"Your president dies tonight."
Berhasil meraih
pendapatan $161 juta dengan menggunakan budget sebesar $70 juta tentu saja
bukan sebuah pencapaian yang buruk bagi Olympus
Has Fallen terlebih untuk ukuran sebuah action thriller dengan formula
generik. Namun menariknya para produser seperti punya pandangan berbeda
terhadap sekuel dengan hanya memberikan modal $60 juta. Mencoba mengulang
kembali kesuksesan finansial dengan modal kecil atau justru rasa percaya diri
akan peluang meraih sukses yang kini telah kecil? Tidak hanya punya power kuat
untuk membuat kamu bertanya “hanya itu?” ketika telah selesai, London Has Fallen juga memiliki peluang
kuat untuk menjadi film terbaik tahun ini versi Donald Trump.
Secret
Service Agent Mike Banning (Gerard Butler) berpikir untuk
pensiun apalagi istrinya Leah Banning
(Radha Mitchell) kini sedang hamil. Rencana itu gagal ketika Perdana
Menteri Inggris tiba-tiba meninggal dunia, dan 40 pemimpin negara diundang ke
acara pemakaman di London, termasuk Presiden
USA, Benjamin Asher (Aaron Eckhart). Persiapan yang seadanya kembali
membawa masalah bagi Banning ketika kelompok teroris yang dipimpin oleh Aamir Barkawi (Alon Aboutboul)
melancarkan serangan dengan target para pejabat penting tadi. Niat mereka bukan
sekedar balas dendam atas serangan pesawat tak berawak USA dua tahun silam,
namun untuk membunuh Benjamin Asher dan menyiarkannya ke seluruh dunia.
Jika saya harus memilih
dua kata yang saya rasa paling tepat untuk mewakili London Has Fallen maka kata yang pertama adalah adalah pemalas. Ya,
ini adalah sebuah action thriller
yang pemalas, bukannya memanfaatkan “kelebihan” yang sudah diciptakan oleh
pendahulunya dan membawa “bla bla Has Fallen” ini naik satu tingkat yang
dilakukan oleh Babak Najafi dan tim
penulis ternyata hanya copy paste.
Tidak masalah jika pencapaian mereka ada di level yang sama dengan Olympus Has Fallen namun yang menjadi
masalah adalah mereka tidak ada di level yang sama. London Has Fallen lebih jelek dari kakaknya itu, tanpa malu-malu
atau bahasa halusnya penuh rasa percaya diri meminjam formula klasik sang kakak
secara penuh, lalu ganti White House dengan
London.
Salah satu hal
menjengkelkan dari London Has Fallen
adalah sang sutradara seperti menolak menjadikan cerita sebagai bagian penting
dari film. Kamu seolah cukup tahu sinopsis yang sesungguhnya mengandung plot
dengan potensi untuk menjadi kompleks, lalu setelah itu mari masuk kedalam
sebuah film action dengan formula Michael
Bay-esque dengan kualitas visual yang lemah. Fungsi utama mengumpulkan para pemimpin dan usaha pemberontakan
tentu untuk menciptakan kesan mencekam penuh situasi berbahaya yang mematikan
di dalam cerita, tapi yang terjadi justru sebuah film yang tidak tertarik
membangun ketegangan, dasar masalah sudah terbentuk dan mari manfaatkan serta
eksploitasi arena yang lebih luas dengan berlari bersama sekencang-kencangnya
dengan thrill satu tingkat lebih rendah.
Lalu apa kata yang
kedua? Berawal dari thrill, yaitu tasteless.
Ya, sebagai sebuah film dengan kisah utama tentang upaya penyelamatan tokoh
penting bersama berbagai action penuh ledakan sana-sini London Has Fallen terasa hambar. Alasan London Has Fallen terasa tasteless
adalah selain usaha untuk terus menerus tampak bombastis yang monoton itu ia
juga tidak punya alasan kuat mengapa karakter di dalam cerita begitu penting
untuk tetap hidup. Nah, itu bahaya. Penonton terus dibuat menunggu kapan
subteks politik di cerita akan mengambil panggung utama dan menjadi fokus
terpenting cerita, tapi sayangnya hal itu tidak kunjung tiba. Sebaliknya, London Has Fallen lebih sering
menyajikan momen konyol dengan dialog dan ekspresi karakter yang terasa kikuk
serta dipaksa sehingga kerap lebih condong terasa lucu ketimbang sedang
terancam.
Benar, jalur lurus pada
niat untuk jadi action thriller yang hyperviolence
ternyata juga dialami oleh karakter, ekspresi mereka lurus terutama Gerard Butler yang masih gagal untuk
tampak seperti John McClane. Satu hal
lagi yang tampil lurus, dengan premis cerita berisikan berbagai pemimpin dunia
berada di bawah ancaman terorisme London
Has Fallen ternyata hanya memilih untuk menampilkan kucing mengejar tikus. Olympus Has Fallen sebenarnya seperti
itu juga tapi ruang bermain yang sempit hanya di White House berhasil dimanfaatkan Antoine Fuqua untuk menempatkan
berbagai percikan kecil. Babak Najafi
tidak berhasil melakukan itu, penggunaan lokasi tunggal gagal dimanfaatkan
untuk menciptakan “feel” cerita.
Film pertama, Olympus Has Fallen, berhasil
memanfaatkan White House sebagai
gimmick untuk memberikan sebuah action
thriller yang tidak buruk, ruang sempit menghasilkan thrill yang cukup oke.
London Has Fallen ada di sisi yang
berbeda dari kakaknya itu, dengan ruang yang luas serta thrill yang miskin ia
berusaha menyajikan sebuah action thriller yang bombastis namun berakhir “lesu”
dan tasteless. Tidak memilih untuk
memanfaatkan setting yang lebih luas dan lebih besar Babak Najafi membawa London
Has Fallen tampil sebagai sebuah action dipenuhi aksi kejar bersama
kekerasan generik dengan feel atau taste terkait bahaya dan ancaman yang tidak mematikan. Merupakan sebuah kesalahan
fatal jika sebuah action thriller
gagal mencengkeram penontonnya. Segmented.
Thanks to: rory pinem
Sepakat.
ReplyDeleteApalagi dari awal sudah ada kesalahan fatal. bendera Indonesia muncul di scene, tapi disebutnya filipina. sepanjang film emosi penonton dibawa datar, sehinga bagiku tak ada momen spesial sepanjang film yang mampu membuat film ini layak untuk ditonton berulang-ulang.
baru nonton film London has fallen dan menurut saya lebih seru yg pertama Olympus has fallen..
ReplyDeleteDikarenakan adegan action nya lebih banyak ,lebih seru dan lebih tegang yg pertama dan juga disni adegan bodoh nya terlalu banyak dibandingkan seri pertama..