"Egypt has always been a paradise. But now, there is chaos."
Pada sebuah dunia
alternatif di negara Mesir para dewa
hidup di antara para manusia, mereka lebih besar, darah mereka emas, dan mereka
punya kemampuan untuk berubah bentuk menjadi binatang. Wow, sebuah ide cerita
yang luar biasa, sebuah upaya penuh percaya diri mengeksplorasi mitologi kuno
dalam bentuk yang tidak kuno. Tapi tahukah kamu walaupun sifatnya sangat
penting rasa percaya diri tidak menjamin sebuah film pasti akan sukses, bisa
saja rasa percaya diri itu jika tidak digunakan dengan tepat justru berbalik
arah seperti boomerang. Boom, itu dialami oleh Gods of Egypt, cringe comedy PlayStation game.
Dewa Horus (Nikolaj Coster-Waldau) bersiap
untuk mengambil alih kepemimpinan pemerintah Mesir kuno dari ayahnya, Osiris (Bryan Brown), namun saudara
Osiris, Set (Gerard Butler), menolak
rencana tersebut dan setelah memanfaatkan koneksi dengan semua dewa berhasil
meraih tahta tertinggi. Horus ingin merebut kembali Mesir dari kekuatan tak
terbendung Set dan bersama dengan dewa Hathor
(Elodie Young), Thoth (Chadwick
Boseman), serta manusia bernama Bek
(Brenton Thwaits) yang memiliki misi membawa kekasihnya Zaya (Courtney Eaton) kembali ke dunia
Horus mulai menyusun rencana perlawanan.
Ketika sedang menulis
review ini saya masih tidak habis pikir bagaimana kacaunya dan betapa terbuang
percuma potensi besar dari ide di sektor cerita. Kisah yang diciptakan oleh Matt Sazama dan Burk Sharpless itu di bawah kendali Alex Proyas ternyata hanya terasa menarik sampai di sinopsis saja. Oh, terlalu berlebihan
mungkin, mari katakan bagian awal tidak begitu buruk mengingat fantasi skala masif ini masih mencoba membangun dasar
masalah di konflik serta memperkenalkan karakter kepada penonton. Nah,
pertanyaan menarik dari situ adalah seberapa besar bagian awal yang menarik
tadi? Gods of Egypt punya durasi
sebesar 127 menit tapi cerita berjalan dengan pesona menarik hanya di 20 menit
pertama, itupun tidak kuat.
Lalu apa sebenarnya
masalah terbesar film ini? Banyak. Ambil contoh sinopsis, mereka oke, tapi setelah itu yang kamu temukan adalah
dialog-dialog yang bukannya mempertebal kompleksitas cerita dan karakter namun
justru sebaliknya, terlalu sering terkesan dipaksa sehingga membuat cerita dan
karakter tidak berkembang dan akhirnya menjadi tampak konyol. Ya, berbicara
tentang cerita dengan bahan yang kaya kisah tentang dewa-dewa Mesir dengan
pendekatan yang “berani” ini seharusnya tampak rumit, beberapa bagian dari
komposisi konflik di cerita seperti
misalnya hubungan antara Horus dan Hathor dapat ditarik sedikit lebih jauh,
tragedi bisa saja dibuat lebih kuat. Tapi yang Gods of Egypt hasilkan sebaliknya, sebuah aksi mendongeng yang
sangat setengah hati.
Pemalas, ada ambisi
besar di sektor cerita tapi anehnya Alex
Proyas ingin membuat agar semua itu tetap tampak sederhana. Saya mencium
niat dari Proyas untuk meniru apa yang Michael Bay lakukan di Transformers, memanfaatkan efek
digital, di sini ia hendak mengeksplorasi sebuah mitologi dengan menjual visual
yang mengkilap. Tapi hasilnya berbeda, kalau Michael Bay berhasil menggunakan CGI untuk “menindas” penonton Gods of Egypt justru terlalu sering
“tertindas” oleh kinerja CGI yang kualitasnya tidak merata. Masalah yang dihasilkan oleh CGI bukan cuma
kualitasnya seperti ketika menampilkan makhluk logam yang kurang impresif tapi
alur cerita sering terasa kosong. Gods of
Egypt seperti bulldozer, bergerak cepat menghancurkan apa saja yang ada
di depannya sehingga ketika sebuah scene lewat tidak ada hal menarik yang tertinggal.
Yap, dampak domino
terus berlanjut, dan ketika tidak ada hal menarik yang tertinggal segala
kebisingan yang ia coba dorong ke penonton tumbuh menjadi hiburan yang menjengkelkan. Aneh itu ketika aksi kejar-kejaran dari sebuah film action terasa monoton dan
datar, miskin thrill bahkan terasa tidak bernyawa. Karakter juga sama saja,
setiap karakter seperti punya urusan masing-masing dan tidak peduli dengan
konflik utama cerita. Semangat mereka memang oke tapi sama seperti kualitas
cerita mereka tidak menghasilkan thrill dan nyawa yang memikat. Hal menarik di
bagian ini adalah kelemahan cast hampir serupa, mereka gagal memberikan
dramatisasi pada karakter mereka, cast seperti boneka yang hanya digunakan
tampilan fisik baik itu wajah hingga bentuk tubuh.
Elemen paling oke dari Gods of Egypt hanya ide cerita dan setup
awal, setelah itu kemudian muncul hal-hal lain yang tidak oke, dari pendekatan
berani penuh ambisi di bagian cerita yang bekerja setengah hati, dialog
menggelikan, lelucon yang tidak lucu, karakter yang hambar, plot yang kacau,
hingga dilengkapi dengan kualitas CGI yang menjengkelkan. Gods of Egypt adalah sebuah cringe
comedy, segala kelemahan yang ia miliki akan membuat kamu tertawa geli tapi
setelah itu kemudian berpikir bahwa apa yang baru saja kamu saksikan adalah
sebuah presentasi mengerikan penuh rasa percaya diri yang tidak tertata dengan
baik.
0 komentar :
Post a Comment