"A woman takes what she wants when she wants it."
Sama seperti belajar
tidak ada kata terlambat pula untuk cinta, tidak ada kata terlambat untuk
mencintai dan dicintai. Tidak peduli seberapa sering cinta telah menyakiti
kamu, tidak peduli pula di usia berapa cinta yang sesungguhnya datang
menghampirimu, jika kamu yakin bahwa he or she merupakan the one maka hal yang
harus kamu lakukan adalah kejar dan dapatkan. All Roads Lead to Rome berniat menggambarkan hal tersebut,
bagaimana cinta yang hilang kini kembali lewat masalah yang juga berawal dari
cinta. Sayangnya romance comedy ini
menyelesaikan masalah dengan masalah.
Maggie
(Sarah Jessica Parker), seorang single mother, mengajak anak perempuannya Summer (Rosie Day) untuk berlibur ke Italia. Niat utama Maggie
mengajak putrinya yang memiliki penampilan berjiwa bebas itu adalah untuk
menghindarkan Summer dari pengaruh buruk sang pacar, usaha yang dianggap oleh
Summer sebagai sebuah aksi “penculikan.” Maggie sendiri punya misi lain datang
ke Italia, ia ingin melupakan perceraian dengan mantan suaminya dan mencoba
menemukan kembali cinta di Italia, di mana ia bertemu dengan seorang pria
bernama Luca (Raoul Bova).
Jika berbicara tentang
niat All Roads Lead to Rome
sebenarnya bukan sebuah romance comedy yang buruk, at least penulis naskah Josh Appignanesi dan Cindy Myers punya konsep yang oke di
mana karakter keluar sejenak dari rutinitas untuk “menyembuhkan” atau
“menyegarkan” kehidupannya yang terasa jenuh. Yang menjadi masalah adalah sejak
sinopsis saja film ini ternyata sudah
gagal untuk membentuk ide tadi, ketimbang menjadi petualangan menemukan cinta
yang hilang di mana cinta itu, kemudian membungkus segala permasalahan dan
membawa karakter meraih jalan keluar yang indah, di tangan Ella Lemhagen film ini justru menjadi sebuah rom-com dengan rasa
hangout yang monoton dan menjemukan.
Tentu saja terasa
kurang tepat jika mengharapkan cerita dengan alur penuh urgensi dari sebuah
rom-com, caranya memainkan penonton dengan segala isu klasik tentang cinta
justru lebih menarik untuk diantisipasi. All
Roads Lead to Rome tidak berhasil melakukan hal tersebut, ia terlalu santai
dengan gerak cerita yang perlahan justru terasa monoton, dan yang paling
menjengkelkan adalah inti cerita yang berdasar dari sebuah kesalahpahaman kecil
justru asyik dimainkan dengan cara menunda. Akhirnya bukan hanya cerita tapi
daya tarik karakter yang sejak awal sudah begitu standar itu juga perlahan
terasa basi, Maggie ditemani dengan rasa bingung yang berlarut-larut dan
Summer, ia dipersilahkan menikmati pesona Italia.
Terasa aneh memang
karena tugas yang harus ditangani oleh Ella
Lemhagen sebenarnya tidak banyak apalagi rumit, hubungan antara Maggie dan
Summer, hubungan antara Maggie dengan Luca, tapi cara All Roads Lead to Rome bercerita konsisten terasa kasar dan
terbata-bata. All Roads Lead to Rome
dapat menjadi rom-com yang di mana setiap karakter bertemu dengan kekuatan
cinta dalam hubungan mereka dan kemudian bergeser ke dalam jalur yang tepat,
tapi ini justru terperangkap dalam berbagai kesalahpahaman sederhana dengan
dialog basi dan set-up canggung bersama plot dan lelucon yang kacau, datar, dan
hambar. Hal terbaik dari All Roads Lead
to Rome tampilan romantic Italia, yang sayangnya tetap tidak berhasil
dimanfaatkan untuk membuat pesona cerita menjadi lebih hidup.
Menemukan film dengan
genre horror atau mungkin drama yang
membuat kamu para penontonnya merasa waktu seperti berjalan begitu lama
merupakan hal yang mudah, namun film dengan genre romance apalagi dikombinasi
bersama komedi yang melakukan hal serupa, itu sulit. Dan All Roads Lead to Rome resmi menjadi anggota list romance komedi yang kurang berhasil
mempermainkan penonton bersama cinta namun justru mejadi panggung penuh
sandiwara yang monoton, usaha menemukan kembali cinta yang hilang namun
sepanjang 90 menit durasinya cinta itu hadir sangat tipis di dalam cerita dan
juga karakter, sama seperti tipisnya pesona naskah dan pengarahan yang film ini
miliki. Segmented.
Thanks to: rory pinem
0 komentar :
Post a Comment