayoritas goofiness yang ia tampilkan juga terasa kaku. The Boss adalah komedi dengan
karakterisasi menarik yang tenggelam di dalam naskah dan pengarahan yang lemah,
seolah hanya punya garis besar dan kemudian melepas karakter untuk
berimprovisasi sendiri, dan yang paling kasar adalah jumlah lelucon yang
"kuat" dapat dihitung dengan jari tangan. Dua tangan? Mungkin satu. Segmented.
0 komentar :
Post a Comment