"Dreams are nice, but you can't live in them."
Sejauh ini telah
menyutradarai delapan buah film dalam 46 tahun karirnya di industri film, Terrence Malick secara mengejutkan
menghadirkan tiga di antaranya dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Apakah
Terrence Malick sedang memiliki banyak ide? Sepertinya begitu dengan dua film
lain dijadwalkan rilis tahun ini. Di film terbarunya ini Terrence Malick kembali memberikan apa yang penonton inginkan dari
“film Terrence Malick”, namun sebagai penonton yang masih belum lulus dari Malick's School for Gifted Youngsters
selalu ada perasaan waspada terhadap karya Terrence Malick karena, well, it's gonna be forever, or it's gonna
go down in flames. So, bagaimana dengan Knight
of Cups? Keindahan yang hampa, atau kehampaan yang indah.
Walaupun menikmati
kesuksesan dan kekayaan yang ia hasilkan, seorang screenwriter yang tinggal di Los Angeles bernama Rick (Christian
Bale) merasa akan hadir sesuatu yang membuatnya semua itu hilang dari
kehidupannya. Rick merasa hidupnya hampa, terus dihantui oleh trauma yang
sehingga mencoba berdamai dengan itu semua untuk menemukan kedamaian, dari
hubungannya dengan wanita bernama Della
(Imogen Poots), Model Helen (Freida Pinto), dan Karen (Teresa Palmer), hubungan dengan saudaranya Barry (Wes Bentley) serta ayah mereka Joseph (Brian Dennehy), hubungan dengan
pria bernama Tonio (Antonio Banderas),
hubungan dengan mantan istrinya Nancy
(Cate Blanchett) serta cinta terlarangnya di masa lalu, Elizabeth (Natalie Portman), serta
hubungan dengan Isabel (Isabel Lucas),
wanita yang bisa membantu Rick menemukan jawaban yang ia inginkan.
Jika kamu perhatikan sinopsis di atas tadi mungkin hal
pertama yang terlintas di pikiran kamu adalah Knight of Cups merupakan sebuah drama penuh konflik yang rumit.
Wajar memang, karakter utama yang diberikan tugas untuk berdamai dengan
sembilan karakter lain dalam delapan bagian terpisah saja sudah cukup untuk
menciptakan impresi tadi, tapi faktanya adalah terdapat tiga sisi yang dapat
membawa kamu sebagai penonton masuk ke ruang yang berbeda dengan penonton
lainnya, meskipun kalian sedang menyaksikan film yang sama. Sisi pertama Knight of Cups dapat menjadi kehampaan
yang terasa indah, yang kedua ia bisa menjadi keindahan yang terasa hampa bagi
penontonnya, dan yang terakhir kombinasi antara dua hal tadi, ia bukan sebuah keindahan
yang terasa hampa serta juga bukan merupakan sebuah kehampaan yang terasa
indah.
Kenapa bahasanya terasa
rumit sekali? Sebenarnya tidak, tapi saya rasa itu kalimat yang paling tepat
untuk mewakili kisah yang sebenarnya masih menggunakan dasar yang sama dari
film Terrence Malick, kisah tentang
kehidupan dalam tampilan penuh estetika. Nah, masalah utama dari Knight of Cups adalah niat bercerita
tentang kehidupan serta presentasi penuh estetika tadi kurang menyatu dengan
baik. Kurang blend. Di sektor cerita kita mendapat berbagai kisah dengan pusat
yang sama namun terpisah, Rick penuh rasa bingung hingga kecewa mulai
berputar-putar mencari jawaban. Di sekor teknis banyak keindahan yang tersaji
terlebih dengan visual yang seolah memiliki irama yang mengalir begitu lembut.
Sayangnya kombinasi dua hal tadi terasa kasar sehingga kesan eksperimental sangat dominan dan tangguh yang mungkin menjadi bahan ajar di semester akhir Malick's School for Gifted Youngsters.
Celakanya saya belum
bisa menempuh pelajaran tersebut, dan alhasil Knight of Cups terasa tasteless meskipun banyak visual indah dan
puitis yang ia sajikan. Terdapat dua hal yang menyulitkan untuk klik dengan Knight of Cups. Yang pertama adalah plot
yang tipis untuk materi yang gemuk. Oh, saya sendiri ragu apakah film ini punya
plot, ia lebih condong menyajikan adegan dan interaksi dengan drama yang
terkandung di dalamnya terasa minim. Terasa sayang memang alur terasa tipis
karena cerita yang dibagi menjadi beberapa bab itu sebenarnya menyimpan
banyak gairah tentang kehidupan dan pencarian jiwa yang menarik. Seperti The Tree of Life dan To the Wonder sangat mudah untuk
mengerti niat utama cerita, tapi Knight
of Cups menjadi yang paling lemah dalam hal menciptakan arena bermain bagi penonton untuk menjadi sebuah meditasi tentang
hidup.
Dengan materi yang
gemuk tadi hasil akhir Knight of Cups
terasa kering meskipun ia mencoba menyajikan jawaban atas kebingungan
berputar-putar mengitari kota yang baru saja ia tampilkan. Rick yang pikiran
batinnya sedang terganggu dan berusaha menemukan tempatnya di dunia kurang
berhasil menjadi objek yang menarik untuk penonton amati terkait ide besar
tentang manusia tadi. Contohnya pergulatan antara spiritual dan duniawi yang ia
lakukan justru perlahan lebih terasa seperti seorang pria yang manja akan
kesuksesan, bukan pria yang mencoba mencari jawaban atas pertanyaan tentang hidup. Ya, itu masalah kedua, cerita tidak membuat karakter tampak menarik,
karakter tidak mudah untuk diindentifikasi sehingga makna dari usaha yang ia
lakukan tidak pernah bergerak ke titik yang lebih dalam, aksi mengembara
pencarian jiwa dengan berpindah dari satu titik ke titik lain terasa kosong
dengan tujuan yang lemah.
Pada dasarnya film ini
sama seperti The Tree of Life dan To the Wonder dalam konteks konsep,
namun ketika dua film tadi berhasil mengabungkan sebuah pencarian jiwa bersama
estetika dengan baik Knight of Cups
terlalu berat di estetika. Bahkan menilai performa cast saja tidak terasa
terlalu menarik karena yang mereka lakukan adalah bergoyang, bergerak, dan
mengoceh di dalam pikiran namun dengan konflik di antara mereka yang terlalu
biasa. Sektor cerita terasa lemah sehingga eksplorasi dengan rasa filsafat dan
spiritualitas itu tidak memiliki kekuatan tentang “kehidupan” yang hidup di
awal, tidak konsisten tampil menarik, serta tidak terus tumbuh positif menuju
akhir. Tidak heran usaha Knight of Cups
untuk menjadi kisah tentang manusia yang transenden gagal tercapai karena sejak
awal ia terasa dangkal, ia indah namun hampa. Segmented.
Cowritten with rory pinem
manntep reviewnya. sinematografi sama scoringnya juara rate ane 8/10. coba di-review film filmnya Tarkovsky dan Bela Tarr juga dong...
ReplyDelete