"Dozens of lives are at stake if these men leave."
Apakah tidak lama lagi peran manusia akan mulai digantikan oleh robot-robot serta teknologi canggih? Ya, perdebatan terkait masalah tersebut memang sangat menarik, perkembangan teknologi yang begitu pesat mungkin akan memudahkan hal tersebut untuk tercapai yang secara logika memang akan semakin “membantu” manusia, namun apakah robot dan drone itu mampu menggantikan peran manusia seutuhnya, menjadi makhluk yang punya hati bukan sekedar berpikir dan bertindak sesuai program yang ditanamkan kepadanya? Hal tersebut digunakan sebagai dasar utama oleh Eye in the Sky, sebuah drama thriller yang tidak hanya tajam ketika menyajikan thrill namun juga ketika menggambarkan dilema moral tentang menjadi manusia.
Di sebuah pangkalan
militer rahasia Kolonel Katherine Powell
(Helen Mirren) sedang mengawasi misi penangkapan wanita asal Inggris yang
memilih bergabung dengan kelompok teroris yang berbasis di Nairobi, Kenya, kelompok teroris yang diduga terkait dengan sebuah aksi
bunuh diri. Misi tersebut juga
dipantau oleh Letnan Jenderal Frank
Benson (Alan Rickman) di London karena wanita tadi juga “diinginkan” oleh
Amerika. Sebuah serangan pesawat tak berawak yang dikendalikan oleh Steve Watts (Aaron Paul) dan Carrie Gershon (Phoebe Fox) telah
dikoordinasikan dan siap melakukan penyerangan namun ketika eksekusi hendak
dilakukan seorang gadis muda berusia sembilan tahun masuk kedalam zona
eksekusi!
Sebenarnya apa yang
dilakukan oleh Eye in the Sky ini bukan
sesuatu yang baru, tidak perlu mundur terlalu jauh tahun lalu Good Kill juga mencoba menampilkan isu
yang serupa di mana Ethan Hawke
berperan sebagai pilot drone. Lalu apa yang menyebabkan Eye in the Sky terasa lebih baik ketimbang Good Kill? Bukan hanya arena main lebih luas saja yang menjadi
penyebabnya karena di balik itu masalah utama yang film ini bawa sebenarnya juga
tidak rumit, hanya ada anak kecil di zona berbahaya, tembak atau tidak. Nah,
hal terakhir tadi itu alasannya, isu kemanusian Eye in the Sky lebih luas dan berhasil diolah secara lebih padat
oleh Gavin Hood (X-Men Origins:
Wolverine, Ender's Game) dibantu dengan
screenplay dari Guy Hibbert yang juga
mampu menggabungkan unsur thriller dan drama dengan baik. Oke, perbandingan
dengan Good Kill berhenti di sini.
Salah satu hal paling
mengesankan dari film ini adalah sejak sinopsis
Gavin Hood dan timnya seperti telah
punya satu tujuan utama yang bulat sehingga cara penyajian yang ditampilkan
terasa kuat dan padat. Seperti ada visi yang sama baik itu dari cerita, elemen
teknis, kinerja cast, hingga cara Gavin
Hood menyatukan semuanya, mereka ingin menjadikan Eye in the Sky sebagai sebuah thriller
dengan thrill yang memikat namun di sisi lain juga menggabungkannya dengan
drama yang mampu menyentuh hati penontonnya. Eye in the Sky bukan sekedar perang antara drone dengan teroris
saja namun ikut membuat kamu mengamati dan memikirkan isu moral tentang menjadi
manusia yang ia sajikan. Dari hubungan internasional yang melibatkan politik,
dari prajurit hingga pejabat militer dan pemerintah, ini adalah tentang
tanggung jawab moral manusia di dalam sebuah misi militer.
Namun bukan berarti
keputusan Eye in the Sky untuk
menempatkan isu moral di pusat cerita justru mengecilkan niat film ini untuk
memborbardir penonton dengan ketegangan. Justru itu yang menarik, drama
bersanding dengan baik bersama thriller dan komposisi yang mereka ciptakan
seimbang. Penonton perlahan akan merasa seolah berada di samping karakter dan ketegangan yang mereka rasakan sejak awal tetap stabil, gerak cepat bersama score yang enak. Eye in
the Sky juga punya proses prosedurial tapi mereka tidak berlebihan malah
justru membantu mempertebal pertanyaan tentang moral hingga hukum tadi lewat
diskusi terkait nilai pada keselamatan nyawa si gadis kecil. Terdapat banyak
opini dari karakter sehingga problema di konflik tidak sekedar hitam atau
putih, baik atau buruk, benar atau salah, skenario menempatkan konflik secara
objektif sehingga perputaran pertanyaan moral yang liar menjadi menyenangkan.
Keberhasilan Eye in the Sky menjadi sebuah thriller yang ikut melibatkan sisi
psikologi penonton juga berkat kinerja cast dalam membentuk isu sembari terus
menciptakan suasana berbahaya yang menarik. Bintang utamanya adalah Helen Mirren, ia berhasil menjadi pusat
yang kemudian memutar-mutar elemen thriller dan drama secara bersamaan,
memberikan akting yang kuat sehingga Kolonel
Katherine Powell yang tangguh itu berhasil menjadi “wakil” penonton dalam
proses mencari solusi. Aaron Paul
berhasil memberikan emosi yang konsisten, sedangkan Barkhad Abdi kembali menemukan karakter yang sangat tepat baginya.
Yang menyedihkan adalah Alan Rickman,
Severus Snape yang meninggal dunia
pertengahan januari yang lalu itu menampilkan kualitas akting yang akan
mengingatkan bahwa kita telah kehilangan salah satu aktor besar di industri
film.
Eye
in the Sky merupakan sebuah “pengalaman” di mana penonton akan
dicengkeram dan dilepas dalam waktu yang bersamaan. Gavin Hood memberikan thrill dengan nuansa mencekam yang konsisten,
namun ketika masuk ke bagian di mana ia mencoba menyentuh masalah sederhana
namun rumit yang dihadapi prajurit terkait tanggung jawab sebagai manusia ia
membuat kamu bebas atau lepas untuk menjelajahi pertanyaan penting tentang
moral dan etika, ia berani karena cerita dan karakter berhasil menciptakan
“hati” sehingga drama yang sukses memaku atensi penonton sukses bersanding dan
menciptakan keseimbangan bersama elemen thriller yang berhasil tampil terus
menggigit. Segmented.
Thanks to: rory pinem
good review mas rory, sama seperti opini saya setelah menonton. film ini terasa netral, membiarkan penonton menilai sendiri keputusan yang di ambil benar atau salah. saya beri nilai 8/10 untuk filmnya dan 9/10 untuk reviewnya. good job.
ReplyDeleteReview ini ditulis oleh riringina. Thanks kunjungannya. :)
DeleteSaya suka banget film ini....
ReplyDeleteMy pavorit....