"I will kill you."
Sejak pertama kali diumumkan
akan diproduksi pada tahun 2012 yang lalu film ini telah mengalami banyak
masalah dengan Natalie Portman
sebagai anggota asli yang bertahan di posisi aslinya hingga akhir. Dari Michael Fassbender, lalu Jude Law, hingga Bradley Cooper, kemudian ditinggal oleh sutradara, hingga kasus
bangkrut rumah produksi, Relativity
Media, akhirnya proyek bermasalah dengan judul Jane Got a Gun ini sukses menemukan senjata yang akan ia gunakan
dan berhasil menyapa penonton. Pertanyaan berikutnya adalah apakah senjata itu
punya peluru yang cukup atau tidak? Jane masih butuh Thor!
New
Mexico, tahun 1871 setelah Perang Sipil, Jane Hammond (Natalie Portman) sedang
berada di dapur ketika suaminya Bill
(Noah Emmerich) tiba di rumah dalam keadaan terluka setelah ditembak oleh
anggota the Bishop Boys gang. Dengan
cepat memahami kondisi yang dihadapi oleh ia dan suaminya, Jane segera menemui Gunslinger Dan Frost (Joel Edgerton),
satu-satunya orang yang ia yakin dapat membantu mereka. Jane mulai belajar dari
Dan Frost untuk mempersiapkan diri jika kelak harus menghadapi gang yang
dipimpin oleh John Bishop (Ewan McGregor)
itu.
Jane
Got a Gun sesungguhnya tidak melakukan kesalahan besar yang
sangat mengganggu dan super merusak, tapi sebuah kesalahan kecil dengan cepat
menutup jalannya untuk meraih potensi terbaik. Dari cast saja misalnya berhasil
menampilkan kinerja yang baik, meskipun tidak dibantu dengan materi yang baik Natalie Portman berhasil menciptakan
pesona yang oke pada karakter Jane terutama pada sikap gigih yang ia miliki,
chemistry antara dirinya dan Joel
Edgerton juga terasa pas. Lalu dari visual, Mandy Walker yang menggantikan Darius Khondji berhasil menampilkan
komposisi western yang oke bahkan memiliki beberapa bagian yang terasa memikat.
Lalu apa yang menyebabkan Jane Got a Gun
justru berakhir sebagai film western dengan pistol yang tidak memiliki cukup
peluru?
Terdapat dua masalah
kecil tapi krusial dari film ini yang berasal dari penempatan posisi yang tidak
tepat. Pertama, sejak awal film ini telah mendapatkan label sebagai film western dengan rasa feminis tapi alih-alih mendorong Jane sebagai pion utama untuk
bergulat dengan masalah film ini justru menjadikan posisi Jane hampir sejajar
dengan posisi Dan Frost. Sebagai
karakter utama Jane terlalu sering harus dipaksa berbagi porsi fokus cerita
dengan Dan Frost. Hasilnya karakter Jane tidak tumbuh dengan baik, kita tahu
tekanan dan frustasi yang ia hadapi tapi bersama dengan karakter Bill Hammond mereka terasa memiliki
dimensi yang lebih kecil ketimbang karakter Dan
Frost yang berhasil dieksplorasi dengan baik.
Masalah yang kedua
adalah fokus pada karakter Dan Frost
memang baik meskipun informasi tentang karakter terasa terbatas, namun
secara keseluruhan Jane Got a Gun
tidak berhasil menciptakan fokus yang kuat dan menarik. Pace film yang juga terasa kurang asyik mengakibatkan Jane Got a Gun seperti sebuah puzzle yang kurang menantang bagi
penonton ikut berpartisipasi lebih dalam. Terdapat aksi memeriksa karakter, ada
kilas balik kecil, ada masalah dari sebuah hubungan, ada bahaya yang telah
menanti, ada karakter yang berada di bawah tekanan, senjata film ini
sesungguhnya telah mumpuni tapi sepanjang durasi 98 menit ia lebih sering
terlihat berusaha untuk mengembangkan sinopsis
untuk hidup ketimbang membuat penonton bergulat dengan tantangan dan bahaya
bersama urgensi.
Memang Jane Got a Gun tidak pernah berakhir di
level membosankan, tapi narasi dengan kecepatan yang santai serta komposisi
cerita yang kurang padu itu menjadikan aksi mengamati Jane yang bertarung
dengan masalah sering terasa monoton. Unsur action punya eksploitasi yang
standar, unsur drama juga tidak berhasil berkembang karena eksekusi yang sangat
hati-hati, jadi tidak heran jika rasa frustasi Jane perlahan mulai pindah ke
penonton karena desakan emosi yang jadi kunci utama hilang dari cerita. Ya,
urgensi merupakan hal terpenting dari usaha Jane menyelesaikan masalah yang ia
hadapi, dan itu seharusnya diberi perhatian lebih oleh Gavin O'Connor bukannya justru asyik dengan dialog cheesy yang
beberapa di antaranya bahkan punya power besar untuk membuatmu tertawa.
Jika melihat masalah
yang telah Jane Got a Gun miliki
sejak awal apa yang dilakukan oleh Gavin
O'Connor terhitung tidak buruk dalam menyelamatkan film ini dari jurang
kehancuran, tapi tentu sesuatu yang tidak mudah untuk meneruskan pekerjaan yang
tidak kamu mulai sendiri sehingga tidak heran seperti ada yang hilang dari Jane Got a Gun. Yang pertama visi dan
misi, dan yang kedua adalah fokus terutama pada usaha ingin memberikan banyak
hal pada penonton tapi karena naskah yang miskin excitement menyebabkan ia
akhirnya kerepotan dalam mencampur semua materi menjadi satu kesatuan yang klik
satu sama lain. Karakter oke, tapi
cerita, tidak.
Thanks to: rory pinem
0 komentar :
Post a Comment