"We all live or we all die."
Apakah kamu ingin
menciptakan sebuah disaster drama? Caranya gampang, masukkan karakter kedalam
masalah, berikan mereka tantangan di dalam masalah, up and down sembari tetap ciptakan impresi bahwa ada celah kecil
yang harus mereka ubah menjadi besar untuk dapat selamat. Terkesan gampang
memang dan faktanya memang gampang jika kamu hanya sebatas ingin menciptakan
produk yang formulaic, sebuah produk
yang tidak ingin mencoba menjadi sebuah disaster drama yang berbeda dari
film-film lain yang telah mencoba melakukan hal serupa. The Finest Hours seperti itu, ia bahagia menjadi kemasan yang
biasa.
Setelah sempat meragu
akhirnya awak kapal di the Coast Guard
station bernama Bernie (Chris Pine) berhasil
mendapatkan cinta dari wanita Miriam
Pentinen Webber (Holliday Grainger), dan segera mereka memutuskan untuk
menikah. Bernie merupakan pria yang taat aturan dan ia berniat meminta “izin”
kepada atasannya Daniel Cluff (Eric Bana), namun bukannya jawaban pasti yang
diperoleh Bernie namun sebuah tugas memimpin misi penyelamatan menuju kapal SS Pendleton, kapal tanker pembawa
minyak yang telah terpecah-belah dan di bawah komando Ray Sybert (Casey Affleck) sedang terombang-ambing di laut dan
sebisa mungkin untuk memperpanjang nyawa mereka.
Jika berbicara tentang
konsep sulit untuk mengatakan The Finest
Hours sebagai sajian yang buruk, dari screenplay sampai dengan cara Craig Gillespie menyajikan bagian
pembuka berhasil menciptakan impresi yang begitu kuat. Di awal kita diberikan
pria malu-malu yang kemudian merajut asmara dengan wanita pemberani, sangat
suka dengan bagian tersebut terutama pada chemistry antara Bernie dan Miriam
yang walaupun terasa simple tapi punya pesona yang membuat penonton ingin
mereka bahagia. Ya, itu sederhana memang tapi merupakan hal yang sangat penting
terutama bagi film ini, karena sisi romance tadi ternyata tidak hanya sebatas jadi
pelengkap, ia jadi jangkar dari sebuah kapal yang terombang-ambing diterpa
ombak.
Sama seperti objek
utama yang ia gunakan The Finest Hours
terasa seperti kapal yang terombang-ambing di antara dua elemen cerita yang ia
miliki, drama atau film tentang bencana. Dua hal tadi kurang berhasil disatukan dengan baik oleh Craig Gillespie,
mereka berdiri terpisah dengan power yang juga terasa tidak ada yang kuat.
Ambil contoh kondisi “siap menikah” antara Bernie dan Miriam yang merupakan
modifikasi dari novel, fungsinya \menciptakan feel pulang kerumah bagi Bernie
tapi justru terasa terlalu biasa. Begitupula yang terjadi di SS Pendleton, secara teknis tampak oke
namun upaya trial and error yang dilakukan karakter perlahan mulai tidak mampu
membuat penonton merasakan bahaya yang mereka hadapi, dan semakin lengkap
karena urgensi cerita juga mengalami hal yang sama.
Itu salah satu
kelemahan menjengkelkan dari The Finest
Hours, semakin jauh ia berjalan cerita semakin kehilangan urgensinya. Usaha
Bernie seharusnya tampak heroik terlebih ada unsur cinta di dalamnya, tapi
kenyataannya berbeda. Usaha survival di SS
Pendleton seharusnya menjadi penggambaran sikap pantang menyerah dan tidak
ada yang mustahil dilengkapi dengan kepanikan, tapi yang tersaji di layar
adalah sekumpulan pria dengan semangat bertahan hidup yang terlalu biasa. Dari
cerita sendiri The Finest Hours
memang sudah tipis, sedikit hal menarik yang ingin disampaikan dan sedikit pula
di antara mereka yang berhasil disajikan dengan menarik. Karena materi yang
predictable The Finest seharusnya memberikan lapisan emosi yang lebih baik
sehingga sensasi cerita juga lebih baik ketimbang tanpa malu-malu bertumpu pada
visual untuk mempertebal “kemenangan” di dalam cerita.
Namun ada dua elemen
dari film ini yang berhasil tampil baik, bahkan dapat dikatakan menyelamatkan
narasi yang sedikit monoton itu. Pertama adalah visual, meskipun kerap membunuh urgensi
cerita tapi kualitas CGI dari The Finest
Hours berhasil tampil impresif, at least di samping cerita yang terlalu
empuk itu kamu akan terus terjaga oleh sajian yang diberikan oleh elemen
visual. Dan yang kedua adalah kualitas akting, terutama Casey Affleck dan Holliday
Grainger. Ray Sybert adalah karakter sekunder tapi pesona yang ia hasilkan
justru mengalahkan karakter utama, Bernie. Chris Pine sendiri patut
berterimakasih pada Holliday Grainger
yang berhasil menjadikan rasa takut kehilangan Miriam begitu menarik, jika tidak maka misi penyelamatan yang ia
lakukan akan berakhir tanpa makna.
The
Finest Hours berakhir menjadi sebuah disaster drama
yang begitu formulaic, meskipun bukan
sesuatu yang salah namun seharusnya formula klasik itu dapat ditampilkan lebih
“hidup” lagi, bukannya terjebak dalam visual serta terasa miskin urgensi akibat
tidak membekali karakter dan cerita dengan emosi untuk mencengkeram
penontonnya. The Finest Hours memang
punya kualitas visual yang mumpuni dan digunakan untuk menciptakan kesan wow,
namun kisah tentang kemenangan atas kesulitan ini kurang berhasil menciptakan
sebuah kemenangan yang membuat penonton bersedia ikut merayakannya bersama
karakter. Secara keseluruhan ini tidak buruk, namun tidak mencolok. Segmented.
Thanks to: rory pinem
0 komentar :
Post a Comment