Dari The Lucky One, kemudian Safe Haven, lalu disusul The Best of Me, dan yang terakhir The Longest Ride yang rilis tahun lalu,
setiap tahun sejak 2012 kita selalu bertemu dengan film romance yang merupakan
adaptasi dari novel karya Nicholas Sparks
dan The Choice mencoba untuk meneruskan
baton. Dasar cerita film ini masih punya tipe yang sama dari film-film tadi,
dua insan manusia mencoba bertarung dengan perasaan mereka masing-masing,
melakukan refleksi untuk memperoleh rasa yakin dan akhirnya melangkah maju
bersama cinta. Nah, pertanyaannya adalah dengan konsep yang sama dengan
pendahulunya itu apakah hasil akhir yang diberikan oleh The Choice juga sama?
Gabby
(Teresa Palmer), seorang mahasiswa kedokteran, menyewa
sebuah rumah di pantai North Carolina
terlibat perdebatan dan interasksi tentang beberapa isu dengan tetangganya Travis (Benjamin Walker), seorang dokter
hewan. Gabby sedang menjalin hubungan dengan sesama rekan dokter bernama Ryan (Tom Welling) sedangkan Travis
memiliki pacar bernama Monica (Alexandra
Daddario). Travis masih meragu pada hubungannya dengan Monica, wanita
cantik itu belum mampu membuat Travis merasa nyaman dengannya, hal yang
menariknya perlahan justru mulai Travis temukan di dalam diri Gabby.
Well, sinopsis tadi merupakan salah satu
premis paling klasik dan standar yang bisa diciptakan untuk sebuah film romance, ada pria dan wanita, si pria
masih meragu dengan cinta tapi perlahan rasa ragu tadi menghilang setelah dekat
dengan seorang wanita. Saya sendiri sangat suka dengan dengan ide cerita
seperti itu karena sering kali kekuatan cinta justru dapat tergambarkan lebih
mudah lewat sebuah konsep sederhana. Sayangnya The Choice yang diangkat dari novel dengan judul sama karya
Nicholas Sparks ini menggunakan konsep sederhana tadi dengan cara yang terlalu
sederhana dan celakanya sang sutradara, Ross
Katz, ternyata juga terjerat dalam “sistem” cerita romansa yang diadaptasi
dari novel-novel Nicholas Sparks
sebelumnya.
Tentu terdapat alasan
mengapa di poster hanya tercantum The
Notebook dan Safe Haven karena dari
film-film hasil adaptasi novel Nicholas
Sparks hanya dua film itu yang ada di kategori oke, dan sisanya berakhir
menyedihkan. Kisah yang diciptakan Nicholas Sparks punya formula yang identik,
dua orang saling bertemu di tempat asing dengan setting lokasi yang indah, lalu
hadir beberapa masalah kecil dengan kisah segitiga sebagai andalannya, lalu
penutupnya selalu berusaha untuk membuat kamu terkejut meskipun mayoritas
berakhir konyol. The Choice seperti
itu, ide yang baik ternyata menjadi sebuah kisah cinta penuh rekayasa yang
menjemukan. Bukan, bukan karena cerita yang konyol, tapi bagaimana caranya
sebuah romance justru tampak seperti fantasi.
Tingkat prediktibilitas
cerita masih sangat mudah untuk dimaklumi, tapi cara The Choice menjual romance sangat mengganggu, sangat tidak
kompeten. Interaksi antara dua karakter utamanya misal, di bagian awal oke tapi
setelah itu terasa canggung, terasa ganjil. Cerita sendiri mencoba untuk
membuat kamu menaruh simpati dan empati pada permasalahan cinta yang dihadapi
Gabby dan Travis tapi emosi mereka terasa sangat direkayasa. Manipulasi Ross Katz di bagian ini tidak manis,
masalah utama yang terkait komitmen dan memilih itu justru lebih sering terasa
sebagai kisah cinta yang cengeng, usaha cerita seperti sebatas bagaimana agar
konflik penuh dengan argument tanpa ikut mencoba membangun karakter. Ya, pesona
karakter stuck, dan sangat jarang ketika menonton romance saya ingin agar dua
karakter utama tidak berakhir bahagia.
Lalu apa nilai positif
film ini? Ya, mungkin gambar-gambar latar yang cukup oke. Kualitas akting? Dua
pemeran utama tidak berhasil menjual karakter mereka untuk membuat penonton
menginginkan mereka untuk bahagia di titik maksimal, hanya sebatas mari
selesaikan dengan cara standar. Walaupun begitu Teresa Palmer tidak buruk, sesekali ia berhasil menghadirkan momen
menyenangkan di luar masalah romance, namun tidak dengan Benjamin Walker, Travis terasa terlalu canggung dan tampak seperti
pria yang tidak punya sisi romantis. Yang sangat disayangkan adalah peran Alexandra Daddario di cerita yang
sebenarnya bisa menjadi sebuah kisah cinta segitiga yang efektif, ia tampak sebagai
pemanis yang terlupakan.
Jika dilihat sebagai
sebuah parodi tentang cinta saya rela mengatakan The Choice sebagai kemasan yang menghibur, hal konyol tentang
sesuatu yang kita sebut cinta berhasil digambarkan oleh film ini dengan baik, ia
bahkan punya beberapa momen lucu dari situ. Tapi tugas utama film ini adalah
menyajikan kisah romance, dan ia gagal. Menggunakan rumus paling standar dari
romansa khas Nicholas Sparks sang
sutradara, Ross Katz, tertatih-tatih dalam memanipulasi dan mendramatisasi
cinta di dalam cerita, dua pemeran utama juga menampilkan interaksi yang
dingin, jadi wajar jika isu tentang komitmen dan memilih tidak menampilkan pesona
dan martabat dari cinta. Segmented.
Thanks to: rory pinem
0 komentar :
Post a Comment