"Look mummy Oliver came back"
Salah satu “formula”
paling standar dari cerita sebuah film horror adalah karakter diberikan sebuah
aturan di mana jika ia melanggar maka akan timbul masalah bahkan bencana yang
besar dan berbahaya, tapi dasar karakter tersebut memang nakal serta didorong
rasa ingin tahu bahkan tekanan yang begitu besar maka ia melanggar aturan
tersebut. Boom, muncul bencana. Diperingatkan untuk tidak masuk ke hutan
“berbahaya” malah nekat dan masuk ke dalam hutan, diminta untuk mengikuti
aturan ketika merawat sebuah boneka malah menganggap remeh dan mengabaikan
aturan. The Other Side of the Door
seperti itu pula, jangan buka pintu terlarang tapi dasar nakal malah dibuka,
dan hadirlah sebuah supernatural horror yang (cukup) oke.
Maria
(Sarah Wayne Callies) dan suaminya, Michael (Jeremy Sisto) tinggal di Mumbai, India, dan memiliki
sebuah homewares. Mereka memiliki anak perempuan bernama Lucy (Sofia Rosinsky), sementara anak laki-laki mereka Oliver (Logan Creran) meninggal dalam sebuah
kecelakaan mobil yang tragis. Peristiwa tersebut meninggalkan trauma mendalam
bagi Maria, ia merasa salah karena hanya mampu menyelamatkan Lucy. Suatu ketika
pembantu mereka, Piki (Suchitra
Pillai-Malik) mengatakan bahwa ada sebuah kuil tempat di mana Maria dapat
berbicara dengan Oliver untuk meminta maaf sehingga ia bisa merasa damai.
Celakanya Maria melanggar aturan, Oliver memang kembali namun bukan lagi Oliver
yang ia sayangi.
Berbicara tentang ide
cerita The Other Side of the Door
memang terasa basi tapi ternyata sang sutradara Johannes Roberts cukup berhasil memainkan materi yang ia punya
sehingga horror standard ini tidak jatuh terlalu dalam. Tunggu dulu, bukan
berarti The Other Side of the Door
merupakan sajian horror yang memuaskan, ia masih berada di bawah batas dari
level tersebut, tapi jika menilik cerita, lalu eksekusi, hingga cara ia
mengikat penonton yang semuanya terasa formulaic hasil akhir yang diberikan
film ini tidak buruk. Hal positif terbesar datang dari elemen mistis rasa India
yang dimiliki cerita, penggunaan Aghori
yang cukup berhasil menciptakan kesan “beda” serta membuat daya tarik pada
konflik jadi tidak mudah luntur mengingat potensi untuk tumbuh monoton sejak
awal sudah sangat besar.
Ya, dari eksekusi saja
sebenarnya Johannes Roberts juga
tidak mencoba membuat The Other Side of
the Door tampak berbeda dari sajian horror yang selama ini kamu saksikan
tapi untung saja objek pintu serta karakter Maria berhasil membuat film ini
tidak terjebak, bingung, lalu tertidur. Cara klasik horror bermain hadir di
sini, jump-scare dengan diiringi suara keras, lalu hantu yang seolah tampak
malu untuk menyapa penonton, dan hal-hal klasik lain, tidak ada hal baru yang
segar, hal klasik itu hadir dengan level standar. Yang menarik dari The Other Side of the Door adalah jika
kamu merasa elemen horror dengan cerita hantu tradisional itu perlahan mulai
terlalu biasa maka ia punya potensi lain untuk mencengkeram kamu lewat elemen
psikologi, menyelamatkan nilai keseluruhan walaupun hadir dengan thrill yang
biasa.
Karakter lain di luar
Maria seolah tidak diberikan perlakuan yang seimbang, sejak awal kamu seperti
diarahkan untuk fokus pada masalah batin Maria, dan menariknya itu memberikan
hasil positif. Dibantu dengan performa Callies yang berhasil membuat perilaku
bingung dan putus asa Maria terus hidup penonton perlahan menaruh simpati pada
Maria, walaupun ia melakukan tindakan yang bodoh. Alhasil meskipun tampak biasa
sejak sinopsis The Other Side of the Door ternyata punya pusat emosi yang baik
sehingga berawal dari simpati penonton peduli dengan karakter dan akhirnya
eksekusi horror yang standar itu terasa efektif, tampak biasa namun dari
tekanan dan jeritan cukup berhasil menjaga keresahan cerita walaupun telah
mondar-mandir ia tetap tidak berhasil mempertajam pesan dari kisah utama.
Thanks to: rory pinem
0 komentar :
Post a Comment