"Daughters do not dance well with masticated brains."
Ide dari novel Pride and Prejudice and Zombies yang mencoba menulis ulang kisah
klasik karya Jane Austen dengan
modifikasi kecil berupa menambahkan zombie
ke dalam cerita merupakan sebuah tindakan yang walaupun kamu tidak pernah
membacanya pasti akan menimbulkan rasa penasaran yang begitu besar. Apa yang
akan dilakukan oleh para zombie di
dalam kisah yang berasal dari sebuah novel of manners yang mencoba membawa
pembacanya lebih ke arah berpikir serta menghargai isu tentang kelas sosial?
Manusia vs zombie? Ya, benar, Pride and
Prejudice and Zombies merupakan panggung sandiwara antara zombie dengan
manusia.
Inggris, abad ke-19, wabah zombie telah pecah
dan mengancam dunia memaksa Mr. Bennet
(Charles Dance) untuk melatih putrinya menjadi prajurit pembunuh zombie,
walaupun ia tetap menyusun rencana penikahan bagi putri-putrinya, salah satunya
Jane (Bella Heathcoate) yang telah
jatuh hati pada Mr. Bingley (Douglas
Booth). Putri tertua, Elizabeth
Bennet (Lily James) juga telah menaruh rasa tertarik pada pria bernama Darcy (Sam Reilly), namun pertempuran
antara manusia dan zombie yang semakin meningkat menghalangi perasaannya itu
untuk tumbuh lebih jauh. Elizabeth dipaksa untuk memilih, antara cintanya
dengan Darcy atau menjalankan kewajibannya di medan perang bersama dengan
tentara bernama Wickham (Jack Huston).
Apakah setelah membaca sinopsis di atas tadi kemudian muncul pertanyaan seperti ini di
pikiran kamu: lalu ini film tentang romance atau tentang zombie? Entahlah,
hingga tiga perempat durasi saja saya masih berusaha meyakinkan diri sendiri
tentang sebenarnya Pride and Prejudice
and Zombies versi film ini mau ditampilkan sebagai apa oleh Burr Steers, apakah dari premis konyol
itu ini hendak dibentuk menjadi sebuah horor, sebuah sajian action, sebuah
kisah romance, atau justru komedi? Ternyata Burr Steers punya niat yang jauh
lebih besar, ia ingin agar empat genre tadi ada di dalam Pride and Prejudice and Zombies, dan hasilnya mereka memang eksis
tapi sayangnya sikap rakus tanpa kontrol yang oke itu jadi boomerang yang sangat telak
buat film ini, karena pada akhirnya Pride
and Prejudice and Zombies seperti film yang ompong.
Pride and Prejudice and
Zombies
novel yang bagus, tapi di film ini cerita jadi terasa penuh basa-basi, bukan
hanya kurang berhasil tapi gagal tampil mempesona. Sumber masalahnya karena
horror, action, romance, hingga komedi tadi tidak dicampur dengan baik, mereka
saling membunuh satu sama lain. Terasa liar, berusaha menciptakan kesan absurd
yang catchy tapi justru menyebabkan cerita menumpuk tanpa menciptakan satu atau
dua buah charm kuat di pusat. Jika Burr
Steers mau memilih dua saja dari empat genre tadi untuk sedikit lebih
menonjol Pride and Prejudice and Zombies
bisa jadi tidak akan terasa sekering ini karena empat genre tadi masing-masing
bisa diolah menjadi hiburan kelas B, atau drama misalnya yang sebenarnya punya
potensi dengan komentar sosial tentang strata dengan menggunakan manusia dan
zombie, kelas atas dan kelas bawah.
Oh ya, zombie,
sulit untuk menyinggung zombie di pembahasan ini karena kontribusi zombie di
dalam cerita juga sangat miskin. Pola film ini sangat sederhana, menjelaskan
permasalahan awal tentang cinta dan kekuasaan di dunia manusia, lalu masukkan
zombie dengan charm dan standar terror yang mereka hasilkan bahkan neck-to-neck
dengan apa yang diberikan The Walking
Dead episode awal, lalu kembali ke dunia manusia, lalu monoton. Burr Steers bukannya tidak berusaha
menyeimbangkan manusia dan zombie di dalam cerita, ia sejak awal memang tidak
tertarik dengan zombie, itu pula yang membuat saya meragu pada misi arahannya
pada cerita. Seperti saga romance yang ragu-ragu Burr Steers juga tampak tidak
yakin dalam mengemas zombie, karakter
yang tugasnya meneror justru jadi tampak konyol.
Tapi kembali lagi masalah di awal tadi, jika ini
ditujukan untuk jadi sebuah komedi maka para zombie tadi melakukan tugas dengan
baik. Masalahnya adalah Burr Steers juga
seperti “menolak” membuat film ini berjalan di jalur komedi, jadi hasilnya kamu
akan menemukan petualangan yang terus menerus berjuang untuk tetap hidup dengan
tampil berisik tanpa isi yang menarik. Ini bisa menjadi romance ringan yang
menyenangkan, bahkan lucu, karena karakter punya modal yang oke dan cast
seperti Matt Smith dan Jack Huston dapat menjadi
senjata yang oke, Lily James
juga tidak buruk ketika mencoba menampilkan semangat feminis dari cerita. Film
ini beda, sudah tidak melepas penonton ia juga memegang paksa kita untuk
kemudian sibuk menjelaskan cerita, dan ketika durasi sudah tipis materi yang
tidak dirawat tadi akhirnya dikebut dan diselesaikan secara adat dan secara
paksa.
Sangat sayang memang materi yang potensial
justru berakhir hambar seperti Pride and
Prejudice and Zombies ini, bisa dibentuk jadi pertarungan menarik antara
manusia dan zombie namun justru hanya menaruh zombie sebagai cheerleader. Jangankan untuk berbicara
tentang visual misal, atau momentum cerita, menemukan jawaban yang pasti
tentang peran zombie di dalam cerita saja terasa sulit. Sumber kegagalan Pride and Prejudice and Zombies tampil
menghibur adalah Burr Steers, kurang
berani memilih dan mengambil resiko, memilih bermain “aman” di konflik dan liar
di narasi namun dengan perawatan di masing-masing materi yang tidak merata.
Hasilnya? Sebuah panggung sandiwara yang tumpul dan terus dieksploitasi dengan
berisik. Segmented.
Thanks to: rory pinem
0 komentar :
Post a Comment